Sukses

Banjir Kritik Soal Hinaan Meringankan Hukuman Juliari, Ini Kata PN Jakpus

Bambang menjelaskan sampai saat ini putusan terhadap Juliari belum memperoleh hukum tetap.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara telah divonis 12 tahun oleh majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta. Majelis hakim menjadikan cacian dan hinaan kepada Juliari sebagai poin meringankan hukuman atas perkara korupsi suap bansos Covid-19.

Pertimbangan majelis hakim ini pun banjir kritik dari publik. Menanggapai sorotan tersebut, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Bambang Nurcahyo menjelaskan, salah satu alasan penggunaan poin pertimbangan itu dimuat oleh majelis hakim sebagai sikap mengedepankan asas praduga tak bersalah.

"Itu adalah untuk menjaga asas praduga tidak bersalah. Jadi, harus dibaca poin 2 itu adalah satu kesatuan sebelum itu mempunyai hukum yang tetap, jadi untuk menjaga asas praduga tidak bersalah, before the law sebelum mempunyai kekuatan hukum yang tetap," terang Bambang kepada wartawan, Selasa (24/8/2021).

Walaupun Bambang memahami jika pikiran masyarakat menilai wajar sebagai koruptor mendapatkan cacian. Tetapi, sebagai hakim hal tersebut tidaklah diperkenankan, karena setiap hakim harus menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.

"Artinya emang itu wajar untuk koruptor kan gitu (pikiran masyarakar), tapi mungkin majelis di dalam pertimbangan putusan perkara a quo dasarnya kenapa itu dimasukan, ya tadi, untuk menjunjung azas praduga tak bersalah, tetap larinya ke situ," katanya.

"Masyarakat kan punya pola anggapan saya kan juga masyarakat 'lu koruptor salah lu sendiri' tapi mungkin karena kita hakim, hakim kan tau orang itu salah atau bagaimana. Teyapi kita harus menjunjung asas praduga tak bersalah, sebelum diberikan suatu vonis memperoleh hukum tetap," lanjutnya.

Pasalnya, Bambang menjelaskan sampai saat ini putusan terhadap Juliari belum memperoleh hukum tetap. Karena sejak sidang vonis, Senin (23/8/2021) lalu, Juliari memutuskan pikir-pikir dahulu selama tujuh hari kedepan untuk menerima atau menolak vonis dari Hakim Ketua Muhammad Damis.

"Kan bisa aja nanti ditingkat banding berubah atau di MA berubah kita kan enggak ngerti, apa bisa dinaikkan. Artinya Pak Damis atau majelisnya ingin menerapkan bahwa seorang itu sebelum mempunyai kekuatan hukum tetap azas praduganya harus kita lindungi," jelasnya.

"Walaupun dalam tanda kutip tahu salah tapi kan pengadilan pintu gerbang untuk membuktikan itu bersalah atau tidak, pengadilan bukan hanya PN aja, MA kan juga pengadilan. Cuma beda di tingkatannya," tambahnya.

Sebelumnya, Majelis hakim telah menjatuhkan vonis 12 tahun penjara kepada Juliari Batubara, terdakwa kasus korupsi bansos Covid-19. Putusan tersebut berdasarkan pertimbangan kondisi yang meringankan dan memberatkan atas pelanggaran pidana mantan Menteri Sosial (Mensos) tersebut.

Dalam poin yang meringankan, hakim menyebut Juliari sudah cukup mendapatkan sanksi sosial dalam bentuk penghinaan dari masyarakat Indonesia, meskipun pengadilan belum memutuskan bahwa dirinya bersalah.

"Keadaan meringankan, terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis bersalah oleh masyarakat, padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," tutur hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (23/8).

 

** #IngatPesanIbu 

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua

2 dari 2 halaman

Hal Memberatkan Juliari

Selain itu, hakim melanjutkan, Juliari selama persidangan yang berjalan empat bulan ini selalu hadir dan tertib. Dia dinilai kooperatif tanpa bertingkah dengan membuat berbagai alasan yang menghambat jalannya persidangan.

"Padahal, selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso," jelas hakim.

Adapun hal yang memberatkan adalah tindak pidana korupsi Juliari dilakukan dalam kondisi bencana darurat non alam yakni pandemi Covid-19. Sementara mantan kader PDIP itu malah terus menyangkal segala perbuatannya.

"Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak kesatria. Ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," katanya.

Putusan tersebut, dijatuhkan karena Juliari dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Perbuatannya itu melanggar Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 atau Pasal 11 Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 ke 1 KUHP.

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka.com