Liputan6.com, Jakarta - Perpanjangan pemberlakuan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga 30 Agustus 2021 mendatang menuai beragam tanggapan.
Salah satunya anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono (BHS) yang mendesak pemerintah tidak kembali menerapkan PPKM.
Menurut dia, alasannya adalah karena kondisi penularan Covid-19 semakin membaik setelah PPKM semakin dilonggarkan.
Advertisement
"Sebelum PPKM, pada saat 20 Juni, itu kondisinya sudah sama persis dengan jauh sebelum diberlakukannya PPKM. Dan malah sekarang ini lebih rendah daripada saat kita belum punya pikiran PPKM. Tapi kematiannya pada saat sebelum PPKM malah jauh lebih rendah. Ini bukti bahwa PPKM tidak perlu lagi diberlakukan," ujar Bambang Haryo melalui keterangan tertulis, Selasa (24/8/2021).
Dia menjelaskan, saat diberlakukan PPKM Darurat yang levelnya lebih tinggi, angka penambahan kasus Covid-19 malah naik drastis hampir tiga kali lipat.
Angkanya, kata Bambang Haryo, naik hingga 50 ribu kasus baru Covid-19 dengan kematian sekitar 1.400. Sedangkan sebelum PPKM jumlahnya 12.000 dengan kematian 371.
"Jadi untuk PPKM sementara tidak diperpanjang lagi karena rakyat sudah cukup menahan untuk tidak melakukan kegitan. Bila kita lihat dari data hasil PPKM mulai dari darurat sampai 4 level berikutnya, kita dapat melihat penurunan kasus baru karena diturunkannya level PPKM," terang dia.
Â
Â
** #IngatPesanIbuÂ
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Lakukan Analisa Dampak PPKM
Bambang Haryo yang juga merupakan mantan anggota DPR RI 2014-2019 ini menilai, pemerintah perlu melakukan analisa dampak PPKM yang dinilai sudah banyak mengorbankan kondisi rakyat saat ini.
Menurut dia, hingga kini masyarakat sudah mengeluarkan biaya yang sedemikian besar saat PPKM.
Dijelaskan Bambang Haryo, PPKM Darurat dimulai 3 Juli 2021 lalu. Pada Saat itu ada penambahan kasus baru 27.913 dan angka kematiannya 493.
"Nah harusnya saat PPKM Darurat, angka Covid-19 menurun. Tapi kenyatannya bukan menurun, malah menaik," ucap dia.
Pada 25 Juli 2021, kasus baru menjadi 38.679 dengan angka kematian tiga kali lipat, 1.266. Dan setelah PPKM dilonggarkan pada level 4 sampai 2 Agustus 2021, hasilnya malah membaik, 22.404 dengan angka kematian 1.568.
Kemudian PPKM level berikutnya, pada 8 Agustus, malah terjadi menurun, yakni kasus barunya menjadi 17.384 dengan angka kematian 1.200.
"Ini berarti apa? Semakin levelnya diturunkan PPKM ini, maka kasus baru semakin menurun. Harusnya ini perlu dianalisa oleh pemerintah," terang Bambang.
Lalu pada 22 Agustus itu terjadi penurunan menjadi 12.408 dan kematian menurun menjadi 1.030.
"Nah pada 22 Agustus ini, kondisinya sama persis pada saat Pemerintah belum menunjuk koordinator palaksana PPKM yaitu sekitar tanggal 20 juni sebesar 13.737 dan kematian 371 pehari," ucap dia.
Karena itu, dia pun menilai analisa terhadap hasil penerapan PPKM belum dilakukan secara maksimal.
BHS menambahkan, penerapan PPKM dengan analisa yang tidak akurat mengakibatkan begitu banyak kematian.
"Tidak hanya kematian manusia, namun yang paling membuat rakyat kesulitan, adalah kematian ekonomi," ucap dia.
Â
Advertisement
Jalankan Vaksinasi Covid-19
Selain itu, Bambang Haryo juga menyinggung soal vaksinasi Covid-19 yang dilakukan pemerintah dan hampir menyentuh 50 persen rakyat Indonesia.
"Namun, pemerintah sendiri belum yakin terhadap kemampuan efikasi vaksin yg disiapkan pemerintah itu sendiri," ucap dia.
Terbukti, lanjut Bambang Haryo, pemerintah masih menggunakan hasil test PCR maupun antigen sebagai persyaratan masyarakat untuk melakukan kegiatan menggunakan fasilitas publik termasuk transportasi publik, mall dan layanan layanan publik di samping syarat vaksinasi Covid-19.
"Padahal di transportasi publik serta mall, di mana masyarakat sangat dibatasi dan membatasi interaksi serta ketatnya pengawasan penerapan protokol Covid-19. Karena mereka sendiri juga tidak menginginkan tertular Covid," papar dia.
"Dan diharapkan pemerintah mendorong masyarakat untuk mau menggunakan transportasi publik dengan kemudahannya, jangan malah dipersulit dengan persyaratan dan biaya biaya mahal. Sehingga apabila dipersulit maka masyarakat akan pindah ke transportasi pribadi dan ini malah akan sulit untuk dikendalikan," sambung Bambang Haryo.
Menurut dia, persyaratan rangkap vaksinasi serta antigen dan PCR tidak terjadi di banyak negara di dunia.
"Tidak ada ditransportasi yg menggunakan persyarakat tes antigen atau PCR untuk transportasi publik domestik. Mereka hanya dicek temperatur saja, apalagi jika mereka sudah melaksanakan vaksinasi," papar Bambang Haryo.
Karena, lanjut dia, negara-negara tersebut sangat yakin terhadap efikasi vaksinasi yg terbaik yg diberikan kepada warganya. Seperti halnya di Selandia Baru, Australia, China, Itali dan beberapa negara eropa lainnya.
Â
Libatkan ASN dan TNI-Polri
Untuk mengatasi penularan Covid-19 itu, Bambang Haryo menyebut, sebaiknya pemerintah lebih menggerakkan secara maksimal seluruh ASN yang jumlahnya sekitar 4,5 juta.
Serta TNI Polri yang jumlahnya 1,5 juta untuk mensosialisasikan serta mengawasi kegiatan masyarakat dalam penerapan prokes Covid-19.
"Dan ini saya kira jauh lebih efektif daripada penerapan PPKM, apalagi kalau pemerintah juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ulama, kyai termasuk RT/RW yg berjumlah sekitar 600 ribu seluruh Indonesia untuk ikut mengingatkan komunitas atau warganya menggunakan Prokes Covid-19. Tidak perlu adanya penyekatan dan justru menekankan penerapan prokes dan mensosialisasikan cara pencegahan maupun pengobatan Covid 19, serta mendorong meningkatkan imunitas daripada masyarakat secara maksimal," kata dia.
"Dan bisa juga memaksimalkan seluruh puskesmas yg jumlahnya sekitar 100 ribu di seluruh Indonesia untuk mendata sekaligus membantu dan mengedukasi pencegahan serta pengobatan Covi10 secara maksimal. Dan ini masuk dalam mitigasi bencana," tutup Bambang Haryo.
Advertisement