Sukses

HEADLINE: Mendikbud Ristek Bubarkan BSNP, Langkah Mundur Pendidikan?

Dalam Permendikbud Nomor 28/2021, posisi BSNP digantikan oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Mendikbudristek.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) resmi bubar pada 23 Agustus 2021 setelah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim meneken Permendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemendikbudristek.

Dalam permendikbudristek tersebut posisi BSNP digantikan oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Mendikbudristek.

Permendikbud Nomor 28/2021 yang mengatur pembubaran BSNP merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). PP tersebut diteken Presiden Joko Widodo per 31 Maret 2021.

Sementara BSNP merupakan lembaga independen yang dibentuk lewat PP Nomor 19 Tahun 2005. Pasal 22 ayat 1 PP tersebut mengamanatkan pembentukan badan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan.

Secara rinci, pembentukan BSNP sebagai lembaga independen dibentuk lewat pasal 73 ayat 1, yang berbunyi "Dalam rangka pengembangan, pemantauan, dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan, dengan Peraturan Pemerintah ini dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan".

Pembentukan BSNP sebagai lembaga independen dinilai sesuai dengan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.

Sejumlah praktisi pendidikan pun menilai pembubaran BSNP ini menyalahi UU Sisdiknas.

"Permendikbud bisa mengalahkan undang-undang. Bagaimana kondisi bernegara kita ini?" kata Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji saat dihubungi Liputan6.com.

Mengacu pada UU Sisdiknas, bahwa badan standardisasi pendidikan harus bersifat mandiri. Karena itu badan standardisasi pendidikan tak boleh bersubkoordinat dengan kementerian mana pun.

"UU Sisdiknas mengamanatkan adanya sebuah badan (tentunya di luar pemerintah) untuk mengawasi sistem pendidikan, tapi malah dihapus dengan sebuah peraturan menteri," katanya.

Bukan hanya menyalahi undang-undang, kebijakan itu dinilai bisa berdampak buruk pada kualitas pendidikan di Indonesia.

"Ada BSNP saja yang tugasnya memantau dan mengawasi bagaimana sistem pendidikan itu dilaksanakan oleh pemerintah itu amanat UU pasal 35 ayat 4, itu saja kita memiliki kualitas pendidikan salah satu yang terendah di dunia nah sekarang dibubarkan tidak ada yang mengawasi enggak ada yang memantau makin seenaknya sendiri kemendikbud dalam membuat program," kata Indra.

Dampak kedua, kata Indra, tidak terciptanya good government yang melaksanakan tata tertib perundang-undangan. Sebab, permendikbudristek ini justru menyalahi UU Sisdiknas. 

"UU di kalahkan dengan peraturan menteri nah ini memberikan contoh sangat buruk. Nanti jangan kaget kalau peraturan sekolah digantikan oleh peraturan OSIS," ujar dia.

Indra berpendapat, Kemendikbudristek tidak melakukan kajian akademis terlebih dahulu sehingga tak punya tujuan jelas atas pembubaran BSNP tersebut.

"Dibubarkan dasarnya apa ini kan suka sukanya dia, ini yang kita enggak tahu arahnya apa tujuannya apa terus tiba-tiba mau bikin dewan pakar baru, organisasi baru," kata Indra.

Saat ini, kata Indra lebih baik Kemendikbudristek fokus untuk membenahi pembelajaran selama pandemi Covid-19. Saat ini, kata dia, Kemendikbudristek hanya fokus pada program-program nonpandemi, misalnya guru penggerak, asessmen nasional yang mengakibatkan learning loss. 

"Orangtua, guru enggak disiapin ngajar selama pandemi dan lucunya lagi katanya ahli program digitalisasi sekolah tapi minta siswa untuk tatap muka," ujar dia.

Sementara, Koordinasi Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai akan ada masalah besar bagi pendidikan di Indonesia setelah BSNP ini dibubarkan. Sebab, tak ada lagi partisipasi masyarakat yang bersifat independen dalam dunia pendidikan. 

"Partisipasi publik di luar pemerintah tambah ditutup, maka ini kemunduran karena masyarakat tidak terlibat, tidak ada lembaga independen yang lakukan kontrol. Jadi semua apa kata pemerintah, apa kata kemendikbud," kata Ubaid kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (2/9/2021). 

Sebenarnya, kata dia, sebelum BSNP dibubarkan pun masih banyak catatan untuk pendidikan di Indonesia. Seperti, di lingkungan sekolah tidak ada ruang untuk partisipasi masyarakat. Misalnya pengelolaan Program Indonesia Pintar yang tahu hanya dinas dan kepala sekolah saja.

