Jakarta - Tangan perempuan itu sigap mengambil sebuah buku. Tapi bukan dibaca, buku itu ia gunakan untuk berkipas. Siang itu, di Bandung, Jawa Barat, panas demikian menyengat.
Entah sejak kapan panas menyengat seperti ini di Kota Kembang. Putri Rodyatul, mencoba mengingat-ingat. Perempuan yang bekerja sebagai staf lembaga pemerhati lingkungan ini merasa kini cuaca Bandung saat siang sangat panas dan berangin, membuat badannya tidak enak.
Putri sendiri sudah 20 tahun tinggal di Kota Bandung. Sejak dulu, kantor dan tempat tinggalnya tidak pernah menggunakan kipas maupun pendingin udara atau AC (Air Conditioner), karena udara di sana sudah sejuk. Tapi, wanita berusia 37 tahun itu merasakan perbedaannya sekarang.
Advertisement
Baca Juga
"Ya, kalau malam terasa panasnya. Tapi menjelang subuh terasa lebih dingin," ucap Putri kepada Liputan6.com.
Belakangan, muncul kabar adanya fenomena warga Kota Bandung yang mulai banyak membeli kipas angin, sebuah barang yang sejak dulu hampir tidak pernah dipakai di sana. Lalu, benarkah cuaca Bandung kini menjadi lebih panas dari sebelumnya? Seberapa besar pengaruh perubahan iklim?
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2014 rata-rata temperatur di Kota Bandung menunjukkan suhu 23,9 derajat Celcius. Namun, belakangan suhu rata-rata di Kota Bandung mengalami tren kenaikan. Pada 2020, suhu rata-rata tahunan mencapai 25,69° Celcius.
Peneliti cuaca dan iklim BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) Bandung, Muhammad Iid Mujtahiddin, mengakui selama kurun waktu tahun 1975 sampai 2018 terjadi kenaikan suhu sekitar 1 derajat Celcius. Menurut Iid, pertumbuhan kota seperti di Bandung turut menjadi salah satu faktor penyumbang kenaikan suhu.
Hal senada diungkap Dosen Prodi Meteorologi ITB (Institut Teknologi Bandung), Joko Wiratmo, yang menyatakan dari tahun ke tahun memang terjadi peningkatan suhu di Kota Bandung. Kondisi Bandung yang berbeda dengan kota lainnya, karena bentuknya seperti cekungan menyebabkan peningkatan temperatur lebih cepat.
Menurut Joko, Bandung adalah kota yang aktif industrinya dan aktivitas manusia serta kendaraan bermotornya, seiring dengan peningkatan temperatur udara. Kata dia, polusi juga turut berdampak pada kenaikan tren temperatur.
"Bandung sebagai bagian dari bumi, tentu ikut berkontribusi terhadap aktivitas penyebab pemanasan global melalui pencemaran yang terjadi di dalamnya," ujar Joko kepada Liputan6.com.
BMKG sendiri mengakui tentang adanya kenaikan suhu udara di berbagai wilayah di Indonesia, terutama kota-kota besar. Misalnya, di Jakarta dalam periode 100 tahun, kenaikan suhunya sudah 1,4 derajat Celcius. Di beberapa wilayah industri di Indonesia, ada yang kenaikannya mencapai 0,7 sampai 0,9 derajat Celcius hanya dalam periode 30 tahun.
"Artinya apa yang dikatakan bahwa di Puncak, Bogor, yang biasanya dingin, lalu sudah pakai kipas angin, itu ya memang karena sudah terjadi pemanasan. Itu dirasakan, termasuk juga tidak hanya di Puncak, di wilayah lainnya," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati kepada Liputan6.com.
Bukti Perubahan Iklim
Bukti lain bahwa dampak memanasnya suhu bumi juga menimpa Indonesia adalah lebih seringnya kita mengalami badai tropis. Menurut Dwikorita, seharusnya wilayah Indonesia yang berada dalam ekuator bumi, tidak bisa ditembus badai tropis. Tapi, badai siklon tropis seroja pada April 2021 berhasil menembus zona ekuator, bahkan kepala badainya sampai masuk ke wilayah Nusa Tenggara Timur.
