Jakarta - Nafiah Murhayanti tak kuasa menahan air mata. Perasaannya campur aduk. Ia sedih, bingung, tak tahu harus berbuat apa. Nafiah kaget ketika putrinya, Masayu Keynan Almeera alias Keynan (11), divonis mengidap cerebral palsy atau lumpuh otak.
Bak petir di siang bolong, Keynan yang saat itu masih berusia 40 hari, divonis mengalami masalah pada otaknya. Hingga sekarang, Nafiah masih tak bisa melupakan momen tersebut.
"Dunia saya seakan runtuh saat itu juga," kata dia kepada Liputan6.com.
Advertisement
Sejuta pertanyaan muncul di benak Nafiah. Bagaimana masa depan Keynan? Apa Keynan bisa disembuhkan? Apa Keynan bisa sekolah layaknya anak normal? Semua momen dan pertanyaan ini membuat Nafiah frustrasi.
"Saya sampai menolak anak. Sempat tidak mau megang, sempat memusuhi suami, menyalahkan semua orang. Sangat sulit ketika anak sendiri divonis seperti itu," Nafiah bercerita.
Baca Juga
Seiring waktu, Nafiah mulai berdamai dengan keadaan. Rasa sayang terhadap putrinya membuat ia meninggalkan segalanya dan fokus mengurus Keynan.
Sejak bayi, Keynan pun mulai menjalani fisioterapi. Dari sana banyak perkembangan yang dialami.
"Tapi hasil dari fisioterapi itu biasanya dihabisi sama kejang. Perkembangannya lewat fisioterapi bagus, tapi turunnya itu drastis banget kalau habis kejang," ucap Nafiah.
Sering Kejang
Sampai sekarang Keynan masih suka kejang. Tak hanya itu, Keynan juga memiliki keterbatasan gerak. Ia cuma bisa merayap dan menggerakkan tangan.
Keinginan melihat Keynan berkembang membuat Nafiah berusaha dan melakukan riset. Sampai akhirnya ia bertemu Dwi Pertiwi.
Nama terakhir merupakan orang tua dari almarhum Musa yang meninggal pada Desember 2020, setelah 16 tahun berjuang melawan cerebral palsy.
"Waktu itu ada acara komunitas dan bertemu Ibu Dwi. Dia bercerita sewaktu di Australia, anaknya Musa dikasih ekstrak ganja dan perkembangannya bagus," Nafiah menuturkan.
Musa menjadi lebih rileks, fokus, kondisi otot dan tulang menjadi lebih lembut, serta gejala kejangnya berhenti total selama periode itu.
Namun, ketika kembali ke Indonesia, Dwi menghentikan pengobatan dengan ganja kepada Musa. Ia tahu pengobatan dengan ganja dilarang dalam UU Narkotika di Indonesia, meskipun kondisi kesehatan anaknya menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan.
Mendengar cerita itu, Nafiah melakukan riset lebih dalam. Ia mendapati banyak kasus cerebral palsy di luar negeri yang menggunakan ekstrak ganja untuk mengobati gejala kejangnya.
Nafiah ingin mencobanya untuk pengobatan Keynan. Tapi, ia tidak dapat mengaksesnya karena dilarang hukum Indonesia.
Â
Uji Materi UU Narkotika
Kini Nafiah, Dwi bersama Santi Warastuti yang juga merupakan orang tua dari pasien cerebral palsy, beserta sejumlah LSM, menjadi pemohon uji materi Undang-Undang Narkotika di Mahkamah Konstitusi.
Salah satu pasal yang diuji materi ialah larangan penggunaan narkotika golongan I, termasuk ganja, untuk kepentingan medis.
Dalam Undang-Undang (UU) No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ada larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan Kesehatan. Aturan itu dipakai aparat penegak hukum untuk menyasar orang-orang yang memakai narkotika, walaupun untuk tujuan pengobatan.
Kasus seperti ini pernah menimpa Fidelis Arie Sudewarto pada 2017 di Sanggau, Kalimantan Barat. Fidelis dihukum delapan bulan penjara.
Fidelis memakai tanaman ganja untuk mengobati istrinya, Yeni Riawati, yang menderita penyakit langka Syringomyelia. Yeni, yang tidak dapat melanjutkan terapi pengobatannya setelah Fidelis ditangkap, akhirnya meninggal dunia.
Selain Fidelis, muncul pula kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan pada Mei 2020. Rossy dipidana penjara selama 10 bulan karena kepemilikan ganja. Rossy menggunakan ganja dengan cara direbus untuk meredakan nyeri dari penyakit kelainan sarafnya.
Padahal, dalam UU Narkotika, khususnya Pasal 4 huruf a, telah disebutkan bahwa tujuan pembuatan undang-undang ini adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan juga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perspektif Kesehatan Masyarakat
Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Asmin Fransiska, mengatakan, perspektif kesehatan masyarakat sangat penting dalam penentuan kebijakan serta regulasi terkait narkotika. Asmin adalah salah satu saksi ahli dalam sidang uji materi UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi.
