Sukses

Perludem: pembahasan PPHN di Amandemen UUD Buka Celah Presiden Kembali di Pilih MPR

Titi menilai, saat keran amandemen dibuka, maka di saat yang sama celahmembahas wacana di luar PPHN sangat terbuka.

Liputan6.com, Jakarta - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berencana melakukan amendemen UUD 1945, yang agendanya menyusun Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai dasar pembangunan nasional jangka panjang.

Terkait hal itu, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menolak rencana tersebut. Dia menilai, meski  tujuannya hanya menyusun Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), Titi khawatir, amandemen justru menjadi celah dan melebar pada wacana di luar PPHN, seperti soal pemilihan presiden oleh MPR atau presiden 3 periode.

"Saat keran amandemen dibuka, maka di saat yang sama celah melebar pada wacana di luar PPHN," ujar Titi saat dihubungi, Kamis (20/9/2021).

Menurut Titi, perlu ada sikap kehatian-hatian menjaga proses yang betul-betul demokratis dan berintegritas. Sebab, akan menjadi pertaruhan luar biasa bagi semua pihak. Khususnya dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses amandemen tersebut.

Titi mengakui, proses amandemen konstitusi adalah proses politik yang sangat dinamis di antara partai-partai dan senator di parlemen. Sehingga tidak bisa dipastikan pembahasannya tidak melebar selain dari pada persoalan pokok-pokok haluan negara.

Namun, berkaca pada dicabutnya RUU Pemilu dari Prolegnas 2021 karena kekhawatiran proses perubahannya akan melebar. Maka, potensi melebarnya pembahasan merupakan sesuatu yang sama sekali tidak bisa dipastikan tidak akan terjadi.

"Demikian pula halnya dengan amandemen konstitusi yang pasti akan berhadapan dengan banyak kepentingan kelompok yang ada baik di parlemen maupun nonparlemen," ujar Titi.

Titi menegaskan, jika amendemen itu disahkan, bakal menjadi ancaman bagi proses demokrasi di Indonesia. Maka itu ia mengingatkan jangan sampai amandemen malah membuat perjalanan demokrasi yang diperjuangkan mengalami kemunduran.

"Akibat proses amandemen yang liar menyentuh hal-hal di luar persoalan yang ingin dijawab melalui amandemen tersebut," ujar Titi.

Titi menegaskan, saat ini banyak indeks global menyebutkan kondisi demokrasi RI yang menurun. Oleh karena itu ia meminta jangan diperburuk dengan mendorong pemilihan presiden oleh MPR atau presiden 3 periode.

Banyak prioritas kerja lain yang mestinya bisa difokuskan oleh para politisi dan pejabat publik. Seperti membangun soliditas dan kondusivitas bernegara agar upaya mengatasi pandemi Covid-19.

"Jangan menambah kegaduhan politik dengan hal-hal yang tidak perlu atau hal-hal yang kontraproduktif bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia," ujar Titi. 

 

2 dari 2 halaman

Bantah Bahas Periodesasi Jabatan Presiden

Sementara itu, Ketua Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo sebelumnya menyatakan substansi PPHN tidak akan dibebani perdebatan apakah akan terjadi perubahan terbatas tehadap Undang-Undang Dasar (UUD) atau tidak.

Mengingat komunikasi dan harmonisasi politik dengan seluruh Pimpinan Fraksi dan Kelompok DPD, pimpinan partai politik, Pimpinan Lembaga-Lembaga Negara termasuk Presiden, dan stakeholders lainnya, baru bisa dilakukan apabila substansi PPHN sudah siap," kata Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (23/3/2021).

Bamsoet menyatakan Majelis menargetkan pada akhir tahun 2021 ini substansi PPHN sudah siap, sehingga bisa segera melakukan komunikasi dan harmonisasi dengan berbagai kalangan. Namun, ia memastikan tidak ada pembahasan periodesasi presiden.

"Majelis perlu menegaskan, bahwa tidak ada sama sekali pembahasan tentang periodesasi presiden karena periodesasi presiden dua kali seperti yang ada saat ini sudah ideal," ujar politikus Partai Golkar ini.

Bamsoet menjelaskan, substansi PPHN yang bersifat filosofis akan menjabarkan cita-cita Indonesia merdeka sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Serta memuat turunan pertama dari UUD NRI 1945, selain juga menyelesaikan keberadaan Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang masih berlaku.

"Sebagaimana terdapat dalam Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai dengan Tahun 2002," jelas Bamsoet.

Â