Liputan6.com, Jakarta - Napas aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir berhenti 17 tahun lalu. 7 September 2004, Munir dinyatakan meninggal di Pesawat Garuda GA-974 kursi 40-G dalam penerbangannya menuju Amsterdam untuk melanjutkan studi di Universitas Ultrecht.
Pollycarpus Budihari Prijanto, seorang pilot Garuda yang ikut menumpang di pesawat yang sama dengan Munir, dinyatakan sebagai pembunuhnya.
Pollycarpus saat itu berada di kelas bisnis untuk transit di Singapura.
Advertisement
Pollycarpus kemudian divonis 14 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Putusan tersebut diperkuat di tingkat banding. Kemudian Polly mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan dia divonis 2 tahun penjara.
Kejaksaan lantas mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Pollycarpus akhirnya divonis bersalah dengan hukuman lebih berat menjadi 20 tahun. Tak terima dengan putusan itu, Pollycarpus pun mengajukan PK. Dalam amar putusan PK, Oktober 2013, MA menghukum Pollycarpus dengan 14 tahun penjara.
Namun, Pollycarpus rupanya sudah bebas bersyarat sejak 28 November 2014 dan bebas murni pada Rabu, 29 Agustus 2018.
Pada Sabtu 17 Oktober 2020, Pollycarpus meninggal diduga karena terpapar Covid-19.
Liputan6.com merangkum sejumlah hal terkait Munir dan kasus pembunuhannya untuk mengenang 17 tahun kepergiannya:
Â
Sosok Berani dan Tangguh
Munir Said Thalib atau yang biasa kita kenal sebagai Munir, lahir di Malang pada 8 Desember 1965 dari pasangan Said Thalib dan Jamilah.
Pria keturunan Arab ini kemudian menjadi pejuang HAM yang tanpa kenal lelah melawan praktek otoritarian dan militeristik pada masa Orde Baru dan Reformasi.
Munir menamatkan pendidikan tingginya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang dan lulus pada 1990.
Sebagai seorang aktivis kampus, Munir pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Hukum Indonesia(1989), anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir di Unibraw (1988), Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum Unibraw (1988), Sekretaris Al Irsyad Kabupaten Malang (1988) dan menjadi anggota HMI.
Lalu, Munir mengawali karier dalam pembelaan kasus-kasus HAM dengan menjadi relawan di LBH Surabaya pada 1989 hingga akhirnya menjadi Direktur LBH Semarang pada 1996.
Munir kemudian menduduki berbagai jabatan di YLBHI hingga mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS). Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia Imparsial.
Konsistensinya Munir dalam kasus-kasus hukum dan HAM dapat dilihat dari sepak terjangnya dalam berbagai kasus.
Mulai dari kasus Araujo dalam tuduhan pemisahan Timor Timur dari Indonesia di 1992, pengacara Marsinah di 1994, penasihat hukum George Junus Aditjondro di 1994, penasihat hukum kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta 1997-1998.
Kemudian pengacara kasus pembunuhan terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok, kasus penembakan mahasiswa di Semanggi pada Tragedi Semanggi I dan II, penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di Maluku dan masih banyak lagi.
Sosok Munir yang pemberani dan tangguh dalam meneriakan kebenaran membuatnya diganjar beragam penghargaan baik dalam maupun luar negeri.
Munir dinobatkan sebagai Man of The Year (1998) versi Majalah Ummah, Penghargaan Pin Emas sebagai Lulusan Unibraw dan Satu dari 100 Tokoh Indonesia Abad XX versi Majalah Forum Keadilan di luar negeri, dirinya mendapat penghargaan Righr Livelihood Award (Alternative Nobel Prizes) untuk promosi HAM dan kontrol sipil atas militer, dinobatkan menjadi As Leader for the Millennium dari Asia Week di 2000, dan An Honourable Mention of the 2000 UNESCO Madanjeet Singh Prize atas usahanya dalam mempromosikan toleransi dan Anti Kekerasan.