"Perspektif kesehatan masyarakat adalah kunci untuk menyeimbangkan tentang kebijakan narkotika dengan kebijakan penggunaan narkotika secara ilegal," ujar Asmin.
Menurut dia, implementasi UU Narkotika yang berlaku saat ini kehilangan perspektif kesehatan masyarakat. Sehingga hal itu menutup ruang bagi riset dan penggunaan narkotika tertentu bagi kepentingan kesehatan yang lebih mendesak.
Ia juga merujuk pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Psikotropika 1971. "Konvensi itu memberikan hak bagi negara untuk melakukan kontrol terhadap narkotika demi kepentingan dan prinsip kemanfaatan bagi warganya," papar Asmin.
Sementara mengenai substansi uji materi UU Narkotika, yakni pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1), Asmin mengatakan, kedua pasal tersebut justru kontradiktif dengan maksud dan tujuan konvensi serta UU itu sendiri.
"Dalam teori kebijakan narkotika dibutuhkan dua perspektif dan mekanisme yang seimbang, yaitu 'public health' (kesehatan masyarakat) dan 'public order' (ketertiban umum)," terang dia.
Oleh karena itu, Asmin berharap nantinya negara tidak hanya menerapkan regulasi yang ketat terhadap penggunaan narkotika yang tidak semestinya, tetapi dapat pula mengikuti dinamika kebutuhan serta kepentingan kesehatan masyarakat.
Menurut dia, tidak diperbolehkannya penggunaan narkotika untuk pelayanan kesehatan sangat merugikan Indonesia. "Pembacaan atas pasal bahwa narkotika tidak diperbolehkan untuk layanan kesehatan sangatlah merugikan negara Indonesia yang hanya didasari pada konteks keamanan," ucap dia.
Advertisement
Kekhawatiran BNN
Kepala Biro Humas dan Protokol BNN (Badan Narkotika Nasional), Brigjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono, menjelaskan, penggolongan narkotika, termasuk ganja, serta tindak lanjut apakah narkotika jenis tertentu boleh dipakai untuk pengobatan, merupakan kesepakatan dari semua legislator.
Kesepakatan penggolongan narkotika dilakukan oleh dalam tim yang berisi para ahli dari kementerian terkait sebelum masuk ke dalam Undang Undang.
"Penggolongan tersebut masuk ke dalam bagian Undang-Undang bahwa ganja itu narkotika itu golongan satu. Seperti itu. Dengan semua konsekuensinya," Sulistyo menjelaskan kepada Liputan6.com.
Dia juga berbicara soal The Single Convention on Narcotic Drugs atau Konvensi Tunggal Narkotika tahun 1961 yang mulai memasukkan ganja sebagai Golongan I. Demikian pula Undang-Undang (UU) No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menempatkan ganja sebagai narkotika Golongan I.
Dalam hal ini, Sulistyo menekankan bahwa BNN sebagai institusi yang patuh pada Undang-Undang dan bukan dalam tataran legislatif. BNN dalam posisi memberikan masukan kepada negara tentang dinamika narkotika nasional. Sebab, kata dia, narkotika bersifat kompleks, holistik, integratif, dan dinamis.
Di tingkat internasional, banyak diskusi tentang penggolongan narkotika dan juga penghukumannya. Walaupun di beberapa negara memberikan restu ganja untuk penggunaan rekreasional seperti di Belanda, Indonesia tidak ikut serta. Hal tersebut bukan tanpa alasan.
BNN melihat seringkali orang membandingkan ganja tidak apple to apple dengan narkotika jenis lain seperti heroin dan kokain, yang melalui proses pemurnian terlebih dahulu.
Selain itu, BNN juga khawatir apabila ganja dilegalkan atau diturunkan golongannya, Sulistyo mengibaratkan, nanti turunan dalam golongannya juga bisa dianggap seperti induknya. Padahal, Sulistyo menyebut, ganja juga punya jenis pemurnian yang disebut (delta-9-tetrahydrocannabinol) THC.
"BNN melihat lebih banyak mudarat daripada manfaat untuk penggunaan, untuk menurunkan penggolongan dari Golongan I ke Golongan lebih rendah. Dan itu tentu saja butuh diskusi, diskusi panjang," beber Sulistyo.
Dunia Mulai Terbuka Untuk Manfaat Ganja
Ganja sendiri telah dihapus dari kategori obat-obatan berbahaya yang dikontrol paling ketat oleh Badan Kebijakan Obat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan tersebut diambil berdasarkan rekomendasi WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), yang ingin mempermudah penelitian medis terkait ganja.
Pada 2019, WHO menerbitkan rekomendasi bahwa ganja dan resin ganja berada di level kontrol yang akan mencegah kerusakan akibat penggunaannya. Tapi, di saat bersamaan tidak menghalangi akses penelitian dan pengembangan ganja untuk keperluan medis.
Komisi Narkotika PBB telah melakukan pemungutan suara dari negara anggota dengan hasil 27 setuju, 25 tidak setuju, dan 1 abstain. Pemungutuan suara ini terkait penghapusan ganja dan resin ganja dari Agenda IV Konvensi 1961 tentang Narkotika, sebuah regulasi global yang mengatur pengendalian obat-obatan terlarang.
