Liputan6.com, Jakarta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim resmi membubarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pembubaran ini berdasarkan Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemendikbudristek yang ditekan Nadiem pada 23 Agustus 2021.
Posisi BSNP digantikan oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Mendikbudristek. Padahal sebelumnya, BSNP merupakan badan yang bersifat independen.
Baca Juga
Keputusan ini sontak menuai polemik terutama dari kalangan pegiat dan praktisi pendidikan. Pembubaran BSNP yang dilakukan Nadiem ini dinilai menabrak Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Advertisement
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra mengatakan, keputusan yang diambil Nadiem Makarim mencerminkan upaya resentralisasi dan birokratisasi pendidikan nasional.
"Dengan keterbatasan kapasitas pemerintah untuk benar-benar memajukan pendidikan nasional, pembubaran BSNP adalah blunder dan setback bagi pendidikan bangsa,” kata Azyumardi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/8/2021).
Sementara Pengamat Pendidikan,, Indra Charismiadji menilai, Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021 tersebut melancangi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
"Permendikbud bisa mengalahkan undang-undang. Bagaimana kondisi bernegara kita ini?" katanya saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (31/8/2021).
Mengacu pada UU Sisdiknas, ditegaskan bahwa badan standardisasi pendidikan harus bersifat mandiri. Karena itu, menurut Indra, badan standardisasi pendidikan tak boleh bersubkoordinat dengan kementerian mana pun.
"UU Sisdiknas mengamanatkan adanya sebuah badan (tentunya di luar pemerintah) untuk mengawasi sistem pendidikan, tapi malah dihapus dengan sebuah peraturan menteri," katanya.
Indra menyesalkan hal tersebut. Menurutnya hal itu menunjukan secara jelas pemerintah tak menaati peraturan. "Bagaimana kita akan menjadi bangsa yang beradab kalau kita tidak tertib sesuai peraturan?"
Hal serupa juga disampaikan, mantan anggota BSNP, Doni Koesuma. Dia menilai bahwa Permendikbudristek 28/2021 menyalahi aturan karena membuat badan standar tak lagi independen. Mengacu pada Pasal 233 Permendikbudristek 28/2021, disebutkan bahwa Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan berada di bawah Mendikbudristek.
Menurut Doni, BSNP dibuat independen lantaran untuk memberi tugas kepada pemerintah, dalam hal ini penyelenggara pendidikan nasional, yakni Kemenag dan Kemendikbudristek supaya memenuhi capaian standar yang ditentukan. Jika tak lagi mandiri, maka bisa saja standar itu dibuat rendah.
Hal itu tentu saja amat merugikan masyarakat dalam memenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas.
"Karena BSNP itu bertugas untuk memberikan jaminan minimal hak warga negara dalam bidang pendidikan. Sehingga yang melaksanakan itu kan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jadi itu alasannya kenapa badannya harus independen, dulu dalam UU Sisdiknas itu disebut begitu," tegas Doni.
Bukan hanya itu, karena diletakkan di unit kerja Kemendikbudristek, maka rekomendasi yang ditelurkan badan standardisasi yang baru tak mengikat kementerian lain yang juga menangani pendidikan, yakni Kementerian Agama (Kemenag).
"Maka cakupan keberlakukan SNP (Standar Nasional Pendidikan) harus diatur di dalam PP yang lebih tinggi kan," katanya.
Namun begitu, menurut Doni, muaranya adalah PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang tak taat dengan Pasal 35 Ayat 4 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
"Yang menyalahi UU Sisdiknas menurut saya PP 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang tidak mengatur badan standardisasi sesuai Pasal 35 UU Sisdiknas Ayat 4," jelasnya.
Menurut Doni, mestinya PP tersebut mengatur secara lengkap soal badan standarisasi dan penegasan sifatnya yang independen. "Tapi dalam PP 57 Pasal 34, itu hanya mengutip ulang Pasal 35 Ayat 3 UU Sisdiknas. Terus kemudian diatur kepada menteri, lah ini kan ada suatu penyelewengan terhadap amanat UU Sisdiknas."
