Sukses

Jenderal Polwan Ini Ingatkan Perlu Hitam di Atas Putih Hapus Tes Keperawanan

Negara juga sudah meratifikasi UU Nomor 7 tahun 1984, bahwa negara menghapuskan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Liputan6.com, Jakarta Purnawirawan Polwan Brigjen Sri Rumiati berbagi cerita terkait perjalanan Polri menghapus tes keperawanan. Dia pun mengingatkan agar institusi negara dapat menuangkan penghapusan tes keperawanan lewat hitam di atas putih.

"Mau cerita pengalaman saya tahun 2006, kebetulan saya mendapat kesempatan untuk mewakili Kabag saya dalam penentuan penerimaan seleksi, baik untuk Bintara Polri maupun Akpol," tutur Sri dalam diskusi virtual, Rabu (1/9/2021).

Sri mengatakan, saat momen pembahasan persyaratan calon anggota Polri, dirinya tergelitik dengan kalimat 'hymen yang utuh'. Diskusi pun terjadi lantaran dokter menjelaskan bahwa hal tersebut berkaitan dengan tes keperawanan.

"Kemudian saya tanyakan, kalau perempuan diperiksa ini masalah keperawanannya, bagaimana dengan yang laki-laki. Kenapa ini hanya perempuan saja. Kalau laki-laki katanya tidak bisa dilakukan. Kaitannya apa ini harus dilakukan," jelas dia.

"Kemudian dijawab bahwa itu masalah moral. Saya tanyakan balik, kalau seandainya itu masalah moral, ketika seseorang menjadi polisi, baik laki-laki maupun perempuan harus bermoral baik, bagaimana dengan laki-laki yang keluar masuk pelacuran. Apakah dia bisa dikategorikan sebagai laki-laki yang bermoral baik. Karena ini di forum diskusi, itu saya tanyakan," sambung Sri.

Dia pun mengaku dirundung dalam forum diskusi tersebut atas pendapatnya itu, bahkan oleh perempuan sekali pun. Padahal, sikap Sri tersebut terbentuk lantaran banyak menangani masalah perempuan dan anak, baik itu kasus perkosaan, KDRT, hingga perdagangan orang.

Sebagai psikolog Polri, dia pun mengingatkan bahwa dalam pembukan UUD 1945 alinea keempat tertulis bahwa negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Negara juga sudah meratifikasi UU Nomor 7 tahun 1984, bahwa negara menghapuskan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

"Jadi ketika 2006 saya melihat kasus yang seperti ini, bayangan dalam benak saya adalah anak-anak yang menjadi korban perdagangan orang, korban perkosaan, mereka rata-rata masih anak-anak. Apakah masa mereka ke depan sudah tertutup untuk menjadi anggota polisi, karena persyaratan mau tak mau harus diikuti," kata Sri.

Dari sini, akhirnya keluar kesepakatan bahwa tes keperawanan kepada calon anggota Polri tahun 2006 tidak boleh lagi dilakukan. Namun aturan tersebut hanya merupakan hasil rapat tanpa adanya hitam di atas putih alias tidak tertulis.

Hasilnya, Sri mendapati ternyata masih banyak proses seleksi di daerah yang menerapkan tes keperawanan. Pada 2008, dia kemudian berhadapan dengan DPR yang masih menyatakan perlunya tes keperawanan bagi Polwan.

"Saya sampaikan kepada Beliau apa alasannya. Apakah negara bisa menjamin, kita tahu bahwa Indonesia itu multi segala macam. Konflik sangat mudah terjadi di dalam situasi ini, kalau kita tidak pandai mengelolanya," ujarnya.

2 dari 2 halaman

Moral dan Keperawanan

Sri lantas menegaskan, perempuan dan anak-anak selalu rentan menjadi korban perkosaan. Tidaklah pantas institusi negara menerapkan tes keperawanan bagi rakyatnya, sementara negara itu sendiri tidak dapat menjamin perempuan dan anak-anak terbebas dari tindak kriminal tersebut.

Jika yang dipertanyakan adalah urusan moral, Sri melanjutkan, perlu ada tolak ukur yang adil dalam menilai sisi tersebut. Sementara selama ini tidak ada bukti penelitian yang menunjukan bahwa perempuan dengan selaput dara yang rusak sudah pasti buruk moralnya.

"Pas tahun 2014 kalau tidak salah, Pak Kapolri mengeluarkan surat keputusan bahwa tes itu tidak boleh lagi dilakukan di kepolisian. Kalau sudah ada hitam di atas putih tentu semua wajib mematuhi aturan itu," Sri menandaskan.