"Tanya ke guru pasti nggak tahu, tanya ke siswa kenapa dia tidak dapat padahal dia miskin, pasti tidak tau," ujar dia.

Hal itu, kata Ubaid, menunjukkan bahwa tata kelola pendidikan di Indonesia sudah tersentralisasi dan tertutup sehingga hak-hak anak Indonesia untuk mendapat pendidikan yang baik tidak terlaksana, tapi justru terjadi kesenjangan. 

Ditambah lagi, BSNP yang merupakan lembaga independen dan menjadi bagian dari kontrol kebijakan kemendikbudristek dibubarkan. Maka sistem pendidikan akan semakin tertutup. Sehingga menurutnya, terjadi kemunduran demokrasi dan kembali ke model otoritarian dalam dunia pendidikan. Dimana kebijakan dikeluarkan, direncanakan, diawasi, dievaluasi dan disimpulkan sendiri oleh kemendikbud.

"Saya heran apa ini yang dimaksud merdeka? Menurut saya ini bukan merdeka dalam konteks kemerdekaan yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Tapi ini adalah otoritarian, suka-suka dia. Ini salah tafsir terhadap merdeka belajar," ujar Ubaid.

Ubaid menegaskan, kewenangan BSNP yang akan diambil alih oleh Dewan Pakar Standar Nasional Pendidikan yang berada di bawah kemendikbud sama saja dengan sentralisasi kekuasaan. Padahal, dalam kehidupan demokrasi, kewenangan harus dibagi.  

"Ini mendikbud bikin regulasi sendiri, meregulasi dirinya sendiri untuk membuat dewan pakar dan sebagainya, kemudian dia evaluasi sendiri, kesimpulan sendiri. Itu bukan reformasi birokrasi," kata dia.

Sebenarnya, kata dia, ada banyak hal yang harus jadi perhatian kemendikbudristek ketimbang mengeluarkan kebijakan kontraproduktif. Misalnya, mempersiapkan pembelajaran tatap muka (PTM) yang masih banyak masalah. Sebab banyak sekolah yang belum siap melakukan pembelajaran tatap muka, dan guru yang belum memahami pembelajaran dengan sistem hibrid serta orangtua yang masih bingung karena sekolah masih belum dibuka sebagian.

"Itu tidak bisa diselesaikan dengan pidato," ujarnya.

Seharusnya, dinas pendidikan turun langsung untuk mendampingi sekolah yang belum siap dibuka sehingga sekolah tersebut siap digunakan sesuai protokol kesehatan.

"Dinas harus turun, dinas bukan lakukan asesmen ini sekolah boleh dibuka atau tidak. Kewajiban dinas adalah membuka yang sudah siap, yang belum siap ya didampingi kurangnya apa, supaya siap bagaimana, apakah kurang sarana prasarana, apakah kurang dananya, harusnya didampingi bagaimana supaya dia siap," tandas Ubaid.

Sulit Ukur Objektifitas

Bekas anggota BSNP, Doni Koesoema mengatakan, dampak buruk dibubarkannya BSNP bisa terjadi lantaran pengembangan dan evaluasi keterlaksanaan standar pendidikan sulit diukur objektivitasnya. Sebab badan pengganti BSNP tak lagi independen dan justru menginduk pada Kemendikbudristek.

Menurut dia, bisa saja standar yang ditetapkan badan pengganti BSNP buatan Mendikbudristek tak sesuai dengan kelayakan standar pendidikan pada umumnya. Hal itu supaya pemerintah dianggap memenuhi target capaian pendidikan nasional dengan menurunkan standarnya. Padahal pendidikan berkualitas merupakan hak rakyat yang dijamin oleh undang-undang.

"Proses belajar mengajar adalah salah satu standar yang ditetapkan BSNP. Sejauh ini standar tentang proses belajar mengajar yang ditetapkan BSNP sudah baik. Namun yang menjadi masalah adalah penerapan proses belajar oleh guru yang kompeten," ujar Doni kepada Liputan6.com, Rabu (1/9/2021).

BSNP juga menetapkan standar tenaga kependidikan untuk memastikan bahwa guru-guru yang mengajar di kelas berkualitas dan kompeten. Sementara yang harus melaksanakan kewajiban menyediakan guru-guru berkualitas dan sejahtera adalah pemerintah.

"Jadi BSNP membuat standar, pemerintah melaksanakannya, badan akreditasi menilai kualitasnya," katanya menjelaskan.