"Padahal seharusnya paling dalam itu ekornya (badai) saja. Seperti badai cempaka, badai yang lain seperti dahlia. Kenapa itu bisa terjadi? Karena suhu muka air laut perairan Indonesia semakin panas," Dwikorita menjelaskan.
Perempuan berusia 57 tahun ini menerangkan, seharusnya suhu muka air laut di perairan Indonesia rata-rata mencapai 26 derajat celcius. Tapi, kata dia, sekarang telah menyentuh lebih dari 29 derajat Celcius. Pemanasan suhu air laut berisiko tinggi terhadap habitat flora dan fauna laut.
Dia juga menyebut bagaimana musim kemarau sekarang yang kerap dibarengi hujan. Terdapat sebagian daerah yang mengalami kekeringan saat musim kemarau, tapi ada sebagian daerah yang malah mengalami banjir.
Pada zona yang suhu muka air lautnya tinggi, penguapannya meningkat sehingga yang harusnya musim kemarau tidak banyak terbentuk awan, tapi justru terbentuk awan. Dampak seperti itu, menurut Dwikorita, sudah terasa di beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu, BMKG memprediksi es di puncak Gunung Jayawijaya, Papua, akan punah tidak lebih dari tahun 2026.
Hujan ekstrem di DKI Jakarta pada 1 Januari 2020 juga antara lain sebagai pengaruh dampak perubahan iklim. Kala itu, kata Dwikorita, udara dingin dari dataran tinggi Tibet bisa menyeruak masuk ke wilayah Indonesia. Hal itu disebabkan suhu udara di tanah air lebih panas.
Ibu dua anak ini mengatakan, adanya perbedaan suhu dari daerah dingin, menimbulkan perbedaan tekanan yang signifikan hingga akhirnya membentuk awan-awan hujan yang intensif. Intensitas hujan yang harusnya turun setiap seratus tahun sekali, dalam waktu kurang dari 100 tahun sudah turun.
"Dengan curah hujan 377 milimeter per hari, harusnya belum terjadi saat itu," katanya.Â
Pada bulan Januari 2021, Indonesia juga mengalami sekitar 180 kali banjir. Angka itu tertinggi dalam lima tahun terakhir. Ketika banjir di Jakarta awal Januari 2020, kerugian mencapai Rp 1 triliun. Kemudian, banjir di Kalimantan Selatan kerugiannya mencapai Rp 1,3 triliun.
Terjadi di Seluruh Dunia
Bukan hanya Indonesia, pemanasan global juga berdampak pada banyak cuaca dan peristiwa ekstrem di nyaris seluruh wilayah di dunia. Gelombang panas seperti yang belum lama ini menimpa Yunani, bagian barat Amerika Utara, Turki, dan Maroko.
Gelombang panas di Yunani pada awal Juli lalu begitu menyengat dengan suhu meningkat sampai 43 derajat Celcius. Lokasi wisata seperti di Acropolis terpaksa ditutup pada siang hari, sedangkan panas ekstrem juga memicu kebakaran hutan di luar kota Thessaloniki.
Sementara bencana banjir bandang terjadi di Jerman dan China. Banjir bandang juga menerjang Kota London, Inggris, hingga menyebabkan stasiun kereta bawah tanah terendam air karena hujan lebat dalam satu hari.Â
Wali Kota London, Sadiq Khan, mengatakan banjir bandang menunjukkan bahwa bahaya perubahan iklim kini bergerak lebih dekat ke rumah.
Advertisement
Mengapa Bumi Makin Panas?
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serika, NASA, melansir, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pemanasan global akan meningkatkan suhu di permukaan bumi. Suhu bumi yang memanas dapat menyebabkan berbagai dampak buruk bagi peradaban, lingkungan dan ekosistem lainnya, karena adanya perubahan iklim yang ekstrim di dunia.
Apa yang menyebabkan suhu bumi memanas? Yang paling dominan adalah gas rumah kaca. Gas rumah kaca yakni gas-gas di atmosfer yang dapat menangkap panas matahari. Hal itu membuat panas matahari terjebak di atmosfer bumi dan menyebabkan suhu bumi memanas. Gas-gas rumah kaca antara lain, karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), dan freon (SF6, HFC dan PFC).
