Sukses

Ombudsman Serahkan Rekomendasi Terkait Dugaan Maladministrasi TWK Pegawai KPK ke Jokowi

Robert berharap kepada Presiden Jokowi untuk merespon rekomendasi tersebut dengan tindakan lebih lanjut.

Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyampaikan rekomendasi terkait dugaan maladministrasi dalam proses peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) telah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR, Puan Maharani.

"Ke Presiden dan Ketua DPR, sudah diterima. Ya (hari ini) cukup ya," singkat Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng saat dikonfirmasi merdeka.com, Kamis (16/9/2021).

Sebelumnya, Robert berharap kepada Presiden Jokowi untuk merespon rekomendasi tersebut dengan tindakan lebih lanjut.

"Kita sungguh berharap dengan rekomendasi ini akan diperhatikan oleh Presiden," imbuh Robert dalam keteranganya, Rabu (15/9/2021).

Terlebih, lanjut Robert, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung soal pelaksanaan TWK. Karena dasar hukum maupun rekomendasi yang sudah ada, Presiden Jokowi mengambil alih proses penetapan pegawai KPK yang tak lolos asesmen TWK menjadi ASN.

"Dan mudah-mudahan sesuai dengan harapan dari Ombudsman, sebelum 30 Oktober 2021 putusan dari Bapak Presiden itu sudah keluar," jelasnya.

2 dari 2 halaman

3 Dugaan Pelanggaran

Ketua Ombudsman Mokh Najih menyebut, setidaknya terdapat 3 dugaan pelanggaran yang ditemukan Ombudsman dalam proses TWK yang akan memecat 51 pegawai KPK per November 2021.

"Tiga hal ini yang oleh Ombudsman ditemukan potensi-potensi maladministrasi. Secara umum maladministrasi itu dari hasil pemeriksaa kita, memang kita temukan," ujar Najih dalam jumpa pers virtual, Rabu (21/7/2021).

Tiga hal yang diduga dilanggar dalam pelaksaan TWK yakni terkait dengan rangkaian proses pembentukan kebijakan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN, kedua pada proses proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN, ketiga pada tahap penetapan proses asesmen TWK.

Oleh karena itu, menurut Najih, pihaknya akan menyampaikan dugaan maladministrasi ini kepada Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri dan komisioner KPK lainnya, kemudian kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, dan terakhir kepada Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

"Yang ketiga adalah yang kita sampaikan kepada Presiden agar temuan ini dapat teratasi, bisa ditindaklanjuti dan diambil langkah-langkah selanjutnya," kata dia.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Nonaktif Sujanarko membeberkan sejumlah 'dosa' yang dilakukan Firli Bahuri dan pimpinan KPK lainnya melalui poin aduan dugaan maladministrasi yang dilakukannya ke Ombudsman Republik Indonesia.

Aduan ini dilakukan Sujanarko mewakili 75 pegawai KPK yang bernasib sama dengannya, dinonaktifkan usai dinyatakan tidak memenuhi syarat beralih status menjadi ASN karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK).

"Pertama, Pimpinan KPK menambahkan metode alih status Pegawai KPK, bukan hanya melalui pengangkatan tetapi juga melalui pengujian. Keduanya bertolak belakang dan masing-masing metode memiliki implikasi hukum dan anggaran yang berbeda," kata Sujanarko dalam keterangan tertulis, Rabu (19/5/2021).

Menurut dia, hal itu tertuang dalam Pasal 20 Ayat (1) Peraturan Nomor 1 Tahun 2021 tidak merinci metode pengujian tes wawasan kebangsaan. Sehingga bertentangan dengan prisnip-prinsip hukum dan hak asasi manusia dan kepastian hukum.

"Poin berikutnya, pimpinan KPK membuat sendiri kewenangan untuk menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan yang tidak diatur dam UU Nomor 5/2014 tentang ASN dan UU 19/2019 tentang KPK dan PP 41/2020 tentang Alih Status Pegawai KPK," tegas Sujanar.

Dia juga meyakini, Pimpinan KPK melibatkan lembaga lain melaksanakan TWK untuk tujuan selain alih status pegawai KPK. Padahal, keputusan itu bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) PP 41/2020 dan Pasal 18 dan 19 Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021.

"Pimpinan KPK juga menggunakan metode pengujian melalui TWK sebagai dasar pengangkatan pegawai KPK, padahal tidak ada ketentuan dalam Peraturan KPK 1/2021 yang menyatakan demikian," yakin Sujanarko.

Terakhir, Sujanarko menilai, pimpinan KPK menambahkan sendiri konsekuensi dari tes wawasan kebangsaan sehingga melampaui kewenangan."Ini bertentangan dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVUU/2019," dia menandasi.

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka