Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021. Dalam PP ini tercantum sejumlah kewajiban dan larangan serta hukuman disiplin untuk para Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Di antara aturan itu menyebutkan, PNS harus bersikap netral saat Pemilu nanti serta tidak boleh membolos dalam bekerja. Jika itu dilakukan, ancamannya tidak main-main. PNS akan diberhentikan dengan tidak hormat alias dipecat dari Abdi Negara.
Baca Juga
Kendati demikian, Pengamat Kebijakan dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai peraturan ini tidak akan memberikan implikasi yang signifikan terhadap perilaku PNS. Terlebih mereka yang bertugas di daerah-daerah.
Advertisement
"Kalau di daerah itu sangat tergantung kepada kepala daerah. Yang menentukan pemecatan kepala daerah, BKD (Badan Kepegawaian Daerah). Bukan pusat," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (15/9/2021).
Dia mencontohkan saat Menteri Sosial Tri Rismaharini memarahi Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Tuban Eko Julianto. Saat blusukan di Tuban, Risma mencak-mencak lantaran ada dugaan kesalahan terkait penyaluran bansos sembako dari program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Namun sikap Risma ini, kata Trubus, hanya sebatas meluapkan emosi. Tidak sampai kepada pemecatan terhadap Kepala Dinas Sosial tersebut.
"Pertanyaan apakah Bu Risma bisa memecat kepala dinas? Nggak bisa. Karena itu tergantung kepala daerahnya," ujar dia.
Trubus menilai peraturan sebelumnya, PP Nomor 53 tahun 2010 sebenaranya sudah tepat dalam mengatur kedisiplinan PNS. Namun aturan ini tidak menggigit lantaran tanpa diiringi ketegasan dari pemerintah.
"PP 53 seperti macan ompong. Sebenarnya itu sudah cukup, tapi selama ini tidak ada kemauan politik untuk menegakkan itu," ujar dia.
Menurutnya, pemecatan di kalangan PNS akan sulit terwujud lantaran masing-masing dari mereka sudah saling melindungi. Sehingga sanksi ini akan sulit diterapkan atasan terhadap anak buahnya.
"Apakah kepala lembaga memberhentikan anak buahnya, nggak mungkin. Semua ini kan sudah tahu boroknya masing-masing. Enggak mungkin, jeruk makan jeruk," kata dia.
"Penerapannya sulit. Walaupun bisa tapi sulit. Kuncinya political will. Kalau nggak, nggak bisa," tegas Trubus.
Terlebih saat ini, para PNS yang dipecat dapat menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dengan begitu, menurutnya, penerapan kebijakan ini akan semakin jauh terlaksana.
"Tentang banding PNS itu memberi ruang misalnya nggak puas, bisa banding. Orang diberhentikan mempertimbangkan banyak faktor, tidak semata bolos, tidak semata mendukung satu paslon, ada hal lain dipertimbangkan. Masa jabatan dia, masa dia mengabdi, dipertimbangkan semua," ujar dia.
Kendati demikian, dia mengakui bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk memecut kinerja PNS agar lebih giat lagi. Dengan demikian, nilai-nilai profesionalitas akan terwujud pada pelayanan pemerintahan. "Kebijakan ini maunya PNS kerjanya sungguh-sungguh," demikian kata Trubus.
Â
** #IngatPesanIbuÂ
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua
Sementara itu, Plt Kepala Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai penerbitan PP tersebut sangat tepat. Sebab selama ini, PNS mengeluh tentang adanya 'tanggung jawab tambahan' tersebut.
"Saya setuju itu. Memang PNS itu mengeluh karena akhirnya diserahi tanggung jawab tambahan untuk turut memenangkan incumbent. Artinya kita melihat peraturan berlaku juga untuk Pilkada," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (15/9/2021).
Firman mengungkapkan, keluhan dari PNS tersebut ia dapatkan saat melakukan riset di berbagai daerah. Tanggung jawab tambahan ini, disebutnya bukan dari job description PNS yang sesungguhnya.
"Saya kira itu juga bagian dari abuse of power ya. Di mana International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mencatat, salah satu nilai demokratisasi negara adalah ketidakberpihakan aparatur negara. Itu ada salah satu kategorinya. Kalau bicara demokrasi itu juga masuk," ujar dia.
"Kita bicara profesional birokrat, seperti birokrasi yang dibayangkan Max Weber itu juga masuk. Profesional tidak berpihak," jelas Firman.
Hanya saja diakui ini harus dilakukan secara konsisten. Penerapannya saat ini masih menjadi pertanyaan besar.
"Dan di sini sebenarnya diharapkan konsistensi Presiden. Sebagai pemimpin dan pembina kepala daerah. Dia harus selalu mengingatkan, tidak segan-segan menegur kalau memang ada kepala daerah yang memanfaatkan itu. Dan dia perintahkan ini dalam suatu surat yang sifatnya dari Presiden langsung kepada seluruh ASN, baik berupa edaran atau lainnya, yang mengharuskan mereka netral. Diingatkan kembali jelang masa kampanye," terang Firman.
Meski demikian, dia menilai perlu juga ada sanksi terhadap mereka yang terbukti menggerakkan PNS untuk tidak bersikap netral. Aturan sanksi ini dapat dicantumkann dalam surat Presiden tersebut.
"Kalau memang terbukti nyata memaksa, itu mungkin ada sanksi. Saya kira itu baik sekali kalau memang di aturannya nanti ada klausul yang menyebutkan hal itu. Artinya tidak hanya PNS saja yang jadi sasaran, tapi juga mereka yang memanfaatkannya," ujar dia.
Firman menilai kondisi di lapangan terkait mobilisasi PNS untuk tidak bersikap netral sudah memasuki kondisi yang darurat. Bahkan hasil riset yang dilakukan, dia mendapatkan kesimpulan betapa dahsyatnya pemanfataan birokrat oleh incumbent.
"Karena itu memang situasi sudah genting, saya setuju. Makanya saya bilang ini terlambat," ujar pria jebolan S3 dari School of Social Sciences and Humanities, specialising Indonesian Politics, University of Exeter ini.
Kondisi ini, Firman menegaskan, tidak hanya ada pada pemilihan kepala daerah semata. Bahkan bisa saja terjadi pada momen pemilihan presiden.
"Pilpres, apalagi itu. Bahkan kemudian disebut ada beberapa provinsi yang jadi sasaran utama karena besar jumlah masyarakatnya dan kemenangan di situ dalam tingkat gubernur akan sangat membantu. Ini mengindikasikan bahwa ujung-ujungnya pasti pemanfataan birokrat di provinsi itu," kata dia.
Sanksi Berat untuk Pemanfaat PNS
Sementara itu, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khairunnisa Nur Agustiyati menilai masalah netralitas ASN menjadi salah satu pelanggaran yang sering muncul di pemilu atau pilkada. Sebenarnya, kata dia, aturan tentang netralitas PNS di Pemilu itu sudah ada.
"Cuma memang salah satu tantangannya adalah di penerapan sanksinya," kata Khairunnisa kepada Liputan6.com, Rabu (15/9/2021).
Khairunnisa menambahkan, yang tidak kalah penting dari aturan ini adalah mekanisme pengawasan sebelum adanya tindakan pelanggaran netralitas PNS tersebut. Misalnya bagaimana pengawasan yang dilakukan Kemenpan-RB agar ASN tetap netral saat Pemilu atau Pilkada.
"Misal pengawasan seperti apa? Apakah ada mekanisme wistle blower. Nah kalau mekanisme pengawasan sudah jalan, kan tidak perlu yang namanya pengaduan dan sebagainya," jelas dia.
Menurut Khairunnisa, sanksi pemecatan tak hanya diterapkan kepada PNS yang tidak bersikap netral. Tapi juga harus menyasar para petahana yang terbukti memanfaatkan kekuasaannya dalam memobilisasi PNS.
"Betul (perlu ada sanksi), sebetulnya ada sanksinya. Bisa didiskualifikasi. Ada (pernah terjadi) di beberapa pilkada. Pada 2020 lalu sempat ada diskualifikasi incumbent yang misalnya dia tidak kampanye, tetapi dia bilang saya bikin jalan nanti pilih saya, kan saya sudah bikin jalan, ada yang diskualifikasi kemarin," ujar dia.
Sedangkan Asdep Integritas dan Evaluasi Sistem Merit SDM Aparatur Kemenpan RB, Damayani mengungkapkan, ketentuan ASN/PNS harus netral merupakan kebijakan yang sudah ada sejak UU Kepegawaian yang lama. Kemudian dipertegas kembali dalam PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Selain itu, lanjut dia, UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 juga menekankan pentingnya netralitas sebagai suatu asas dan prinsip dari manajemen ASN, untuk mendukung tugas fungsi ASN sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
"Jadi aturan/kebijakan yang muncul setelahnya merupakan penguatan dan penegasan atas ketentuan yang sudah ada sejak dulu. Sedangkan pada PP 94/21 terkait hal ini ada di pasal 5 khususnya huruf n," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (15/9/2021).
Dalam menerapkan aturan baru ini, kata dia, perlu didukung dengan proses internalisasi, sosialisasi, diseminasi untuk memberikan pemahaman. Lalu selanjutnya dalam tahapan penerapan atau implementasinya perlu sinergi antarberbagai stakeholder baik antarunit kerja maupun antarinstansi untuk menegakkan aturan atau kebijakan tersebut.
"Kemudian perlu ada monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut, sehingga dapat diambil langkah strategis selanjutnya," kata dia.
Damayani menilai netralitas PNS menggunakan hak suaranya di bilik suara merupakan hak yang bersangkutan sebagai warga negara yang memiliki hak memlih. Potret ketidaknetralan PNS dalam kontestasi politik dikategorikan apabila PNS yang bersangkutan baik secara sendiri maupun dengan kewenangan, kebijakan, pengaruh untuk mempengaruhi terhadap preferensi masyarakat dalam memilih salah satu kandidat.
"Namun, prinsip netralitas PNS perlu ditonjolkan tidak hanya pada saat ada kontestasi politik, tapi juga netralitas perlu dilihat dari perspektif yang lebih luas. Setidaknya netralitas PNS dapat dilihat pada 3 dimensi lainnya, yakni pada penyelenggaraan pelayanan publik, perumusan/pembuatan keputusan dan kebijakan, serta dalam aspek manajemen ASN," terang dia.
Sementara itu, Badan Kepagawaian Negara (BKN) mengungkapkan data pelanggaran netralitas ASN pada pilkada Serentak tahun 2020. Dalam data yang diterima Liputan6.com, disebutkan ada 1.005 ASN yang dilaporkan melanggar netralitasnya. Kemudian sebanyak 963 ASN yang melanggar dan mendapat rekomendasi KASN, serta 836 ASN yang sudah ditindaklanjuti PPK dengan penjatuhan sanksi.
Sedangkan 127 ASN, belum ditindaklanjuti PPK dan data kepegawaiannya telah diblokir.
Â
Â
Advertisement
Peraturan Baru untuk PNS
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Aturan itu salah satunya menekankan bahwa PNS harus netral dalam Pemilu dan tak boleh memberikan dukungan kepada calon presiden maupun calon kepala daerah manapun.
"PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Presiden/WakilPresiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah," demikian bunyi Pasal 5 sebagaimana dikutip Liputan6.com dari salinan PP, Selasa (14/9/2021).
Adapun PNS yang terbukti melanggar tak bersikap netral dalam Pemilu dapat dikenakan hukuman disiplin berat yang terdiri dari, penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan. Selain itu, pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan hingga pemberhentian dengan hormat.
"Hukuman disiplin berat dijatuhkan bagi PNS yang melanggar ketentuan larangan memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Ralryat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah," bunyi Pasal 14.
Hukuman disiplin berat diberikan kepada PNS yang terbukti menjadi peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain, ikut kampanye dengan menggunakan fasilitas negara. Kemudian, membuat keputusan dan/atau tindakan yangmenguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Lalu, mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Mulai dari, pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
"Memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk," jelas PP 94 tahun 2021.
Sementara itu, PNS yang menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS sebagaimana akan dijatuhi hukuman disiplin sedang. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari, pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25 persen selama 6 bulan hingga 12 bulan.
"Hukuman disiplin yang telah dijatuhkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan sedang dijalani oleh PNS yang bersangkutan dinyatakan tetap berlaku," bunyi Pasal 40.
Selain itu, jika PNS dalam 1 tahun terhitung tidak masuk kerja tanpa alasan sah secara kumulatif selama 3 hari, maka yang bersangkutan akan mendapat hukuman disiplin ringan berupa teguran lisan.
"Teguran tertulis bagi PNS yang tidak Masuk Kerja tanpa alasan yang sah secara kumulatif selama 4 sampai dengan 6 hari kerja dalam 1 tahun, dan pernyataan tidak puas secara tertulis bagi PNS yang tidak Masuk Kerja tanpa alasan yang sah secara kumulatif selama 7 sampai dengan 10 hari kerja dalam 1 tahun," bunyi Pasal 9 PP 94/2021, dikutip Rabu (15/9/2021).
Hukuman disiplin dikenakan pada PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan sah selama 11-13 hari dalam satu tahun. Sanksi berupa pemotongan tukin 25 persen selama 6 bulan.
Bagi PNS yang kedapatan bolos kerja tanpa alasan sah hingga total 14-16 hari, maka akan diberikan pemotongan uang tunjangan kinerja 25 persen selama 9 bulan.
"Pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25 persen selama 12 bulan bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah secara kumulatif selama 17 sampai dengan 20 hari kerja dalam 1 tahun," demikian bunyi Pasal 10 ayat (2) huruf f angka 3.
Sanksi lebih berat dijatuhkan pada PNS yang nekat bolos kerja tanpa alasan sah selama 21-24 hari, yakni penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan.
"Pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan bagi PNS yang tidak Masuk Kerja tanpa alasan yang sah secara kumulatif selama 25 sampai dengan 27 hari kerja dalam 1 tahun," tulis Pasal 11 ayat (2) huruf d angka 2.
Selanjutnya, pegawai yang bolos kerja tanpa alasan sah hingga 28 hari kerja atau lebih dalam 1 tahun, maka yang bersangkutan akan terkena pemberhentian dengan tidak hormat atas permintaan sendiri sebagai PNS.
Hukuman serupa berlaku bagi PNS yang bolos kerja selama 10 hari berturut-turut. Pemerintah pun akan melakukan pemberhentian dengan tidak hormat atas permintaan sendiri sebagai PNS.