Jakarta - Jarum jam menunjukkan pukul 5 pagi. Sarwana (48) bergegas menyiapkan warung nasinya. Sambil memasak, ia menyiapkan gelas-gelas untuk air teh. Pelanggan setia warungnya ialah pekerja proyek tanggul di kawasan Gedung Pompa, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara.
"Selain pekerja proyek, nelayan yang mau pergi ke laut juga sering makan dulu di sini," Sarwana bercerita kepada Liputan6.com.
Advertisement
Baca Juga
Sarwana sudah sejak lahir tinggal di daerah Muara Baru. Ia merasakan betul bagaimana kawasan pesisir ibu kota berubah. Dulu, kata Sarwana, air laut di daerah tempat tinggalnya tidak setinggi sekarang. Bahkan dasar laut masih terlihat secara kasatmata.
"Kalau sekarang, terasa sekali airnya tinggi, dalam, dan tanah ini makin turun. Untung ada tanggul yang jadi penghalang," lanjut dia.
Tanggul di daerah Muara Baru dipasang sejak lima tahun lalu. Tujuannya untuk mencegah air laut yang semakin tinggi masuk ke daerah pemukiman warga. "Kalau dulu, air naik langsung banjir, apalagi ketika tanggul jebol. Kalau sekarang ada tanggul, paling cuma rembesan saja airnya," ujar Sarwana, lagi.
Tanggul-tanggul di kawasan Muara Baru memiliki tinggi kurang-lebih 4 meter. Tanggul yang pernah jebol pada 2019 tersebut membentengi kawasan pesisir Jakarta Utara dari lautan.
Setiap harinya banyak warga setempat yang beraktivitas di sekitar tanggul. Ada yang memancing, menjaring ikan, mencuci baju, berjualan makanan, hingga menjadi tempat bagi anak-anak kecil untuk bermain.
Merasa Lebih Aman
Hal senada dikatakan Nur Rochman (57). Pria yang sudah lebih dari 35 tahun tinggal di Kampung Gedong Pompa tersebut mengakui, sebelum ada tanggul, warga sering khawatir, terutama saat air laut pasang yang menyebabkan banjir besar. Kampung Gedong Pompa dulu biasa terendam air laut. Namun setelah ada tanggul, hanya rembesan air yang masuk ke kampung.
"Alhamdulillah tidak tembus. Kalau dulu banjir besar. Sekarang banjir, tapi rembesen saja. Dengan adanya tanggul ini lebih nyaman, warga lebih senang," katanya ketika ditemui Liputan6.com.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua RT ini sempat mendengar berita Jakarta tenggelam dalam beberapa tahun mendatang dari pernyataan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Tapi, Nur Rochman mengaku tidak percaya dengan pernyataan tersebut sehingga dia tidak takut untuk tetap tinggal di kawasan pesisir.
Apabila di masa depan, pemukiman di Kampung Gedong Pompa akhirnya harus direlokasi, Nur Rochman pasrah. Tapi, dia meminta pemerintah menyediakan lokasi baru yang kondisinya baik. Kampung Gedong Pompa sendiri menurut Nur Rochman masuk dalam 16 kampung prioritas dari Pemprov DKI Jakarta.
Tanggul pantai raksasa di pesisir Jakarta memang merupakan salah satu upaya pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencegah tenggelamnya ibu kota di masa depan. Proyek ini bernama Proyek Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (PTPIN)/National Capital Integrated Coastal Development atau dikenal dengan NCICD.
Tanggul yang Lindungi Pesisir Jakarta
NCICD adalah tanggul pantai besar yang bertujuan melindungi Kota Jakarta untuk jangka pendek, menengah hingga jangka panjang, dari krisis air baku serta risiko banjir akibat fenomena penurunan permukaan tanah di wilayah ibu kota.
Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat setuju bekerja sama melaksanakan masterplan NCICD, yang telah dilakukan sejak Oktober 2014. Masterplan NCICD merupakan proyek gabungan antara Pemerintah Indonesia dan Belanda, di mana studi kelayakan NCICD sebagian besar didanai Pemerintah Belanda.
Proyek ini membutuhkan dana fantastis senilai USD40 miliar atau setara Rp570 triliun dan rencananya akan dibiayai bersama oleh Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan sektor-sektor swasta. Pembangunan tanggul laut raksasa ini dilakukan di wilayah kritis yang terjadi penurunan muka tanah di pesisir Jakarta.
Master Plan NCICD memiliki tiga tahap pembangunan yakni Tahap A dengan memperkuat tanggul yang ada, Tahap B dan Tahap C adalah konstruksi pembangunan tembok laut dan retensi luar kolam. NCICD bukan hanya mengamankan Jakarta dari banjir, namun juga sebagai sumber air baku untuk masyarakat dengan menjaga kualitas air.
Pembangunan tanggul juga bentuk upaya pengendalian kawasan pesisir Jakarta untuk mitigasi kenaikan muka air laut. Total pembangunan tanggul di pantai utara Jakarta mencapai 46 km.