Berdasarkan hasil studi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovernmentan Panel on Climate Change (IPCC), dua di antara gas rumah kaca yang paling bertanggung jawab dan punya kontribusi terbesar dalam perubahan iklim adalah karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4).
Lalu, bagaimana sesungguhnya karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) bisa muncul begitu banyak? Jawabannya adalah aktivitas manusia sehari-hari seperti pemakaian sumber energi untuk mesin dan pembangkit listrik, penggunaan kendaraan bermotor dan membakar sampah. Emisi gas karbon dioksida terus melonjak karena polusi bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang dilepas ke atmosfer. Semakin berkurangnya hutan dan lahan hijau turut membuat kadar CO2 di atmosfer tidak terkendali.
Sementara gas metana (CH4) sendiri datang dari sampah plastik, kotoran hewan, serta limbah makanan yang membusuk. Pada 2019, konsentrasi CO2 di atmosfer diketahui lebih tinggi dari yang pernah ada, setidaknya dalam kurun waktu 2 juta tahun, sedangkan konsentrasi metana lebih tinggi dari yang pernah ada, setidaknya kurun waktu 800.000 tahun.
"Setelah masa revolusi industri, kita banyak membakar bahan bakar fosil. Akibatnya gas rumah kaca makin tebal. Jadinya panas terperangkap di bumi dan makin susah lepas ke angkasa," kata Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari kepada Liputan6.com.
"Karena gas rumah kaca sudah ketebalan, ya sama seperti orang pakai selimut ketebalan, panas dari badan enggak bisa keluar. Sama seperti bumi, karena gas rumah kacanya sudah ketebalan, maka panasnya tidak bisa ke angkasa," tambahnya.
Paris Agreement Jaga Kenaikan Suhu Bumi
Kenaikan suhu bumi sebenarnya disadari negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Hal itu terlihat dari keterlibatan hampir seluruh negara di dunia untuk menyepakati Paris Agreement dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 2015. Paris Agreement bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius pada abad ini.
Selain itu, negara-negara di dunia juga berkomitmen melanjutkan upaya menekan kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat Celcius. Jadi, kenaikan 1,5 derajat Celcius merupakan ambang batas kritis iklim yang disepakati negara-negara di dunia dihitung mulai masa praindustri atau tahun 1850 sampai 2030.
Selama kurun waktu itu, kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat celcius dan ditetapkan 1,5 derajat celcius maksimum. Sayangnya, laporan United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change menyebut bahwa Bumi telah dengan cepat memanas 1,1 derajat Celcius lebih tinggi dari era pra industri, dan kini bergerak menuju 1,5 derajat Celcius. Padahal, 2030 masih sembilan tahun lagi.
"IPCC sudah merekam naiknya temperatur dari tahun 1850 sampai sekarang, suhu bumi itu sudah naik ke 1,09 derajat celcius. Kita punya target di tahun 2100 berdasarkan Paris Agreement, kita tidak boleh melebihi kenaikan temperatur 1,5 derajat celcius, karena kalau lebih, katakanlah naik 2 derajat celcius, maka dampaknya akan sangat buruk," ucap Adila.
"Tapi, kalau kita meneruskan business as usual seperti sekarang, maka kenaikan menjadi 1,5 derajat celcius akan terjadi lebih cepat yakni pada 20 tahun mendatang, tidak perlu menunggu sampai tahun 2100."
Di Indonesia, BMKG melakukan pemantauan kenaikan suhu dan gas-gas rumah kaca sejak 2004. Pada 2020 diketahui, kenaikan gas rumah kaca sudah mencapai sekitar 408 ppm, dengan batas maksimum 450 ppm, supaya tidak melampaui kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan, pihaknya tengah menyiapkan monitoring konsentrasi gas rumah kaca, yang terintegrasi dengan global greenhouse gas information system mulai tahun depan untuk menghitung emisi gas rumah kaca secara lebih akurat.
Pemantauan itu akan mengetahui daerah mana yang merupakan sumber penghasil gas rumah kaca dengan sumber polutannya, dan daerah mana yang merupakan penyerap gas rumah kaca.
Alarm Krisis Iklim
Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, menilai kondisi bumi saat ini sangat mengkhawatirkan. Ia mengacu pada laporan terbaru IPCC yang dirilis pekan lalu.
Laporan tersebut membunyikan alarm dengan pesan yang kuat bahwa krisis iklim sudah terjadi. Upaya manusia dalam jangka pendek hingga panjang akan menentukan seberapa buruk dampaknya bagi kehidupan bumi.
"Semakin panas bumi, maka semakin mudah juga memicu kebakaran hutan dan kita semakin sulit untuk memadamkan apinya. Kebakaran hutan tahun 2016 yang hebat itu di Indonesia kerugiannya mencapai Rp 221 triliun. Itu dua kali biaya rekonstruksi tsunami Aceh. Lalu kebakaran hutan 2019 juga besar dan kerugiannya mencapai Rp 80 triliun," papar Adila.
"Ketika bicara krisis iklim, kita bukan cuma bicara lingkungan saja. tapi juga mulai dari krisis kemanusiaan, ekonomi dan lain-lain. Dampaknya itu banyak sekali," dia melanjutkan.
Â
Saatnya Beralih ke Energi Terbarukan
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyebut, langkah apa pun mesti diupayakan meski kenaikan suhu bumi tidak terhindarkan. Setidaknya, kenaikan suhu itu tidak lebih dari yang disetujui dalam Paris Agreement pada 2015. Karena, Dwikorita menyatakan, masyarakat bakal mengalami kesusahan apabila harus hidup berdampingan dengan dampak dari perubahan iklim yang diakibatkan suhu bumi memanas.Â
Dia mengambil contoh bagaimana Indonesia sangat kewalahan saat badai tropis menerjang seperti yang terjadi di NTT dan Papua, di mana peristiwa itu terjadi bergantian. Padahal, kata Dwikorita, kenaikan suhu di Indonesia rata-rata masih 1 derajat Celcius. Jika suhu semakin meningkat, dia ragu dengan kemampuan Indonesia dalam menghadapi serangan badai tropis yang berpotensi kian sering terjadi.Â
"Jadi, kita harus berdampingan setiap hari hidup dengan badai tropis. Ya kalau kita mampu, kita siap, teknologi kita siap, peradaban kita siap menghadapi badai tropis setiap minggu atau bahkan hampir setiap hari, ya sudah mari dihadapi. Tapi, kalau tidak siap? Orang kemarin kena badai tropis di NTT, yang terjadinya tidak setiap tahun, korbannya sudah begitu banyak," dia menegaskan.Â
"Kalau seperti di Haiti, sudah terkena guncangan gempa dahsyat lalu diserang badai tropis bersamaan, bagaimana? Dan kalau itu menjadi kenormalan baru, apakah kita sanggup hidup berdampingan seperti itu? Jadi, ya kita yang bisa menjawab. Kalau tidak sanggup ya harus melakukan upaya," tambah Dwikorita.
Dia menekankan agar masyarakat bumi melakukan pengereman drastis dan masif terhadap penggunaan bahan bakar fosil dan mulai beralih secara signifikan ke energi terbarukan seperti tenaga surya, tenaga angin, dan arus air.
Pentingnya Penghijauan
Penghijauan juga mesti dilakukan besar-besaran disertai pencegahan terjadinya kerusakan lahan. Kerusakan lahan yang tidak terkendali, misalnya adanya kegiatan penambangan yang tidak terkendali atau tidak tertata di mana-mana, yang membuat manusia sengsara di masa depan.Â
Menurut Dwikorita, perlu kesadaran bersama dari penduduk bumi dalam mengurangi dampak gas rumah kaca. Dia juga berharap ada upaya mitigasi sebelum bencana-bencana akibat perubahan iklim menimpa wilayah Indonesia dengan lebih sering.
BMKG memprediksi, pada tahun 2030, musim kemarau akan semakin kering sampai 20 persen, sedangkan musim hujan akan semakin basah disertai hujan yang lebih lebat. Tapi, fenomena banjir bandang di sejumlah wilayah utara dan barat khatulistiwa diprediksi justru terjadi ketika musim kemarau. Krisis iklim akibat suhu bumi memanas membuat daerah yang seharusnya dingin, malah terkena gelombang panas.
"Jadi kacau, porak-poranda, kalau kita tidak mau berubah. Karena ini slow onset, jadi orang tidak merasakan. Tapi, kalau tiba-tiba seketika terjadi, itu baru kita syok," ujarnya.Â
Advertisement