Â
Advertisement
Arsenik di Pesawat Udara
Munir dinyatakan meninggal pada 7 September 2004 pagi di Pesawat Garuda GA-974 kursi 40-G dalam penerbangannya menuju Amsterdam untuk melanjutkan studi di Universitas Ultrecht.
Ayah dua anak itu dinyatakan tewas akibat arsenik yang meracuni tubuhnya. Pollycarpus Budihari Prijanto adalah pilot pesawat Garuda Indonesia yang ternyata anggota Badan Intelijen Nasional dinyatakan sebagai pelakunya.
Sebenarnya, kematian Munir masih menyimpan sejumlah tanya.Â
Dalam buku Indonesia X-Files: Menungkap Fakta dari Kematian Bung Karno Sampai Kematian Munir, ahli forensik Abdul Mun'im Idries menulis panjang lebar perihal kasus pembunuhan ini. Bagi Mun'im, penyebab kematian Munir pada September 2004 sudah jelas: diracun dengan zat arsenik.
Namun, bagaimana arsenik itu bisa masuk ke tubuh Munir? Hal ini lah yang menjadi perdebatan.
Mun'im menyatakan tidak sepakat dengan laporan tim yang dibentuk pemerintah untuk mengusut kasus Munir. Salah satunya soal cara arsenik itu masuk ke tubuh Munir. Tim itu melaporkan arsenik masuk ke tubuh Munir melalui jus. Sementara menurut Mun'im, arsenik sulit larut di air dingin.
"Arsenik akan mengendap, kelihatan. Jadi kalau ingin larut harus di air panas atau hangat," kata Mun'im seperti dimuat Liputan6.com, dalam artikel Mun'im Idries X-Files: 30 Menit Kematian Menjemput Munir, pada 28 September 2013.
Tim pemerintah yang dibentuk pada 2004 juga membuat skenario, arsenik itu bekerja dalam waktu 90 menit. "Dalam analisis saya, dalam waktu 30 menit sebenarnya sudah keluar gejala keracunan," tutur dia.
Berdasar asumsi cara kerja arsenik 90 menit sebagaimana dilaporkan tim pemerintah itu, Mun'im menarik mundur waktu penerbangan GA 947 yang ditumpangi Munir dan Pollycarpus itu. Pesawat itu tinggal landas dari Bandara Soekarno Hatta pada pukul 22.02 WIB.
Di atas pesawat itu, Munir menyantap mi goreng yang ditawarkan pramugari. Setelah itu, Munir memilih jus jeruk. Pesawat mendarat di Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat atau 23.30 WIB.
Di Changi, penumpang diberi waktu 45 menit untuk jalan-jalan. Munir singgah ke Coffee Bean. Di tempat inilah dia diduga bertemu dengan Pollycarpus. Kemudian pesawat tinggal landas dari Changi pada pukul 01.53 waktu setempat atau sekitar pukul 00.53 WIB. Munir ke Belanda, sementara Pollycarpus tetap tinggal di Singapura.
Sebelum pesawat mengudara, Munir meminta obat maag kepada pramugari. Munir diminta menunggu karena pesawat akan tinggal landas. Kira-kira 15 menit kemudian, pramugari membangunkan Munir yang saat itu tidur.
Saat itu, Munir yang ditanya soal obat maag yang diminta menjawab belum menerima. Pramugari malah menawari makanan dan ditolak Munir meminta teh hangat. "Dari situ Munir sering ke toilet. Dia merasa menderita muntaber," tulis Mun'im.
Kemudian sekitar 2 jam sebelum pesawat mendarat di Amsterdam atau sekitar pukul 12.10 WIB, Munir tidur dalam kondisi miring menghadap kursi, mulut mengeluarkan liur tidak berbusa dan telapak tangannya membiru. Munir sudah tewas.
Jika menggunakan asumsi cara kerja arsenik 90 menit, maka tempat Munir keracunan ada dalam pesawat saat perjalanan dari Indonesia menuju Singapura.
"Dalam pandangan saya, gejala awal keracunan merujuk ke pesawat, tempat kejadian perkara eksekusi. Fakta inilah yang muncul pada pengadilan pertama pertama yang berakhir pada bebasnya Pollycarpus," tutur Mun'im.
Pollycarpus bebas. Mun'im kemudian diminta bantuan analisa untuk mencari TKP. Mun'im pun bersedia. Namun, dia menggunakan asumsi sifat kerja arsenik 30 menit, bukan 90 menit seperti yang digunakan oleh tim sebelumnya.
"Saya tandaskan, kita hanya mengurut di mana kira-kira ada satu tempat minuman-minuman yang menyediakan kopi atau teh hangat," katanya.
Lalu, ketemulah nama Coffee Bean. "Saya yakin di situlah TKP-nya. Setelah ditetapkan TKP-nya, tinggal mencari saksi mata. Ada beberapa pelajar yang melihat Munir mampir ke Coffee Bean bersama Pollycarpus," tutur Mun'im.
Nah, dari situ Mun'im yakin, waktu 30 menit itu bisa merupakan gejala awal Munir keracunan. Saat Munir mengeluh sakit maag, lalu minta obat. "Saya yakin bahwa yang dialami Munir bukan sakit maag, tetapi gejala awal keracunan arsenik. Kita tarik jam sekian dan di situ mengarah ke Coffee Bean," tulis pria yang telah wafat pada Jumat 27 September 2013 itu.
Pada buku itu, Mun'im juga menyajikan kejanggalan surat tugas Pollycarpus dan beberapa kali tertundanya pesawat Garuda di Bandara Soekarno-Hatta yang ternyata menunggu Pollycarpus.
Namun, kematian Munir memang masih menjadi tanda tanya bagi publik. "Punya urusan apa Pollycarpus menghabisi Munir? Kalau memang dia 'ditugaskan', oleh siapa?" tanya Mun'im.
"Jawabannya masih tersembunyi di balik halimun misteri yang masih saja menggelayut di awang-awang negeri ini. Hingga kini," demikian Mun'im mengakhiri paparannya tentang kasus pembunuhan Munir
3 Orang Diadili, Termasuk Pollycarpus
Nama Pollycarpus Budihari Prijanto menjadi ramai dibicarakan masyarakat sejak kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib pada 7 September 2004 silam.
Pollycarpus saat itu merupakan pilot Garuda yang ikut menumpang pesawat kelas bisnis bersama Munir.
Sedangkan Munir dinyatakan meninggal dalam penerbangan menuju Amsterdam, diyakini karena keracunan arsenik.
Rencananya Munir akan melanjutkan sekolah di Belanda. Sedangkan Pollycarpus yang saat itu sedang cuti mengaku menjadi kru tambahan dan hanya melakukan transit penerbangan ke Singapura.
Mereka berdua juga sempat berinteraksi satu sama lain. Mantan pilot Garuda tersebut dituding menaruh arsenik di minuman Munir dan divonis 14 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pada putusannya, hakim menyatakan Pollycarpus bersalah dengan frasa turut melakukan pembunuhan berencana dan turut melakukan pemalsuan surat.
Amar putusan hanya menyebut soal pembunuhan berencana yang turut dilakukan oleh Pollycarpus. Sementara, pada dakwaan jaksa, Pollycarpus disebut melakukan pembunuhan berencana bersama mantan dua kru Garuda Indonesia, Yeti Susmiarti dan Oedi Irianto.
Di tingkat banding, hakim menguatkan putusan tersebut. Kemudian Polly mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan ia divonis 2 tahun penjara.
Kejaksaan lantas mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Pollycarpus akhirnya divonis bersalah dengan hukuman lebih berat menjadi 20 tahun.
Tak terima dengan putusan itu, Polly pun mengajukan PK. Dalam amar putusan PK, Oktober 2013, MA menghukum Pollycarpus dengan 14 tahun penjara.
