Liputan6.com, Den Haag: Keputusan atas kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia akan dibacakan Ketua Pengadilan Mahkamah Internasional Gilbert Guillaume di Den Haag, Belanda, Selasa (17/12), sekitar pukul 10.00 pagi waktu setempat atau pukul 16.00 WIB. Siaran pers Mahkamah Internasional memperkirakan pembacaan keputusan itu akan memakan waktu dua jam.
Penetapan status hukum Sipadan-Ligitan, menurut Mahkamah Internasional, akan menjadi keputusan yang mengikat buat RI dan Malaysia. Dengan keputusan tersebut kedua negara tak lagi dapat mengajukan banding. Artinya, keputusan itu sudah final.
Proses penyelesaian kasus Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah argumentasi tertulis atau written pleadings. Tahap terakhir adalah proses argumentasi lisan atau oral hearing yang berlangsung dari 3-12 Juni 2002. Pada kesempatan itu Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda selaku pemegang kuasa hukum RI menyampaikan argumentasi lisan. Setelah itu diikuti presentasi argumentasi yuridis yang disampaikan Tim Pengacara RI.
Sejumlah kalangan di Tanah Air pesimistis Sipadan-Ligitan akan menjadi wilayah kedaulatan Indonesia. Pasalnya, pemerintah dinilai tidak serius menangani kasus yang menjadi sumber persengketaan Indonesia dan Malaysia sejak 1969 itu. Hassan Wirajuda membantah Delegasi Indonesia kurang serius menangani sengketa Sipadan-Ligitan. Menurut Hassan, tim dan pakar dari Departemen Luar Negeri serta para ahli internasional yang dibayar telah diterjunkan untuk mendapatkan kedua pulau tersebut [baca: Pemerintah Dinilai Tak Serius Menangani Persoalan Sipadan-Ligitan].
Klaim Indonesia atas kedua pulau itu didasarkan pada perjanjian yang dibuat Pemerintahan Kolonial Belanda dan Inggris pada 1891. Mereka bersepakat menarik garis batas empat derajat 10 menit untuk menyelesaikan perbatasan dan distribusi wilayah tersebut. Menurut Indonesia, Pulau Sipadan-Ligitan didapat berdasarkan daerah-daerah yang pernah dikuasai Hindia Belanda. Sedangkan Malaysia mengklaim kedua pulau itu didapat dari Kerajaan Suluh yang diambil Inggris [baca: Ali Alatas: Peluang Mendapat Sipadan Fifty-Fifty ].
Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Negeri Jiran dimulai ketika kedua negara untuk pertama kali membicarakan mengenai batas landas kontinen pada 1969. Pada tahun yang sama kedua negara menyetujui Note of Understanding yang menetapkan kedua pulau sebagai status quo. Dalam perjalanannya, pembahasan bilateral tentang sengketa Sipadan dan Ligitan tak pernah mencapai kesepakatan. Sampai akhirnya, kedua negara membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional pada 1997. Kala itu, Filipina yang tak mempunyai kepentingan teritorial atas Pulau Sipadan dan Ligitan, sempat melakukan intervensi dengan mengajukan klaim atas Sabah. Namun, intervensi tersebut ditolak Mahkamah Internasional pada 23 Oktober 2001.
Wartawan Tempo Wenseslaus Manggut yang meliput Sipadan selama dua hari dan kemudian diusir Polisi Diraja Malaysia, dalam wawancara dengan SCTV, Selasa pagi, menjelaskan secara dejure memang Sipadan dan Ligitan sudah menjadi milik Negeri Jiran. Bukti ini bisa dilihat dari undang-undang yang dibuat Malaysia pada 1983 yang memasukkan kedua pulau itu ke dalam wilayah kedaulatannya. Selain itu, Malaysia juga mengetahui bahwa dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 40 Tahun 1960, Indonesia tidak mencantumkan kedua pulau dalam peta dan wilayah kedaulatan RI.
Manggut juga melihat, semua pelaku bisnis dan pengelola resor di dua pulau itu sangat optimistis Malaysia akan memenangi sengketa tersebut. Ini bisa dibuktikan dengan pembangunan resor yang terus berjalan ketika proses hukum sedang berlangsung. Selain itu, akses untuk masuk ke kedua pulau tersebut hanya bisa dicapai dari Malaysia. Bahkan Departemen Luar Negeri RI pun mengaku tak memiliki akses masuk ke Sipadan dan Ligitan. Sementara polisi dan tentara Malaysia sangat ketat menjaga pulau tersebut. Berdasarkan hasil penelusuran Manggut, pulau itu dikelola swasta tertentu yang sangat dekat dengan kalangan kerajaan.
Sementara mengenai pengusiran dirinya, Manggut mengaku tak mengerti. Namun dia menduga, pengusiran itu bukan lantaran soal izin masuk melainkan masalah sengketa tempat itu. Sebab, ketika akan mengurus Surat Kebenaran atau Surat Izin Masuk di Kota Kinabalu, Polisi Diraja Malaysia tetap mengusir Manggut dari sebuah hotel di Sipadan, Sabtu silam, sekitar pukul 10.00 waktu setempat.(YYT/Tim Liputan 6 SCTV)
Penetapan status hukum Sipadan-Ligitan, menurut Mahkamah Internasional, akan menjadi keputusan yang mengikat buat RI dan Malaysia. Dengan keputusan tersebut kedua negara tak lagi dapat mengajukan banding. Artinya, keputusan itu sudah final.
Proses penyelesaian kasus Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah argumentasi tertulis atau written pleadings. Tahap terakhir adalah proses argumentasi lisan atau oral hearing yang berlangsung dari 3-12 Juni 2002. Pada kesempatan itu Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda selaku pemegang kuasa hukum RI menyampaikan argumentasi lisan. Setelah itu diikuti presentasi argumentasi yuridis yang disampaikan Tim Pengacara RI.
Sejumlah kalangan di Tanah Air pesimistis Sipadan-Ligitan akan menjadi wilayah kedaulatan Indonesia. Pasalnya, pemerintah dinilai tidak serius menangani kasus yang menjadi sumber persengketaan Indonesia dan Malaysia sejak 1969 itu. Hassan Wirajuda membantah Delegasi Indonesia kurang serius menangani sengketa Sipadan-Ligitan. Menurut Hassan, tim dan pakar dari Departemen Luar Negeri serta para ahli internasional yang dibayar telah diterjunkan untuk mendapatkan kedua pulau tersebut [baca: Pemerintah Dinilai Tak Serius Menangani Persoalan Sipadan-Ligitan].
Klaim Indonesia atas kedua pulau itu didasarkan pada perjanjian yang dibuat Pemerintahan Kolonial Belanda dan Inggris pada 1891. Mereka bersepakat menarik garis batas empat derajat 10 menit untuk menyelesaikan perbatasan dan distribusi wilayah tersebut. Menurut Indonesia, Pulau Sipadan-Ligitan didapat berdasarkan daerah-daerah yang pernah dikuasai Hindia Belanda. Sedangkan Malaysia mengklaim kedua pulau itu didapat dari Kerajaan Suluh yang diambil Inggris [baca: Ali Alatas: Peluang Mendapat Sipadan Fifty-Fifty ].
Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Negeri Jiran dimulai ketika kedua negara untuk pertama kali membicarakan mengenai batas landas kontinen pada 1969. Pada tahun yang sama kedua negara menyetujui Note of Understanding yang menetapkan kedua pulau sebagai status quo. Dalam perjalanannya, pembahasan bilateral tentang sengketa Sipadan dan Ligitan tak pernah mencapai kesepakatan. Sampai akhirnya, kedua negara membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional pada 1997. Kala itu, Filipina yang tak mempunyai kepentingan teritorial atas Pulau Sipadan dan Ligitan, sempat melakukan intervensi dengan mengajukan klaim atas Sabah. Namun, intervensi tersebut ditolak Mahkamah Internasional pada 23 Oktober 2001.
Wartawan Tempo Wenseslaus Manggut yang meliput Sipadan selama dua hari dan kemudian diusir Polisi Diraja Malaysia, dalam wawancara dengan SCTV, Selasa pagi, menjelaskan secara dejure memang Sipadan dan Ligitan sudah menjadi milik Negeri Jiran. Bukti ini bisa dilihat dari undang-undang yang dibuat Malaysia pada 1983 yang memasukkan kedua pulau itu ke dalam wilayah kedaulatannya. Selain itu, Malaysia juga mengetahui bahwa dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 40 Tahun 1960, Indonesia tidak mencantumkan kedua pulau dalam peta dan wilayah kedaulatan RI.
Manggut juga melihat, semua pelaku bisnis dan pengelola resor di dua pulau itu sangat optimistis Malaysia akan memenangi sengketa tersebut. Ini bisa dibuktikan dengan pembangunan resor yang terus berjalan ketika proses hukum sedang berlangsung. Selain itu, akses untuk masuk ke kedua pulau tersebut hanya bisa dicapai dari Malaysia. Bahkan Departemen Luar Negeri RI pun mengaku tak memiliki akses masuk ke Sipadan dan Ligitan. Sementara polisi dan tentara Malaysia sangat ketat menjaga pulau tersebut. Berdasarkan hasil penelusuran Manggut, pulau itu dikelola swasta tertentu yang sangat dekat dengan kalangan kerajaan.
Sementara mengenai pengusiran dirinya, Manggut mengaku tak mengerti. Namun dia menduga, pengusiran itu bukan lantaran soal izin masuk melainkan masalah sengketa tempat itu. Sebab, ketika akan mengurus Surat Kebenaran atau Surat Izin Masuk di Kota Kinabalu, Polisi Diraja Malaysia tetap mengusir Manggut dari sebuah hotel di Sipadan, Sabtu silam, sekitar pukul 10.00 waktu setempat.(YYT/Tim Liputan 6 SCTV)