Politikus Demokrat Kamhar Lakumani menilai, Mendikbudristek Nadiem Makarim telah membuat gaduh lantaran membubarkan BSNP. Dia menilai, saat ini bukan waktu yang tepat mengambil keputusan tersebut.
"Terlepas dari polemik apakah kebijakan ini melanggar UU Sisdiknas atau tidak, pertanyaannya adalah apakah saat ini waktu yang tepat untuk pembubaran BSNP? Mengingat revisi UU Sistem Pendidikan Nasional telah diajukan dan tengah berproses. Kenapa tidak menunggu hasil revisi UU agar tak terjadi kegaduhan yang tak perlu," kata dia, Rabu (1/9/2021).
Menurut Kamhar, kebijakan pembubaran BSNP terkesan diambil secara terburu-buru tanpa melibatkan stakeholder pendidikan. Sebabnya, menuai resistensi dan polemik.
Dia menyebut, BSNP adalah lembaga independen yang menjadi counterpart pemerintah dalam hal kurikulum yang kemudian diganti dengan lembaga baru yang strukturnya berada di bawah Kemendikbudristek.
"Kebijakan ini justru membuat publik membacanya bahwa Nadiem memiliki kendala koordinasi dan kurang nyaman dengan mekanisme dialektik, gandrungnya dengan cara-cara satu arah dan top down. Ini pola-pola lama yang sudah usang dan ditinggalkan," ucap Kamhar.
Selain itu, lanjut dia, sebagai konsekuensi perubahan kelembagaan yang strukturnya berada di bawah Kemendikbudristek tentu berimbas pada bertambahnya kebutuhan anggaran.
"Semakin besar beban anggaran yang mesti ditanggung di kala situasi keuangan negara sedang sulit dan utang yang semakin membengkak hingga lebih dari 6.500 triliun rupiah," kata dia.
Kemendikbudristek Bantah Langgar UU Sisdiknas
Kemendikbudristek membantah tudingan melanggar UU Sisdiknas lantaran membubarkan BSNP dan mengintegrasikan badan serupa ke unit kerja kementerian.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Kerjasama dan Humas Kemendikbudristek, Anang Ristanto menerangkan, penggabungan badan standarisasi pendidikan di bawah naungan Kemendikbudristek tak menyalahi aturan UU Sisdiknas.
Menurutnya, amanat kemandirian yang tertuang pada pasal 35 ayat 3 UU Sisdiknas bukan dialamatkan pada badan standardisasi pendidikan, melainkan badan akreditasi pendidikan.
"Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengatur bahwa pemantauan dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. Selanjutnya, penjelasan Pasal 35 menyebutkan bahwa badan tersebut bersifat mandiri. Selaras dengan penataan tugas dan fungsi Kemdikbudristek, badan sebagaimana dimaksud pada UU Sisdiknas tersebut adalah badan akreditasi," kata Anang dalam keterangan tertulis, Rabu, 1 September 2021.
Anang menjelaskan, terdapat tiga badan akreditasi yang membantu pengembangan standar nasional pendidikan serta memantau dan melaporkan pencapaiannya secara nasional melalui akreditasi. Pertama Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, serta Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
Lebih lanjut, Kemendikbudristek akan menggantikan peran dan fungsi BSNP kepada Dewan Pakar Standar Nasional Pendidikan. Hal ini dilakukan setelah BSNP resmi dibubarkan Nadiem Makarim lewat Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021.
"Sesuai dengan Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, pengembangan standar nasional pendidikan dapat melibatkan pakar. Maka Kemdikbudristek akan menyesuaikan tugas dan fungsi BSNP menjadi Dewan Pakar Standar Nasional Pendidikan," ujar Anang Ristanto kepada Liputan6.com, Selasa (31/8/2021).
Keberadaan Dewan Pakar Standar Nasional Pendidikan, dijelaskan Anang untuk menepis kekhawatiran sejumlah pihak akan absennya keterlibatan publik dalam penyusunan kebijakan di dunia pendidikan. Sama seperti BSNP, dewan tersebut bakal memberikan rekomendasi kepada Mendikbudristek.
"Guna memastikan keberlanjutan keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan terkait standar nasional pendidikan. Dewan tersebut akan bertugas memberi pertimbangan kepada Mendikbudristek mengenai standar nasional pendidikan," tutur dia.
Menurut Anang, mengacu pada Pasal 29 Perpres Nomor 62 Tahun 2021 tentang Kemdikbudristek menyebutkan bahwa Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan bertugas menyelenggarakan penyusunan standar, kurikulum, dan asesmen pendidikan serta pengelolaan sistem perbukuan.
"Pasal 29 Perpres Nomor 62 Tahun 2021 tentang Kemdikbudristek menyebutkan bahwa Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan bertugas menyelenggarakan penyusunan standar, kurikulum, dan asesmen pendidikan serta pengelolaan sistem perbukuan," kata dia.
Karenanya, pihaknya mengundang anggota BSNP untuk bergabung ke dalam Dewan Pakar Standar Nasional Pendidikan.
"Kemdikbudristek mengundang kepada seluruh anggota BSNP untuk menjadi anggota dewan tersebut untuk bersama mewujudkan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia," tutur Anang.
Namun eks anggota BSNP, Doni Koesoema mengatakan, keberadaan bekas lembaganya yang digantikan dengan Dewan Pakar Standar Nasional Pendidikan adalah hal yang berbeda.
"Dewan pakar fungsinya beda dengan badan standardisasi," kata Doni kepada Liputan6.com, Rabu (1/9/2021).
Menurut dia, solusi ini tak menjawab sesuai UU Sisdiknas. Diketahui, dalam Pasal 35 Ayat 3 UU Sisdiknas disebutkan, badan standarisasi harus mandiri.
"Jadi tidak menjawab amanah pasal 35 UU Sisdiknas sebagai lembaga mandiri," jelas Doni.
DPR Akan Panggil Nadiem Makarim
Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda mengatakan pihaknya akan memanggil Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk menjelaskan soal pembubaran BSNP yang menuai polemik.
"Kita agendakan, Mas," kata Huda kepada Liputan6.com, Rabu (1/9/2021).
Komisi X DPR saat ini tengah mencari waktu yang sesuai. Ia berharap undangan itu bisa dilayangkan dalam waktu dekat.
"Kita cari waktunya. Semoga dalam waktu dekat," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI Fraksi PAN, Zainuddin Maliki mengatakan, BSNP adalah badan independen diisi unsur masyarakat dari berbagai latar belakang.
“Oleh karena itu pembubaran BSNP bertentangan dengan prinsip independensi, partisipatoris, dan kegotong royongan dalam penyelenggaraan pendidikan” ujarnya.
Zainuddin mengatakan, mengganti fungsi BSNP dengan Dewan Pakar belum sejalan dengan amanat UU Sisdiknas. Dalam pasal 35 UU Sisdiknas, pemerintah diberi amanat untuk mengembangkan standar nasional pendidikan serta melakukan pemantauan dan pelaporan.
Sementara penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa badan pengembangan standar nasional pendidikan tersebut bersifat mandiri. “Dewan Pakar itu sekadar memberi pertimbangan kepada Mendikbudristek mengenai standar nasional pendidikan, tentu tidak setara dengan BSNP yang mandiri,” ungkapnya.
“Dengan membubarkannya maka sekolah tidak akan lagi memiliki acuan standar kelulusan, pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, maupun pembiayaan pendidikan yang disusun oleh sebuah lembaga mandiri,” tambahnya.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu menegaskan, pembubaran BSNP menunjukkan Kemdikbudristek tengah melakukan penguatan dan pemusatan birokrasi pendidikan yang berdampak pada pelemahan partisipasi masyarakat.
“Kamus gotong-royong dalam penyusunan, pemantauan dan pelaporan standar nasional pendidikan menjadi terasa dikesampingkan,” ungkapnya.
“Di tengah tantangan yang semakin kompleks, apalagi beban pemerintah yang semakin berat menghadapi pandemi Covid-19, dalam penyelenggaraan pendidikan seharusnya ditekankan pentingnya gotong royong dan dilakukan penguatan partisipasi masyarakat, bukan melemahkannya,” tambahnya.
Advertisement