Doni juga menerangkan alasan BSNP dibentuk terpisah dengan Kemendikbudristek atau mandiri. Menurutnya, jika BSNP tidak mandiri dan kewenangannya ada di bawah Kemdikbudristek, maka bisa jadi nanti pendekatan pengembangan guru menjadi tidak menyeluruh.

"Contohnya adalah program guru penggerak yang tidak menyentuh seluruh guru. Akibatnya, anak-anak bapak ibu yang diajar oleh guru yang tidak perform akan mendapatkan layanan buruk. Masa depan anak dipertaruhkan," tegas Doni.

Contoh lain, ihwal hasil Ujian Nasional (UN) para siswa di tahun-tahun terdahulu yang buruk. Menurut Doni, hal itu terjadi karena pemerintah gagal memenuhi standar-standar yang ditetapkan BSNP. 

"Harusnya pemerintah mengevaluasi kinerjanya, bukan membubarkan UN, bukan menggantinya dengan Asesmen Nasional, atau seperti sekarang, malah membubarkan BSNP," katanya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Pendidikan Bakal Kehilangan Arah?

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengaku kehilangan usai kemendikbudristek membubarkan BSNP. Menurutnya, BSNP sebagai lembaga mandiri, profesional, dan independen keberadaannya masih sangat dibutuhkan untuk mengawal agar pendidikan di Indonesia tidak kehilangan arah.

"Mereka memberikan standar, mulai dari standar kelulusan, pembelajaran, isi, tenaga kependidikan, sarana, itu kewenangan BSNP. Itu acuan operasional sekolah," kata Unifah kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (2/9/2021).

Tapi, jika badan standarisasi diubah menjadi di bawah kemendikbud maka tidak ada lagi lembaga yang melakukan evaluasi terhadap kebijakan kemendikbudristek.

"Kalau badan standar itu di bawah kemendikbud, sama saja kita mengevaluasi sendiri, menyatakan baik sendiri, padahal harus libatkan pihak eksternal," ujar dia.

Unifah mengatakan jika BSNP sudah kadung dibubarkan, dia berharap fungsi-fungsi BSNP ini tidak dihilangkan. 

"Namanya apa saja boleh, tapi yang penting fungsinya jangan ditinggalkan. Itu bagi kemendikbud sangat membantu. Kita perlu ada institusi yang melibatkan publik untuk menilai sejauh mana standar itu perlu dilaksanakan," ujar Unifah.

Sementara Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, keterlibatas masyarakat yang selama ini ada dalam BSNP akan tetap diberi ruang, yakni melalui Dewan Pakar Standar Nasional Pendidikan.

Dewan tersebut, kata Anindito, bersifat independen dan akan bertugas memberi pertimbangan kepada mendikbudristek mengenai standar nasional pendidikan.

"Kemdikbudristek akan mengundang kepada seluruh anggota BSNP untuk menjadi anggota dewan tersebut untuk bersama mewujudkan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Anindito kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (2/9/2021).

Anindito pun menegaskan Kemendikbud membubarkan BSNP karena mengacu pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpanrb) dan amanat Presiden yang mendorong terwujudnya organisasi kementerian negara yang tepat fungsi, tepat ukuran, dan tepat proses untuk mendukung efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) merupakan bagian dari tugas dan fungsi kementerian. Dalam hal ini, kata dia, standar nasional pendidikan merupakan bagian dari NSPK yang perumusannya menjadi tugas dan fungsi Kemendikbudristek.

"Penyusunan NSPK oleh pemerintah pusat ini sejalan dengan tata kelola pendidikan yang terdesentralisasi. Dalam hal ini, terdapat pembagian tugas di mana pemerintah pusat menyusun NSPK pendidikan, dan pemda menjadi penyelenggara pendidikan yang menerapkan NSPK tersebut," ujar Anindito.

Sedangkan evaluasi atau pemantauan pencapaian standar dan pelaporannya dilakukan oleh badan independen yang ada di tingkat pusat dan provinsi, yaitu Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, serta Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.

"Ini sejalan dengan pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)," tandas dia.

3 dari 3 halaman

Keputusan yang Buru-Buru

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai keputusan pembubaran BSNP terburu-buru dan berpotensi menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.

“Kami menilai keputusan untuk membubarkan BSNP ini terlalu terburu-buru. Ada banyak persoalan yang perlu di-clearkan baik dari sisi regulasi, fungsi, hingga unsur akomodasi sebelum BSNP diputuskan untuk dibubarkan,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Rabu (1/9/2021).