Â
Advertisement
Kebebasan Pollycarpus dan Otak Pelaku
Fakta Pollycarpus bebas bersyarat pada 28 November 2014 dan bebas murni pada Rabu, 29 Agustus 2018 juga sempat mengejutkan publik.
Status hukum bebas murni Pollycarpus ini disampaikan oleh Kepala Divisi Pemasyarakatan pada Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat, yang saat itu dijabat Krismono.
"Pollycarpus itu sudah menjalani pembebasan bersyarat sejak 2014. Dan sekarang, besok ini kalau enggak salah sudah selesai pemebebasan bersyaratnya itu," ujar Krismono saat dihubungi Selasa 28 Agustus 2018.
"Sehingga dengan bebas murni dan itu kewenangan ada di Balai Pemasyarakatan (Bapas)," lanjut Krismono.
Dia menjelaskan, Pollycarpus selalu melapor ke Bapas saat status hukumnya bebas bersyarat. Pollycarpus bebas bersyarat berdasarkan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat (SKPB) yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM tanggal 13 November 2014.
"Dulu melapor, tapi begitu bebas murni nanti tidak lagi," jelasnya.
Saat Pollycarpus bebas bersyarat, Koalisi Keadilan untuk Munir mengkiritik hal tersebut. Sebab, selama ini, Pollycarpus mendapatkan banyak remisi, namun tidak pernah mengungkap dalang di balik pembunuhan Munir.
"Faktanya, pelaku utamanya dan dugaan melibatkan fasilitas negara juga belum diadili. Padahal, Presiden beberapa kali menyatakan akan menyelesaikan tapi juga tidak ada kelanjutan," ujar Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Rabu (29/8/2018).
Tak hanya itu, Koalisi Keadilan untuk Munir juga mendesak pemerintah untuk segera membuka data Tim Pencari Fakta kasus meninggalnya Munir yang sebelumnya telah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Putri, negara wajib menyelesaikan kasus Munir hingga dalang utama di balik kasus pelanggaran HAM tersebut terungkap.
"Kami menilai dengan bebas murninya Pollycarpus selaku aktor lapangan bukan berarti negara telah selesai dalam proses pengungkapan kasus Munir. Negara memiliki kewajiban menuntaskan aktor utamanya," jelas Putri.
Adapun Koalisi Keadilan untuk Munir ini terdiri dari Kontras, Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, dan Amnesty International Indonesia. Selain itu, ada pula Setara Institute, Asia Justice and Rights (AJAR), dan Suciwati.
Â
Kematian Pollycarpus
Pada Sabtu 17 Oktober 2020, Pollycarpus meninggal dunia karena terpapar Covid-19.
"Iya benar Pak Pollycarpus meninggal dunia. Saya dapat kabar baru jam 17.00 WIB dari teman dokter," ujar Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, Badaruddin Andi Picunang, saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta.
Menurut dia, sebelum meninggal, Pollycarpus memang dirawat di Rumah Sakit Pertamina di Simprug, Jakarta Selatan yang dikhususkan untuk pasien Covid-19.
"Tapi saya belum tahu kepastiannya karena Covid-19 atau tidak hasil tesnya. Yang jelas memang bergejala Covid-19 dan dirawat di RS Pertamina Simprug yang dikhususkan untuk Covid-19," kata Badaruddin soal Pollycarpus.
Istri Munir Said Thalib, Suciwati, meminta aparat berwenang untuk menyelidiki penyebab kematian Pollycarpus. Sebab, sebagai pelaku lapangan, Pollycarpus dinilai memiliki banyak informasi terkait kasus pembunuhan Munir.
"Terutama informasi tentang atasan yang memerintahkan dia. Oleh karenanya, penyelidikan atas meninggalnya Pollycarpus perlu dilakukan secara objektif dan terbuka oleh otoritas yang berwenang. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kecurigaan-kecurigaan terkait meninggalnya Pollycarpus," tutur Suciwati saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (17/10/2020).
Advertisement
Dokumen TPF Munir Raib
2016 lalu, terbongkar laporan Tim Pencari Fakta (TPF) terkait kasus kematian aktivis HAM, Munir, raib. Tak ada yang mengetahui di mana dokumen itu berada.
Hal ini terbongkar dalam sidang sengketa informasi publik yang digugat KontraS ke Komisi Informasi Pusat (KIP). KontraS menggugat pemerintah agar membuka dokumen hasil pemeriksaan TPF kasus pembunuhan Munir.
Saat itu, KIP memutuskan agar Kemensetneg membuka dokumen itu. Namun, Kemensetneg bersikukuh tidak memiliki dokumen tersebut.Â
Asisten Deputi Hubungan Masyarakat Kementerian Sekretariat Negara yang saat itu dijabat Masrokhan memastikan Kemensetneg tidak memiliki dokumen yang diminta. Hal itu juga sudah disampaikan pada persidangan di KIP.
"Perlu kami sampaikan bahwa Kemensetneg tidak memiliki, menguasai, dan mengetahui keberadaan dokumen Laporan Akhir Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (Laporan TPF)," ujar Masrokhan, Selasa 11 Oktober 2016.
Kejaksaan Agung (Kejagung) juga turut mencari keberadaan dokumen hasil investigasi TPF pembunuhan Munir.
"Sampai saat ini, pencarian masih terus dilakukan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung yang kala itu masih dijabat M Rum di Jakarta, Kamis 20Â Oktober 2016 seperti dikutip dari Antara.
Bahkan, lanjut Rum, Jaksa Agung juga sudah menugaskan jajaran Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel) untuk mencari dokumen tersebut.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung berupaya menghubungi bekas anggota TPF pembunuhan pegiat HAM Munir guna mendapatkan dokumen hasil investigasi tim tersebut.
"Kita sedang mencari, menghubungi, mereka yang dulu jadi anggota TPF," kata M Prasetyo yang saat itu menjabat sebagai Jaksa Agung, di Jakarta, Jumat 14 Oktober 2016.
Ia menegaskan, sudah menjadi kewajiban untuk menelusuri dokumen tersebut, karena Presiden Joko Widodo sudah memberikan instruksi untuk menelusuri keberadaannya.
"Yang penting sekarang bagaimana dokumen itu ditemukan, kalau memang ada," ujar Prasetyo.
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono juga belum mengetahui keberadaan dokumen hasil kerja TPF pembunuhan Munir. Selama ini, beberapa pihak menyebut dokumen itu ada di tangan SBY.
Namun, SBY tidak membantahnya. Dia mengaku telah menerima berkas itu dari TPF Munir, walau dalam bentuk salinan.
Mantan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan semua dokumen negara sudah diserahkan ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di ujung pemerintahan SBY. Pihaknya pun telah memilah dokumen negara yang penting selama 10 tahun.
"Ada beberapa truk itu. Kami pilih yang penting dalam waktu 10 tahun terakhir," kata Sudi di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Selasa (25/10/2016).
Dia meminta pejabat terkait di era Presiden Joko Widodo untuk mencari dokumen TPF di tumpukan berkas negara tersebut. Bisa saja, lanjut dia, dokumen TPF Munir terselip di dalamnya.
"Perlu dicari apakah laporan TPF Munir tersebut termasuk di dalamnya," ucap Sudi.
Awal tahun lalu, Ombudsman mengumumkan hasil penelusurannya terkait dokumen ini.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Ninik Rahayu mengungkapkannya saat membacakan laporan akhir tahun 2020 terkait hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir Said Thalib.
"Terkait keberadaan dokumen tersebut, tapi hasilnya Kemensetneg tidak memiliki dan mengetahui atas keberadaan dokumen tersebut, ini memang juga menjadi pertanyaan besar bagi kami," kata Ninik saat jumpa pers daring, Kamis 28 Januari 2021.
Kesimpulan Ombudsman diketahui usai penelusuran dengan bertemu sejumlah pihak yang diketahui mengetahui dokumen penting tersebut. Termasuk bertemu SBY.
"Tim pemeriksa juga meminta keterangan terhadap Pak SBY secara langsung yang diwakili keterangan oleh ajudannya, intinya salinan dokumen sudah diserahkan Pak Marsudhi Hanafi, mantan Ketua TPF Munir, kepada Kemensetneg," jelas Ninik.
Ombudsman menduga, hilangnya dokumen tersebut hingga hari ini adalah faktor kelalaian pemerintah sehingga penyelidikan dan penuntasan kasus terhambat dan tidak transparan terhadap msyarakat.
"Sebagai tindak lanjut, kami juga sudah melakukan proses klarifikasi hampir kepada semua lembaga dan yang terkait, kami berharap Kemensetneg mencarikan solusi terhadap keberadan dokumen ini," dia menandasi.
Otak Pelaku Belum Terungkap, Setahun Lagi Kasus Munir Kedaluwarsa
Seperti yang dibahas di awal, kasus Munir masih menyisakan sejumlah tanya. Salah satunya soal otak pelaku pembunuhan tersebut.
Namun, saat Pollycarpus bebas murni 2018 lalu, Istana berpendapat, kasus Munir selesai. Sekretaris Kabinet yang masih dijabat Pramono Anung mengatakan, masa tahanan Pollycarpus yang rampung menunjukkan proses hukum terhadap kasus Munir sudah berjalan.
"Ya dengan adanya hukuman Pollycarpus dan hukuman sudah selesai artinya kan proses hukum sudah berjalan," ujar Pramono di kantornya, Jakarta, Rabu (29/8/2018).
Dia ini berharap, sejumlah pihak bisa menerima pembebasan Pollycarpus. Mengenai desakan dari sejumlah kelompok agar pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla mengusut tuntas kasus Munir, Pramono menanggapi santai.
"Proses ini dimulai dari pemerintahan sebelumnya bukan hanya pada saat Pak Jokowi. Artinya siapa pun harus menghormati proses hukum yang ada, siapa pun itu," kata dia.
Pramono menegaskan, bagi Jokowi-JK seluruh kasus pelanggaran HAM termasuk HAM masa lalu menjadi perhatian serius. Dan pemerintah siap mengusut tuntas kasus Munir jika ditemukan bukti baru.
"Semua hal yang berkaitan dengan pelanggaran HAM kalau ditemukan fakta dan novum baru ya (pasti akan diusut)," tuturnya.
Namun, sejumlah pihak berpendapat kasus Munir belum lah tuntas. Masih ada otak pembunuhan yang belum terungkap dan diadili.
Para aktivis yang tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) salah satunya. Mereka meminta kasus kematian Munir Said Thalib segera diungkap.
Salah satu aktivis yang tergabung dalam KASUM, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan, jika kasus Munir tak diungkap dengan gamblang, maka kasus itu akan kedaluarsa dan ditutup.
"Yang jadi persoalan adalah 2 tahun lagi atau di 2022 atau setelah 18 tahun kematian Cak Munir kasus ini bisa jadi akan ditutup, kenapa? Karena ada ketentuan kedaluwarsa," ujar Arif dalam webinar, Senin 7 September 2020 lalu.
Menurut dia, jika kasus tersebut ditutup demi hukum, sama saja seperti membebaskan otak di balik meninggalnya Munir. Menurut dia, ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan HAM.
"Untuk kasus Cak Munir bisa jadi akan ditutup kasusnya dan para pelaku yang menjadi otak bisa mendapatkan kebebasan sedemikian mudah," kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid yang juga tergabung dalam KASUM sependapat dengan pernyataan Arif.
Menurut dia, kasus Munir sejatinya bisa ditegakkan dengan menggunakan hukum Internasional, bukan hanya hukum pidana nasional.
"Ketentuan kedaluwarsa tidak akan bisa dilakukan jika menggunakan hukum pidana Internasional, atau bisa dibilang kalau kasus ini digolongkan extra ordinary crime," kata Usman.
Â
Advertisement