Sukses

Kepala BMKG: Idealnya Memang BPBD Beroperasi Full 7 Hari 24 Jam

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan mitigasi bencana dan peringatan dini gempa dan tsunami harus terintegrasi.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan mitigasi bencana dan peringatan dini gempa dan tsunami harus terintegrasi. Tidak hanya dilakukan oleh satu lembaga saja atau oleh beberapa lembaga yang terfragmentasi.

Hal ini sejalan dengan amanah Perpres No. 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami (InaTEWS), dimana sistem peringatan dini harus dioperasikan dengan kolaborasi yang holistik dan terintegrasi, secara menerus, berkelanjutan, yang dilakukan oleh berbagai pihak/lembaga dari pusat hingga ke daerah.

"Sistem Peringatan Dini ini terdiri dari bagian hulu dan bagian hilir. Bagian hulu dikoordinasikan oleh BMKG di pusat, fokus pada hal teknis untuk menangani monitoring dan processing data, analisis/modelling dan disseminasi informasi ke BNPB, TNI, Polri dan media, serta terutama ke pemerintah daerah/BPBD," ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (19/9/2021).

Sedangkan bagian hilir, dikoordinasikan oleh BNPB dengan fokus meneruskan informasi BMKG yang sudah diterima BPBD atau Pusdalops, kemudian secara seketika oleh BPBD disebarkan/diamplifikasi ke warga masyarakat yang terdampak di Hilir.

Sementara itu, dari temuan fakta di lapangan, Dwikorita juga menyampaikan sejumlah kendala yang dihadapi dalam upaya memperkuat sistem peringatan dini gempa dan tsunami ini di antaranya jam operasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten/Kota yang belum semua beroperasi 24 jam 7 hari. Akibatnya, tidak jarang pesan peringatan dini yang dikirim oleh BMKG pusat ke pemerintah daerah (BPBD) tidak tersebar luas secara masif ke masyarakat.

“Padahal, tidak jarang kejadian bencana alam di luar jam kerja kantor. Habis Maghrib, dini hari, atau saat akhir pekan. Jadi, idealnya memang BPBD beroperasi full selama 7 hari 24 jam, sesuai dengan amanah di dalam Perpres No 93 Tahun 2019, agar pesan peringatan dini dari BMKG tidak terputus di tengah jalan,” ujar dia.

Sebagaimana amanat undang-undang, kata Dwikorita, BMKG hanya bertugas dalam penyampaian data dan informasi kepada pemerintah daerah (BPBD) dan stakeholder terkait. Sementara diseminasi dan amplifikasi informasi tersebut dari pemerintah daerah (BPBD) ke masyarakat merupakan kewenangan pemerintah daerah.

"Untuk memastikan informasi BMKG benar-benar telah diterima BPBD yang selanjutnya diteruskan kepada masyarakat, kami perlu melakukan sinergi dan koneksitas dengan pemerintah daerah (yaitu dengan Pimpinan Daerah, BPBD dan Kamtibmas di daerah) secara rutin dan intensif, melalui Stasiun-Stasiun/Kantor-Kantor BMKG di daerah," tuturnya.

Dwikorita mengatakan, di tengah fenomena cuaca, iklim dan tektonik di Indonesia yang semakin dinamis, kompleks, tidak pasti dan makin ekstrem seperti sekarang ini, pemerintah daerah diharapkan lebih siap dan sigap dalam upaya memperkuat mitigasi bencana.

BMKG sendiri terus mengupgrade sistem peringatan dini agar manajemen kebencanaan yang terdiri dari upaya pencegahan, mitigasi, tanggap darurat, dan recovery yang ditangani oleh banyak pihak/instansi di bawah koordinasi BNPB dapat berjalan dengan baik, sinergis, holistik, efektif dan berkelanjutan.

Menurut Dwikorita, sistem komunikasi yang mendukung penyebarluasan informasi, juga masih cukup rentan dan sangat mahal. Dicontohkan, saat terjadi gempabumi di Palu tahun 2018 lalu, sistem komunikasi lumpuh total akibat robohnya BTS karena gempa.

Alhasil, informasi Peringatan Dini tidak dapat tersebar ke masyarakat di daerah terdampak. Pun, data monitoring muka laut di daerah terdampak tidak dapat terkirim/terbaca. Padahal data tersebut sangat diperlukan dalam monitoring dan verifikasi/konfirmasi Peringatan Dini.

Penyebaran informasi dari BMKG ke Pemerintah Daerah juga diback-up dengan jaringan komunikasi satelit. Namun, kata Dwikorita, cara tersebut memakan biaya yang cukup mahal karena masih terkena tarif komersil.

Menurut Dwikorita, idealnya diperlukan sistem satelit khusus untuk mitigasi/pencegahan bencana yang bebas tarif. "Saat ini kami masih berupaya untuk mewujudkan hal tersebut, dengan terus menjalin komunikasi dan berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo", terangnya.

Kendala lain yang dihadapi adalah banyaknya sirine peringatan dini tsunami yang mati total alias tidak berfungsi. Selain karena faktor usia, tidak berfungsinya sirine tersebut akibat Pemerintah Daerah kesulitan anggaran untuk melakukan pemeliharaan yang memadai.

“Yang tidak berfungsi jumlahnya mencapai puluhan lebih. Usianya juga sudah lebih dari 10 tahun, dan memang seharusnya sudah diganti, sudah dilaporkan ke BNPB dan Kementerian Dalam Negeri/ Pemerintah Daerah, ujarnya untuk penggantian lanjut.

 

** #IngatPesanIbu 

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua

2 dari 2 halaman

Pemda Diharapkan Rawat Sirine Tsunami

Dwikorita mengatakan, sirine tsunami dibangun dengan harga yang cukup mahal oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang kemudian dihibahkan kepada pemerintah daerah untuk dioperasikan dan dipelihara.

BMKG sendiri telah memasang sebanyak 52 sirine sepanjang 2008 - 2015. Dari jumlah itu, enam sirene telah dihibahkan ke Pemprov Sumbar dan 9 sirene ke Pemprov Bali.

Dwikorita menjelaskan, keberadaan sirine pada awalnya memang sangat penting, karena merupakan salah satu cara mitigasi tsunami, selain Peta Bahaya Tsunami, Peta Evakuasi serta sarana prasarana evakuasi seperti jalur evakuasi, rambu evakuasi, dan shelter tempat pengungsian.

Namun, karena keterbatasan Pemerintah Daerah dalam pemeliharaan sirine dan kendala Peringatan Dini untuk tsunami cepat (tsunami atypical atau non tektonik), maka BMKG bersama BNPB, Pemerintah Daerah dan Pihak Terkait, berupaya melakukan mitigasi dengan pendekatan edukatif, agar masyarakat mampu melakukan evakuasi mandiri tanpa tergantung sirine, dengan menjadikan guncangan tanah yang dirasakan sebagai alarm peringatan dini.

"Masyarakat, utamanya di daerah pesisir pantai harus mengevakuasi diri ke tempat yang lebih tinggi, jika merasakan guncangan atau ayunan tanah yang menerus selama bebera detik, tanpa harus menunggu sirine berbunyi. Guncangan atau ayunan tanah tersebut dapat diakibatkan oleh gempabumi atau longsor tebing pantai ke laut ataupun longsor laut," paparnya.

Selain itu, perlu juga disiapkan Sistem Penyebarluasan Informasi Peringatan Dini Alternatif, secara redunden, misalnya dengan menggunakan Radio HT, