Sukses

HEADLINE: Usulan Pilkada Serentak 2024 Digelar 27 November 2024, Payung Hukumnya?

Ketentuan ini sudah menjadi harga mati seiring dengan ditariknya revisi UU Pemilu dari pembahasan.

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengusulkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah atau Pilkada Serentak pada 27 November 2024.

"Kami mengusulkan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan wali kota pada 27 November 2024, mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016," kata Ketua KPU Ilham Saputra dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR, Bawaslu dan DKPP di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/9/2021).

Ilham menjelaskan, alasan penetapan waktu itu mengacu pada persiapan Pilkada 2018 selama 12 bulan (Juni 2017 sampai Juni 2018), persiapan Pemilu 2019 selama 20 bulan (Agustus 2017 sampai April 2019) dan persiapan Pilkada 2020 (September 2019 sampai Desember 2020).

Selain itu, berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.

Ketentuan ini sudah menjadi harga mati seiring dengan ditariknya revisi UU Pemilu dari pembahasan. Padahal salah satu implikasi hukum dari penundaan pilkada ini membuat banyak kursi kepala daerah definitif harus diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai 2024.

"Memang menurut saya (implikasinya) akan besar, karena jumlah kepala daerah yang akan habis masa jabatannya lumayan besar. Tidak sedikit daerah yang akan dipimpin penjabat kepala daerah dan lama pula, hampir dua tahun. Dalam situasi seperti itu mereka juga harus menyiapkan pelaksanaan bukan hanya pilkada, tapi pemilu serentak," ujar pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti kepada Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).

Menurut dia, bobot kinerja seperti itu mestinya bukan diemban oleh Pj, tapi harus definitif, supaya bisa mengambil kebijakan dengan segera. Sebab, apa pun posisi penjabat kapala daerah itu, dia tak akan bisa mengambil keputusan yang tidak disekenariokan sejak awal.

"Dengan durasi panjang dan beban pekerjaan yang berat, saya rasa tidak cukup hanya diemban oleh Pj, makanya kita usulkan 2022 ini tetap dilaksanakan pilkada," tegas Ray.

Dia mengatakan, jika tak bisa digelar di 2022, tetap bisa digelar di 2023 atau digabung dengan kepala daerah yang masa jabatannya habis di 2003. Demikian pula dengan kepala daerah yang masa jabatannya habis di 2024, pilkadanya bisa digelar di 2025, sehingga pada 2029 sudah bisa digelar pilkada serentak secara keseluruhan.

"Dengan begitu tenggang waktunya tidak terlalu panjang. Kan kalau mereka terpilih di 2023, hanya setahun itu masa tenggang waktunya, artinya 2029 tetap ada Pj. Mereka yang nantinya dipilih 2023, kan mestinya berakhir 2028, nah pilkada serentaknya digelar 2029, jadi Pj hanya setahun, tapi itu lebih baik karena jaraknya hanya setahun, bukan dua tahun," beber Ray.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai tidak jelasnya pelaksanaan pilkada serentak menunjukkan pembuat undang-undang tidak siap menghadapi siklus pemilu dan kepentingan politik mereka dengan menunda pembahasan rancangan UU Pemilu.

"Itu yang menimbulkan ekses seperti ini, penundaan (pilkada) itu lebih banyak pendekatan politiknya dibandingkan kesiapan proses penyelenggaraan. Itu terbukti hal seperti ini tidak terantisipasi baik oleh peraturan perundang-undangan," ujar Feri kepada Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).

 

 

 

Karena itu, lanjut dia, ada instrumen ketatanegaraan yang dikenal dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Kalau memang ada potensi hal kegentingan yang memaksa Perppu bisa dikeluarkan presiden.

"Makanya yang paling cepat mengisi kekosongan hukum adalah melalui Perppu. Atau meskipun ada hukum tapi tidak mampu menyelesaikan masalah, sehingga dapat dilakukan dengan Perpu," tegas Feri.

Jadi isi Perppu itu harus dipastikan menyelesaikan masalah pemilu atau pilkada, terutama yang berkait masalah penyelenggara atau penjabat kepala daerah di daerah yang tak memiliki pemimpin itu. Jika status penyelenggara itu hanya sebatas Pj kepala daerah, akan tetap sulit lantaran yang bersangkutan tak bisa mengambil kebijakan strategis terkait pilkada.

"Tapi problemnya tidak hanya itu saja, problemnya juga soal kemandirian, kemerdekaan, dan independensi kelembagaan. Kalau penyelenggaraan pilkada dijalankan Pj akan membuat repot luar biasa. Apalagi kalau Pj ditunjuk dari pegawai-pegawai tertentu, itu tidak sehat dalam proses penyelenggaraan pilkada," ujar Feri.

Namun, pendapat berbeda datang dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI Luqman Hakim. Menurut dia, pilkada serentak merupakan amanat UU Nomor 10 Tahun 2016. Di dalam UU ini disebutkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di seluruh wilayah NKRI dilaksanakan bulan November 2024.

"Tanggal 27 November 2024 sebagai hari pelaksanaan pemungutan suara pilkada, sudah dibicarakan dengan Komisi II, Kemendagri, Bawaslu dan DKPP. Bagi daerah-daerah yang masa bakti kepala daerahnya sudah habis, akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah," Luqman saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).

Secara administrasi, lanjut dia, kewenangan dan kepemimpinan birokrasi penjabat (Pj) kepala daerah tidak akan mengahadapi masalah. Kewenangan yang dimiliki sama persis dengan kepala daerah definitif. Hanya satu yang membedakan, yakni Pj tidak berhak menerima tunjangan jabatan.

"Jadi tidak ada ruginya. Tidak semua kepala daerah yang habis periodenya 2022 dan 2023 bisa mancalonkan kembali, karena sebagian sudah dua kali menjabat," jelas anggota Fraksi PKB ini.

Apalagi, lanjut dia, sejak awal para kepala daerah itu sudah tahu bahwa periodenya akan habis pada saat digelar pilkada serentak 2024.

"Saya percaya semua kepala daerah yang memenangkan Pilkada Serentak 2020 kemarin, sudah membaca dengan seksama UU Nomor 10 Tahun 2016. Mereka tahu berapa lama akan menjabat sebagaimana yang diatur di dalam UU ini," tegas Luqman.

"Sekali lagi, Pilkada Serentak pada November 2024 untuk memilih kepala/wakil kepala daerah di seluruh wilayah NKRI itu amanat UU Nomor 10 Tahun 2016. Siapa pun harus menjalankan itu. Komisi II DPR tentu taat pada UU," dia menandaskan.

2 dari 3 halaman

Revisi Batal, Panggung Hilang

Tak ada lagi langkah mundur. Dengan batalnya revisi UU Pemilu, maka payung hukum penyelenggaraan pilkada serentak akan menggunakan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dengan kata lain, Pilkada Serentak akan digelar 27 November 2024.

Yang paling dirugikan dengan batalnya revisi UU Pemilu ini adalah ratusan kepala daerah yang akan habis masa tugasnya pada 2022 dan 2023. Sebab, dalam revisi UU Pemilu, pelaksanaan pilkada serentak akan dinormalisasi sesuai tahun berakhirnya masa jabatan, bukan menunggu jeda hingga 27 November 2024.

Konsekuensi dengan diberlakukannya UU Pilkada yang sekarang, bagi kepala daerah yang berminat kembali mengikuti kontestasi pilkada harus bersabar menunggu Pilkada Serentak 2024, baik bagi yang baru menjabat satu periode atau dua periode berminat ke level di atas, seperti dari bupati/wali kota ke gubernur atau dari gubernur ke presiden, juga bersabar menunggu 2024.

Bagi kepala daerah yang habis masa jabatan di 2022 dan 2023, bisa jadi untuk sementara jeda, break, istirahat menjadi rakyat biasa. Pada posisi inilah yang ditengarai akan menurunkan elektabilitas yang bersangkutan.

"Dia kan kehilangan panggung, jadi panggungnya untuk memperkenalkan diri dan menarik simpati itu dengan sendirinya hilang, karena di kita itu mengingat karya orang masa berlakunya pendek sekali," tegas pengamat politik Ray Rangkuti.

Hal senada juga ditegaskan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera. Seorang kepala daerah atau yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah tak bisa lagi mengangkat isu daerah guna menarik elektoral.

"Untuk gubernur, wali kota dan bupati yang habis masa jabatan pada 2022-2023 tentu sangat dirugikan karena mereka akan kehilangan peluang dan tidak punya panggung dan wadah untuk mengikuti kontestasi," ujar Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera kepada Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).

Dengan kata lain, popularitas bisa meredup. Sedikit banyak rakyat akan melupakan. Sekaligus kalau tidak dikelola dengan baik, figur-figur semacam ini akan turun nilai jual untuk bertarung di pemilihan bupati, pemilihan wali kota, pemilihan gubernur dan pemilihan presiden.

Tak hanya itu, menurut Mardani, dampak negatif dari penundaan ratusan pilkada itu juga akan dirasakan daerah bersangkutan. Bagi masyarakat pelayanan akan terganggu karena posisi dan kewenangan penjabat kepala daerah itu terbatas.

"Mereka tidak bisa melakukan tindakan yang sifatnya perubahan drastis. Apalagi ini di masa pandemi, butuh kebijakan yang sifanya juga cepat dan itu tidak bisa diambil jika bukan pejabat definitif," tegas dia.

"Dampak negatif juga terlihat pada proses politik, saya khawatir akan terjadi kondisi di mana kepala daerah dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan elektoral 2024," imbuh Mardani.

 

Infografis Deretan Kepala Daerah Habis Masa Jabatan di 2022 dan 2023. (Liputan6.com/Abdillah)

Dugaan Mardani ada benarnya, karena mayoritas fraksi di DPR sendiri berusaha mencari jalan aman. Buktinya, mayoritas fraksi 'balik badan' dari rencana revisi UU Pemilu. Mayoritas fraksi di parlemen yang awalnya setuju revisi RUU Pemilu, belakangan sepakat menolak melanjutkan pembahasan yang sudah disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021 itu. Hanya Partai Demokrat dan PKS yang tegas ingin revisi RUU Pemilu.

Salah satu isu krusial yang menjadi perdebatan dalam revisi UU Pemilu ini adalah normalisasi pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023. Awalnya hanya PDI Perjuangan yang menyatakan menolak normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023. Belakangan, mayoritas fraksi partai pendukung pemerintah menyusul sikap PDIP.

PDIP misalnya, berpendapat Pilkada selanjutnya sebaiknya tetap digelar pada 2024 seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Mendukung pendapat PDIP, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Sodik Mudjahid menyebut revisi UU Pemilu setiap jelang pelaksanaan Pemilu dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas demokrasi yang sedang terus ditata dan dikembangkan di Indonesia.

Demikian pula Fraksi Partai Golkar DPR yang sebelumnya mendorong revisi UU Pemilu, belakangan juga sepakat menunda revisi. "Sikap terakhir setelah mencermati dan mempelajari RUU Pemilu, serta melihat situasi saat ini, memutuskan untuk menunda revisi UU Pemilu," kata Wakil Ketua Umum Golkar, Nurul Arifin.

Serupa dengan Golkar, PKB juga belakangan menyatakan pihaknya akan menghentikan pembahasan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sesuai dengan perintah Ketua Umum DPP PKB Muhaminin Iskandar.

"Ketua Umum DPP PKB memerintahkan Fraksi PKB di DPR RI agar menghentikan pembahasan draf RUU Pemilu yang saat ini sedang berjalan dan mendukung Pilkada Serentak Nasional sesuai UU 10/2016 yaitu November 2024," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB Luqman Hakim.

Sementara Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh menegaskan bahwa dirinya mengarahkan agar Fraksi Partai NasDem DPR RI mengambil sikap untuk tidak melanjutkan revisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu, termasuk mendukung pelaksanaan pilkada serentak pada tahun 2024.

Surya Paloh mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan melakukan upaya pemulihan ekonomi akibat wabah tersebut. Oleh karena itu, dia memandang perlu menjaga soliditas partai-partai politik dalam koalisi pemerintahan, dan bahu-membahu menghadapi pandemi.

Adapun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) termasuk yang sejak awal menolak rencana revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. PPP berpandangan kalau regulasi untuk pemilu itu setidaknya bisa digunakan minimal dalam dua kali penyelenggaraan.

"PPP tidak bersepakat untuk melakukan perubahan UU Pemilu, meskipun RUU revisi UU Pemilu ini menjadi usulan inisiatif DPR," kata Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi, dalam sebuah diskusi daring.

Sama dengan PPP, PAN sejak awal menegaskan sikap sejalan dengan pemerintah untuk menolak revisi UU Pemilu. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus menyarankan agar fraksi-fraksi di DPR RI fokus dalam membantu pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 daripada membahas RUU Pemilu.

Berbeda dengan suara mayoritas, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini menilai revisi UU Pemilu harus terus jalan untuk memperbaiki kualitas demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu.

"Kami melihat ada kebutuhan dan kepentingan revisi UU Pemilu, yaitu untuk perbaikan kualitas demokrasi hasil evaluasi kita atas penyelenggaraan pemilu lalu," ujar Jazuli dalam keterangannya di Jakarta.

Fraksi PKS juga menginginkan agar pilkada serentak dinormalisasi pada 2022/2023 agar kepemimpinan daerah di masa pandemik oleh pejabat definitif. Menurutnya, jika digelar pada 2024 beban dan ongkos ekonomi, sosial, dan politik menjadi sangat berat.

Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra juga menyatakan partainya setuju normalisasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023 dalam RUU Pemilu. Termasuk di dalamnya Pilkada DKI Jakarta pada 2022.

Menurut Herzaky, pilkada merupakan momen emas bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaik di daerah masing-masing. Demokrat menilai perlu waktu dan kesempatan cukup bagi masyarakat untuk mendalami dan memahami sosok serta rekam jejak para calon kepala daerah.

3 dari 3 halaman

Ketika Ratusan Daerah Tanpa Pemimpin

Pemerintah dan DPR telah menyepakati pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar serentak pada 2024. Pencoblosan untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden dijadwalkan pada 21 Februari. Sementara penyelenggaraan pilkada serentak dilakukan pada 27 November.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra mengonfirmasi, ada 101 daerah yang seharusnya menggelar pilkada pada 2022 karena masa jabatan kepala daerahnya habis pada, yakni tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.

Kemudian ada 170 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2023, yang terdiri dari 17 gubernur, 38 wali kota dan 115 bupati.

Namun, daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023 itu baru akan melaksanakan pemilihan kepala daerah pada pilkada serentak 2024.

Hal ini akan berdampak pada jumlah penjabat (Pj) atau pejabat sementara (Pjs) untuk menggantikan posisi kepala daerah hingga penyelenggaraan Pilkada 2024.

Merujuk pada Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada, dan berdasarkan jumlah kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023, maka akan ada 271 kepala daerah yang kepemimpinannya bakal diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah.

Dan itu artinya, dari total kepala daerah yang berjumlah 548 orang yang terdiri dari 34 gubernur, dan 514 bupati/walikota, hampir setengahnya akan diisi Pj. kepala daerah, yang ditentukan oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri. Pj. Gubernur ditentukan Presiden, sementara Pj. Bupati dan Wali Kota ditentukan Mendagri.

Masa jabatan Pj. kepala daerah ini bervasiari, tergantung masa ahir jabatan kepala daerah masing-masing. Akan tetapi rata-rata mereka menjabat lebih dari 20 bulan dalam rentang tahun 2022 hingga 2024, atau sampai Pilkada serentak 2024 dilaksanakan pada bulan November.

Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada berbunyi: Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

Sementara, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik sebelumnya mengatakan, ada empat jabatan pengganti kepala daerah yang dapat mengisi kekosongan, yakni pejabat sementara (Pjs), penjabat (Pj), pelaksana harian (Plh), dan pelaksana tugas (Plt).

Ia menuturkan, Plh dan Pjs memiliki kewenangan yang terbatas, tidak penuh seperti kepala daerah. Sementara, Pj dan Plt memiliki kewenangan yang penuh dan sama seperti kepala daerah.

Berikut daftar 101 daerah yang masa jabatan kapala daerahnya akan berakhir pada 2022:

Gubernur:

1. Aceh

2. Kepulauan Bangka Belitung

3. DKI Jakarta

4. Banten

5. Gorontalo

6. Sulawesi Barat

7. Papua Barat

Bupati:

1. Aceh Besar

2. Aceh Utara

3. Aceh Timur

4. Aceh Jaya

5. Bener Meriah

6. Pidie

7. Simeulue

8. Aceh Singkil

9. Bireuen

10. Aceh Barat Daya

11. Aceh Tenggara

12. Gayo Lues

13. Aceh Barat

14. Nagan Raya

15. Aceh Tengah

16. Aceh Tamiang

17. Tapanuli Tengah

18. Kepulauan Mentawai

19. Kampar

20. Muaro Jambi

21. Sarolangun

22. Tebo

23. Musi Banyuasin

24. Bengkulu Tengah

25. Tulang Bawang Barat

26. Pringsewu

27. Mesuji

28. Lampung Barat

29. Tulang Bawang

30. Bekasi

31. Banjarnegara

32. Batang

33. Jepara

34. Pati

35. Cilacap

36. Brebes

37. Kulon Progo

38. Buleleng

39. Flores Timur

40. Lembata

41. Landak

42. Barito Selatan

43. Kota Waringin Barat

44. Hulu Sungai Utara

45. Barito Kuala

46. Bolaang Mongondow

47. Kepulauan Sangihe

48. Bangai Kepulauan

49. Buol

50. Takalar

51. Muna Barat

52. Buton Selatan

53. Buton Tengah

54. Bombana

55. Kolaka Utara

56. Buton

57. Boalemo

58. Seram Bagian Barat

59. Buru

60. Maluku Tenggara Barat

61. Maluku Tengah

62. Pulau Morotai

63. Halmahera Tengah

64. Nduga

65. Lanny Jaya

66. Sarmi

67. Mappi

68. Tolikara

69. Kepulauan Yapen

70. Jayapura

72. Puncak Jaya

73. Dogiyai

74. Tambrauw

75. Maybrat

76. Sorong

Wali Kota:

1. Banda Aceh

2. Lhokseumawe

3. Langsa

4. Sabang

5. Tebingtinggi

6. Payakumbuh

7. Pekanbaru

8. Cimahi

9. Tasikmalaya

10. Salatiga

11. Yogyakarta

12. Batu

13. Kupang

14. Singkawang

15. Kendari

16. Ambon

17. Jayapura

18. Sorong

Berikut daftar daerah yang masa jabatan kepala daerahnya akan berakhir pada 2023:

Gubernur:

1. Sumatera Utara

2. Riau

3. Sumatera Selatan

4. Lampung

5. Jawa Barat

6. Jawa Tengah

7. Jawa Timur

8. Bali

09. Nusa Tenggara Barat

10. Nusa Tenggara Timur

11. Kalimantan Barat

12. Kalimantan Timur

13. Sulawesi Selatan

14. Sulawesi Tenggara

15. Maluku

16. Papua

17. Maluku Utara

Wali Kota:

1. Serang

2. Tangerang

3. Bengkulu

4. Gorontalo

5. Jambi

6. Bekasi

7. Cirebon

8. Sukabumi

9. Bandung

10. Banjar

11. Bogor

12. Tegal

13. Malang

14. Mojokerto

15. Probolinggo

16. Kediri

17. Madiun

18. Pontianak

19. Palangkaraya

20. Tarakan

21. Pangkal Pinang

22. Tanjung Pinang

23. Tual

24. Subulussalam

25. Bima

26. Palopo

27. Parepare

28. Bau-bau

29. Kotamobagu

30. Sawahlunto

31. Padang Panjang

32. Pariaman

33. Padang

34. Lubuklinggau

35. Pagar Alam

36. Prabumulih

37. Palembang

38. Padang Sidempuan

Bupati:

1. Aceh Selatan

2. Pidie Jaya

3. Padang Lawas Utara

4. Batu Bara

5. Padang Lawas

6. Langkat

7. Deli Serdang

8. Tapanuli Utara

9. Dairi

10. Indragiri Hilir

11. Merangin

12. Kerinci

13. Muara Enim

14. Empat Lawang

15.Banyuasin

16. Lahat

17. Ogan Komering Ilir

18. Tanggamus

19. Lampung Utara

20. Bangka

21.Belitung

22.Purwakarta

23. Bandung Barat

24. Sumedang

25. Kuningan

26. Majalengka

27. Subang

28. Bogor

29. Garut

30. Cirebon

31. Ciamis

32. Banyumas

33. Temanggung

34. Kudus

35. Karanganyar

36. Tegal

37. Magelang

38. Probolinggo

39. Sampang

40. Bangkalan

41. Bojonegoro

42. Nganjuk

43. Pamekasan

44. Tulungagung

45. Pasuruan

46. Magetan

47. Madiun

48. Lumajang

49. Bondowoso

50. Jombang

51. Tangerang

52. Lebak

53. Gianyar

54. Klungkung

55. Lombok Timur

56. Lombok Barat

57. Sikka

58. Sumba Tengah

59. Nagekeo

60. Rote Ndao

61. Manggarai Timur

62. Timor Tengah Selatan

63. Alor

64. Kupang

65. Ende

66. Sumba Barat Daya

67. Kayong Utara

68. Sanggau

69. Kubu Raya

70. Pontianak

71. Kapuas

72. Sukamara

73. Lamandau

74. Seruyan

75. Katingan

76. Pulang Pisau

77. Murung Raya

78. Barito Timur

79. Barito Utara

80. Gunung Mas

81. Barito Kuala

82. Tapin

83. Hulu Sungai Selatan

84. Tanah Laut

85. Tabalong

86. Panajam Pasut

87. Minahasa

88. Bolmong Utara

89. Sitaro

90. Minahasa Tenggara

91. Kepulauan Talaud

92. Morowali

93. Parigi Moutong

94. Donggala

95. Bone

96. Sinjai

97. Bantaeng

98. Enrekang

99. Sidereng Rappang

100. Jeneponto

101. Wajo

102. Luwu

103. Pinrang

104. Kolaka

105. Gorontalo Utara

106. Mamasa

107. Polewali Mandar

108. Maluku Tenggara

109. Membramo Tengah

110. Paniai

111. Puncak

112. Deiyai

113. Jayawijaya

114. Biak Numfor

115. Mimika