Liputan6.com, Jakarta Koalisi Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual Dalam Lembaga Negara mengkritisi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, pasca mencuatnya kasus dugaan penindasan dan kekerasan seksual terhadap salah seorang pegawai berinisial MS.
Pengacara Publik LBH APIK, M Daerobi menyampaikan, kasus kekerasan seksual di tubuh KPI Pusat sangat tidak mencerminkan tugasnya mengedukasi masyarakat terkait konten kesusilaan, lewat penerapan sensor di berbagai tayangan media.
Baca Juga
"Apa perbuatan, pembuatan sensor konten penyiaran yang berbau LGBT misalkan, persoalan konten berbau kesusilaan, tapi dari internalnya sendiri tidak jelas," tutur Daerobi dalam diskusi virtual, Sabtu (4/9/2021).
Advertisement
Daerobi pun mencurigai adanya pembiaran dari kalangan internal KPI Pusat atas tindak pidana dugaan penindasan dan pelecehan seksual yang dialami MS. Pasalnya, dalam kurun waktu 10 tahun pun korban terus menerus mendapatkan kekerasan berbasis gender tersebut.
"Lembaga sebagai pemberi amanah memberikan HAM malah mencederai HAM. Ini seperti respons KPI yang hanya menjadikan pelanggaran administratif, sementara ini adalah pidana murni," kata Daerobi.
KPI Pusat Perlu Direformasi
Budhis Utami dari Kapal Perempuan menambahkan, yang dialami MS jelas merupakan kekerasan berbasis gender. Dengan adanya kasus ini di tubuh KPI Pusat kurang lebih selama 10 tahun, sangatlah perlu adanya reformasi yang dilakukan.
"Padahal dia bertanggung jawab sebenarnya untuk melihat, memantau penayangan-penayangan yang dipublikasi kepada masyarakat, yang itu harus memastikan untuk mengedukasi masyarakat. Tapi sebenarnya di dalam lingkungan KPI sendiri tidak mencerminkan itu," ujar Budhis.
Hal tersebut menurutnya menunjukkan bahwa KPI Pusat hanya peduli dengan moralitas yang terlihat di luarnya saja. Sementara, korban penindasan dan kekerasan seksual tidak mendapatkan penyikapan yang pantas hingga akhirnya melaporkan ke lembaga lain, dalam hal ini Komnas HAM.
"Bicara kemanusiaan, edukasi yang mencerdaskan itu yang sebenarnya mempengaruhi pada tindakan. Maka jika terjadi kekerasan terhadap laki-laki yang dianggap feminin tadi oleh teman-teman, diangkat menjadi sebuah kewajaran," Budhis menandaskan.
Advertisement