Tapi, hingga 2020 baru terbangun tanggul raksasa sepanjang 13 km, sehingga masih tersisa 33 km. Pemprov DKI sepakat menggarap sisa 22 km di antaranya, sedangkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengerjakan sisa lainnya sepanjang 11 km.
Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta, Yusmada Faizal, menyatakan, pengerjaan porsi 22 km tanggul laut raksasa diperkirakan paling lambat selesai pada 2030. Sebab, kata Yusmada, terdapat dua wilayah yang perlu dilakukan kolaborasi dengan otoritas setempat sebelum dibangun tanggul. Untuk pembangunan tahun ini baru dilakukan di Kali Adem dan Kali Kamal.
"Itu ada kaitannya dengan daerah Sunda Kelapa, dan Tanjung Priok. Kita pendekatannya harus kerjasama, kolaborasi dengan otoritas di sana. Sunda Kelapa sama Tanjung Priok kan itu otoritas Pelindo," beber Yusmada kepada Liputan6.com.
Masalah Anggaran dan Relokasi
Yusmada mengakui, anggaran masih menjadi kendala dalam proses pembangunan tanggul laut raksasa. Selain itu, tanggul juga bersentuhan dengan pemukiman warga sehingga perlu pendekatan yang integratif sebelum pembangunan dilakukan. Pemukiman warga di pinggir-pinggir pantai yang akan dibangun tanggul harus direlokasi lebih dulu.
Dalam pembangunan tanggul di pesisir Jakarta, dikerjakan per wilayah dan per klaster, yang kondisi penurunan muka tanahnya kritis. Yusmada menjelaskan, tanggul mesti tertutup dari klaster-klaster yang ada, sebab yang terbuka masih menyebabkan kebocoran.
"Ini kan ada klaster-klaster kanal muara, ada cengkareng drain, ada kali angke dan muara angke," bebernya.
Dia juga percaya kualitas material beton untuk tanggul terjamin. Yusmada mengungkapkan, spesifikasi material beton tanggul sudah disesuaikan untuk menghadapi korosi akibat pengaruh air laut. Justru, yang perlu dijaga menurut dia adalah pengamanan tanggul terhadap aktivitas-aktivitas tak diinginkan di pantai, termasuk di pelabuhan.
Advertisement
Penurunan Muka Tanah Pesisir Jakarta
Ancaman Jakarta bakal tenggelam pada 2030 terus menjadi pembahasan, terutama setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, turut mengatakan soal potensi tersebut beberapa waktu silam.
Sesungguhnya, prediksi Jakarta akan tenggelam telah bertahun-tahun lalu didengungkan. Sejumlah penelitian menyebut permukaan tanah di Jakarta terus mengalami penurunan, terutama di daerah pesisir Jakarta. Bahkan data Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta mencatat bahwa sejak 2007 sampai 2016, penurunan tanah terjadi hingga satu meter.
Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Yusmada Faizal, mengungkapkan, kawasan Muara Baru, Jakarta Utara, telah berada di bawah permukaan laut dan terus mengalami penurunan muka tanah. Pada 2050, Muara Baru bisa berada 4,6 meter di bawah permukaan laut apabila tidak dilakukan pencegahan sejak dini.
Selain Muara Baru, tujuh wilayah pesisir utara Jakarta juga terancam tenggelam paada 2030, karena berada di bawah permukaan air. Wilayah Pluit diperkirakan mencapai 4,35 meter di bawah permukaan air laut, Kamal Muara 3 meter, Gunung Sahari 2,90 meter, Tanjungan 2,10 meter, Ancol 1,70 meter, Marunda 1,3 meter, dan Cilincing 1 meter.
Menurut Yasmada, Pemda DKI Jakarta mengawali pengendalian banjir rob di utara Jakarta dari penataan tanah timbul yang ada di sepanjang pesisir. Selain itu, dilakukan penataan mangrove pantai publik serta pembangunan deselerasi air sebagai subtitusi penyedotan air tanah.
Sistem Polder
Dinas SDA DKI Jakarta mengandalkan sistem polder untuk membuang air yang tergenang di permukaan yang ada di bawah permukaan air laut. Setidaknya 10 polder baru akan dibangun sebagai upaya mengatasi banjir rob di pesisir Jakarta.
Yusmada menyatakan, tanggul memang bentuk antisipasi awal peningkatan muka air laut serta penurunan muka tanah di wilayah pesisir Jakarta. Dia menambahkan, wilayah-wilayah yang sudah dibangun tuntas tanggulnya, tergolong aman.
Persoalannya, kata Yusmada, apabila turun hujan, air hujan mesti dipompa ke sungai atau ke laut. Oleh karena itu, di daerah pantai harus dibangun sistem polder. Yusmada menerangkan, sistem polder yang akan dibangun itu berbarengan dengan tanggul pantai, seperti polder di daerah Kamal yang mesti dimulai tahun ini.
"Karena air itu kan sudah tidak bisa lagi mengalir secara gravitasi ke laut. Kita kumpulkan dulu di waduk, harus dipompa ke laut atau ke sungai. Ke sungai yang di muara-muara itu," paparnya.
Yusmada mengatakan, di muara tersebut, tanggul akan dipanjangkan ke arah hulu sebatas rambatan pasangnya. Terdapat daerah-daerah yang posisinya sampai lima meter di bawah tanggul seperti di Pluit dan Muara Karang, sehingga air hujan yang tidak bisa mengalir di daerah tersebut mesti dimasukkan ke waduk lebih dulu dan dipompa ke laut atau sungai.
Polder sendiri merupakan sebuah sistem untuk menangani banjir rob, yang terdiri dari kombinasi tanggul, kolam retensi, dan pompa. Air yang datang dari lautan ditampung, lalu disalurkan kembali ke lautan sehingga banjir tidak terjadi di daratan. Sistem ini banyak dipakai di kota-kota di Belanda, yang posisinya lebih rendah dari permukaan laut.
Hentikan Ekstraksi Air Tanah
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, menilai penurunan muka tanah adalah salah satu faktor utama yang membuat Jakarta terancam tenggelam. Dan ini adalah konsekuensi dari cara Jakarta membangun ekonomi dengan mengabaikan lingkungan.Â
"Kita sudah tak bisa lagi pakai cara lama membangun ekonomi. Jadi lingkungan memang harus menjadi prioritas di depan, menjadi inti bersama ekonomi dan manusia itu sendiri," kata Tata kepada Liputan6.com.
Ia menjelaskan, salah satu penyebab utama permukaan tanah Jakarta menurun adalah penggunaan air tanah. Hal ini sebenarnya bisa diantisipasi sejak dulu.
"Kita semua menggunakan air dari sumur bor yang sangat merusak lingkungan. Tapi kan sebenarnya ada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), namun ini bukan merupakan sistem besar yang dipakai untuk maintaining seluruh Jakarta. Jadi tidak seperti kota-kota besar lain di dunia."
Menurut dia, penurunan muka tanah jadi peringatan bagi Jakarta untuk segera berbenah dalam membangun ekonomi.
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi. Menurut dia, jika melihat data banjir di Jakarta, maka lokasinya itu berada di wilayah yang mengalami penurunan tanah signifikan. Termasuk juga banjir rob yang mengalami peningkatan 10 tahun terakhir ini.
"Jadi memang tak ada cara selain pemerintah menggunakan penghentian ekstraksi air tanah," ucap Tubagus kepada Liputan6.com.
"Kita dorong di tingkatan regulasi bahwa pemerintah provinsi segera membuat aturan tidak boleh lagi mengambil air tanah terutama untuk kepentingan bisnis dan itu harusnya dipenuhi dan dilayani oleh PDAM."
Di pesisir Jakarta, permukaan tanah terus menurun. Karena itu, pemerintah pusat dan provinsi sedang membangun tanggul, sekaligus untuk mengantisipasi kenaikan air laut. Namun, tanggul dinilai hanya solusi jangka pendek.
Menurut Tata Mustasya, solusi yang fundamental adalah mengatasi krisis iklimnya. "Yang harus dilakukan adalah langkah mitigasi untuk mengatasi masalah di hulunya. Kalau masalah di hulunya tak dihentikan, mau bagaimana pun juga tanggulnya, dampak-dampak lain juga akan terjadi," ucap Tata.
Menurut dia, jika suhu udara dan permukaan air laut naik terus, maka tanggul-tanggul di pesisir Jakarta juga takkan bisa mengatasi. "Jadi pemerintah pusat harus menunjukkan komitmen iklim yang kuat juga."
Masih Bisa Diselamatkan
Menurut Tubagus Soleh Ahmadi, DKI Jakarta masih bisa diselamatkan. Caranya adalah dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat bekerja cepat dan menerapkan kebijakan pro lingkungan.
Pemerintah provinsi, kata dia, bisa segera melakukan penghentian ekstraksi air tanah untuk kepentingan bisnis dan juga melakukan pemulihan dengan mengembalikan air tanah dalam. Selain itu, proyek yang memperparah kerentanan pesisir juga sebaiknya dihentikan.
"Kalau pemerintah pusat bisa segera beralih transisi energi dari energi kotor menjadi energi terbarukan. Pemerintah pusat harus segera meninggalkan penggunaan listrik dengan batubara, kemudian juga memastikan tidak ada lagi pembakaran hutan dan lahan."
Ia percaya jika semua hal itu dilakukan, maka ibukota bisa diselamatkan dari ancaman tenggelam yang diprediksi banyak ilmuwan.
"Karena kalau kita lihat sebenarnya angka kenaikan air laut itu lebih lambat ketimbang angka penurunan tanah. Angka penurunan tanah itu di beberapa lokasi ada yang sampai sampai 24 cm per tahun, sedangkan angka kenaikan laut 0 sampai 2 milimeter per tahun. Jadi, Jakarta masih bisa sebenarnya diselamatkan dan yang penting adalah komitmen dari pemeritah provinsi dan pusat," pungkasnya.
Advertisement