Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pihak angkat bicara soal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memecat 75 pegawai tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Yang terbaru, sebanyak 57 pegawai KPK tersebut akan dipecat pada 30 September 2021 mendatang.
Baca Juga
Pakar Hukum Univeristas Al-azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad mengatakan pimpinan KPK tidak bisa memberhentikan 75 pegawainya yang tidak lolos TWK.
Advertisement
Hal itu diutarakan oleh Suparji berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) berdasarkan hasil asesmen TWK bagi pegawai KPK menjadi kewenangan pemerintah.
"Tidak boleh, harus diperhatikan putusan MA tersebut hendaknya ditindaklanjuti dengan memperhatikan kelangsungan nasib pegawai tersebut," ujar Suparji melalui keterangan tertulis, Selasa 14 September 2021.
Tak jauh berbeda, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra juga mengatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi harus turun tangan terkait nasib pegawai KPK tersebut.
Berikut sederet tanggapan terkait KPK yang akan segera lakukan pemecatan pegawainya yang tak lolos TWK untuk menjadi ASN dihimpun Liputan6.com:
Â
1. Pakar Hukum UAI
Pakar Hukum Univeristas Al-azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad mengatakan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa memberhentikan 75 pegawainya yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
Hal itu diutarakan oleh Suparji berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) berdasarkan hasil asesmen TWK bagi pegawai KPK menjadi kewenangan pemerintah.
"Tidak boleh, harus diperhatikan putusan MA tersebut hendaknya ditindaklanjuti dengan memperhatikan kelangsungan nasib pegawai tersebut," ujar Suparji melalui keterangan tertulis, Selasa 14 September 2021.
Dia menjelaskan, selama pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak melakukan keputusan apapun, sebaiknya pimpinan KPK juga melakukan hal yang sama.
Ia menyarankan kepada pimpinan KPK untuk menunggu sikap tegas dari pemerintah soal nasib 75 pegawai KPK tersebut.
"Belum ada putusan, ditunggu dahulu sikap pemerintah," jelas Suparji.
Â
Advertisement
2. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi harus turun tangan terkait nasib 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lulus menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), dan akan dipecat pada 30 September 2021.
"Fatsun atau sopan santunnya, Presiden sebagai pemimpin eksekutif puncak mesti menertibkan Pimpinan KPK yang berlaku sewenang-wenang," kata dia, saat dikonfirmasi, Kamis (16/9/2021).
Selain itu, Feri menilai, Presiden Jokowi juga harus mengikuti rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman Republik Indonesia.
"Fatsunnya pula Presiden mengikuti rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM sebagai lembaga resmi negara," jelas dia.
Sementara, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, melihat jika Presiden Jokowi tidak turun tangan, maka dipandangnya seperti lari dari tanggung jawab.
"Menurut saya, pembiaran Jokowi harus dipahami bahwa ini yang memberhentikan pegawai KPK adalah Jokowi. Sebab, yang buat UU 19, PP Alih Status, dan PP Manajemen Pegawai kan Jokowi," kata dia.
Â
3. Guru Besar Fakultas Hukum UGM
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto turut melihat sikap Jokowi yang terkesan lepas tangan atas polemik pemecatan pegawai KPK.
Hingga akhirnya kini lembaga antirasuah itu dinilai mengalami involusi dan pemberantasan korupsi mengalami regresi.
"Tidak konsisten dengan pidato pertama, terdahulu, ketika TWK dirgugat banyak pihak karena tidak relevan," kata Sigit.
Â
Advertisement
4. Lingkar Madani
Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti mengingatkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi mempunyai peran penting terkait polemik pemecatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia menyinggung UU KPK yang menjadikan Presiden sebagai figur sentral dalam tubuh KPK. Peralihan status pegawai lembaga antirasuah itu dari staf independen menjadi PNS telah dengan sendirinya menjadikan Jokowi adalah atasan langsung.
"Dengan begitu, maka sudah semestinya Presidenlah yang mengambil alih kasus peralihan ini setelah terjadi kisruh dalam prosesnya. Presiden pula yang sudah semestinya memastikan bahwa rekomendasi baik dari Komnas HAM maupun Komisi Ombusmand, dilaksanakan oleh bawahannya," kata Ray saat dikonfirmasi, Kamis (16/9/2021).
"Jika bawahannya tidak melaksanakan apa yang menjadi tugas mereka, sudah semestinyalah Presiden menegur atau bahkan memberi sanksi atas mereka. Bukan sebaliknya, mengeluhkan bahwa semua hal dikembalikan kepada Presiden," sambungnya.
Dia mengusulkan, sebaiknya kembalikan format semula staf KPK sebagai pegawai independen.
Sementara, rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman RI merupakan keputusan negara yang sudah semestinya dilaksanakan oleh Presiden.
"Jadi sudah merupakan tanggungjawab Presidenlah memastikan rekomendasi itu dilaksanakan, bukan dikeluhkan. Jangan gunung mau dipeluk jika tangan hanya sepanjang galah. Jangan lautan hendak diseberangi jika tak pandai berenang. Jangan tambah tiga jika dua saja sudah sangat melelahkan," kata Ray.
Menurut Ray, situasi tersebut memperlihatkan bahwa revisi UU KPK dipaksakan. Sebab pada kenyataannya, beban tanggungjawabnya tidak siap dipikul oleh mereka yang diamanahkan UU KPK untuk melaksanakannya.
"Masih segar di ingatan kita betapa legislatif dan eksekutif tidak peduli dalam melakukan revisi UU KPK di tengah protes masyarakat yang begitu luas. Oleh karena itu, pernyataan Presiden tersebut seperti mementahkan kembali apa yang telah eksekutif dan legislatif paksakan adanya. Ini seperti senang mengubahnya tapi ogah memikul akibatnya," jelas dia.