Huda menerangkan, menilik UU Sistem Pendidikan Nasional, BNSP merupakan penerjemahan dari Pasal 35 ayat 3. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

“Berangkat dari pasal itulah kemudian dibentuk BNSP, jadi secara tidak langsung BNSP ini merupakan amanat dari UU Sisdiknas,” katanya.

Eksistensi BSNP, kata Huda, tidak lepas dari upaya mendorong penyelenggaraan pendidikan baik di level usia dini, dasar, menengah, dan tinggi agar memenuhi standar pendidikan nasional. Standar tersebut meliputi pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, hingga kompetensi lulusan.

“Nah ini kan aneh, jika badan atau lembaga yang diideasikan menjadi 'wasit' untuk menilai apakah penyelenggara Pendidikan sudah memenuhi standar Pendidikan nasional atau belum, tapi berada di bawah kendali penyelenggara Pendidikan itu sendiri,” katanya.

Politikus PKB ini mengungkapkan, Komisi X DPR RI pada tahun 2017 pernah membentuk Panja Standar Nasional DIKTI dan membentuk Panja Standar Nasional Dikdasmen pada 2018. Dalam panja-panja itu, BSNP sering memberikan masukan dan saran agar Kemendikbud dapat memenuhi SNP, namun Kemendikbud tidak memenuhinya.

“Diantara standar yang saat ini belum terpenuhi dan paling krusial yaitu Standar Sarpras dan standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan,” katanya.

Huda mengingatkan Peraturan Pemerintah (PP) 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjadi dasar hukum pembubaran BSNP masih bermasalah. Peraturan Pemerintah tersebut sempat diprotes publik karena dinilai menghilangkan mata pelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia.

“Saat itu Mendikbud Nadiem Makarim sempat memberikan pernyataan publik jika akan segera mendorong revisi terbatas terhadap peraturan tersebut. Namun saat ini kita belum mendengar atau melihat konten revisi tersebut, tetapi tiba-tiba digunakan sebagai dasar pembubaran BSNP,” katanya.

Selain itu, lanjut Huda eksistensi BNSP juga bagian representasi dari keterlibatan unsur masyarakat dalam mengawal kualitas penyelenggaraan Pendidikan. Jika unsur ini kemudian dihilangkan maka akan membuat rumusan kebijakan Pendidikan menjadi ruang sunyi bagi suara-suara dari para perintis dan aktivis Pendidikan.

“Saya sepakat dengan pandangan Prof Azmuradi Azra jika pembubaran BNSP akan kian membuat kian tersentralisasi dan birokratisasi Pendidikan nasional,” pungkasnya.

Sementara, Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, BSNP merupakan badan mandiri yang rekomendasinya bukan hanya untuk Kemendikdbudristek, melainkan juga bagi dunia pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag).

Jika badan standarisasi Kemendikbudristek pengganti BSNP dimasukan pada unit kerja kementerian tersebut, menurut legislator PKS itu wilayah kerjanya tak mencakup Kemenag.

"Penyelenggara pendidikan di negeri ini tidak hanya dinaungi oleh Kemendikbudristek. Ada sekolah dan kampus di bawah Kementerian Agama, juga ada sekolah dan kampus di bawah Kementerian dan Lembaga lain, semisal sekolah dan kampus yang berada di bawah Kementerian Kesehatan," katanya lewat keterangan tulis, Kamis (2/9/2021).

"Maka semua urusan pengembangan, pemantauan, pengendalian Standar Nasional Pendidikan menjadi amanah BSNP ini. Tidak bisa diatur oleh badan yang hanya ada di level unit kerja Kemendikbudristek," sambungnya.

Ledia menekankan bahwa pembentukan badan baru pengganti BSNP merupakan langkah yang tak berguna. Hal itu juga disebutnya sebagai tindakan yang ceroboh.

"Membubarkan BSNP lalu membentuk badan baru yang mirip tapi berbedanya justru pada persoalan asasi, seperti cakupan, kemandirian dan bahkan melabrak tata aturan perundangan apa namanya kalau bukan mubazir dan sembrono?” ucap Ledia.

Dia pun minta Nadiem banyak belajar soal aturan sebelum menerbitkan regulasi yang buntutnya justru dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

“Mas Menteri coba belajar dulu soal tata aturan perundangan negara, nanya deh sama staf ahlinya sebelum keluarkan regulasi. Biar nggak bikin regulasi yang sembrono, labrak tata aturan. Amanah Undang-Undang mau dimentahkan sama Permendikbudristek, gimana ceritanya,” pungkasnya.