Adapun jenis obat terlarang yang masuk dalam Agenda IV, yaitu heroin dan analog fentanyl, yang berpotensi mematikan. Berbeda dengan ganja yang tidak membawa risiko kematian signifikan. Teranyar, penelitian WHO memperlihatkan bahwa ganja berpotensi untuk mengobati penyakit seperti epilepsi.
Kendati demikian, WHO tetap merekomendasikan supaya ganja berada di daftar Agenda I. Hal itu dikarenakan tingkat masalah kesehatan yang tinggi akibat pemakaian ganja. WHO pun merekomendasikan agar ekstrak dan larutan ganja dihapus dari Agenda I. Namun, sejauh ini Badan Kebijakan Obat PBB belum mendukung rekomendasi itu.
Di sejumlah negara seperti Jerman, Italia, Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Israel, dan Australia, narkotika berjenis ganja sudah digunakan bagi pelayanan kesehatan. Namun di Indonesia, ganja masih masuk ke dalam narkotika golongan I, sehingga tidak bisa digunakan untuk pelayanan medis.
"Kesalahan tafsir atas pelarangan amatlah merugikan Indonesia. Saatnya Indonesia melihat dan meninjau kembali UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 yang melarang penggunaan narkotika bagi kesehatan tanpa penundaan," ungkap Asmin Fransiska.
Sementara di Thailand, ganja menjadi barang yang lumrah dipakai dalam pengobatan tradisional. Bahkan pada 2018, Thailand jadi negara pertama di Asia Tenggara yang melegalkan ganja untuk keperluan medis.
Menteri Kesehatan Thailand Anutin Charnvirakul mengakui negaranya memiliki 25 klinik dan 86 rumah sakit dengan persediaan obat-obatan berbasis ganja. Pemerintah Thailand juga mendorong investasi teknologi untuk mengekstrak, menyaring, dan memasarkan minyak ganja demi pemasukan negara.
Mengapa Ganja?
Ganja tidak selalu identik dengan psikotropika. Sebagian masyarakat dunia malah sekarang lebih mengenalnya sebagai obat.
Ganja memiliki beragam jenis kandungan. Terdapat lebih dari 100 jenis cannabinoid dalam tanaman ganja. Yang kerap kali muncul dalam bahasan publik yakni delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) dan Cannabidiol (CBD).
Tapi, Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Musri Musman, mengungkapkan, masih banyak zat lain dalam ganja seperti, Cannabinol (CBN), CDG Cannabigerol, Cannabicyclol (CBL), atau Cannabielsoin (CBE), dan lain-lain. Dari sekian banyak zat, hanya THC yang termasuk psikotropi dan menyebabkan adiktif.
Musri yang juga merupakan salah satu saksi ahli dalam sidang uji materi UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi menambahkan, Indonesia perlu belajar dari Thailand soal penggunaan obat berbasis ganja.
Menurut dia, Thailand sudah memiliki struktur dan prosedur yang baku untuk penggunaan ganja sebagai obat. Bahkan sudah ada klinik Cannabis, di mana setiap hari ribuan orang berobat ke sana.
Dia membeberkan tentang perwakilan Thailand sempat datang ke Aceh untuk bekerja sama dalam pengembangan obat berbasis ganja, tapi tidak dapat dilaksanakan karena aturan di Indonesia. "Kenapa kita ragu dengan itu? Belajarlah kepada orang jika kita ragu. Atau kita ciptakan sendiri sehingga itu terjamin," kata Musri kepada Liputan6.com.
Musri menerangkan, dalam konteks ganja, rule material adalah keseluruhannya. Untuk psikotropika, bunganya yang diambil untuk dihisap. Sementara dalam pengobatan, tidak mungkin memberikan orang langsung bunganya. Adalah ekstrak bunga ganja yang dipakai untuk obat.
Selain itu, dia menerangkan, ekstrak yang diberikan kepada pasien sudah dipisahkan dari zat-zat lain sehingga konsentrasinya dibenarkan secara kesehatan dan telah dirujuk berdasarkan uji klinis. Ketika membuat ekstraknya itu, Musri menyebut ada aturan-aturannya dan tidak sembarangan diberikan kepada pasien.
"Mana yang menyebabkan terjadinya induksi kepada organel-organel lain, mana yang menyebabkan terjadinya hal-hal yang merugikan. Mana yang menyebabkan terjadinya ketergantungan. Itu sudah ada takaran-takaran di dalam uji klinis," ujar Kepala Laboratorium Kimia Bahan Alam Universitas Syiah Kuala Banda Aceh tersebut.
Yang diberikan kepada pasien epilepsi atau cerebral palsy adalah Cannabidiol (CBD). Menurut Musri, saat mengambil ekstrak CBD, para ahli sudah mampu memisahkannya dari THC karena teknologi dan ilmu pengetahuan sudah memungkinkan melakukan itu, termasuk di Indonesia.
"Jadi bahan-bahan dasar Cannabinoid itu, hanya THC yang memberikan halusinasi atau psikotropika, sedangkan yang lain sisanya ya obat," pungkasnya.
Advertisement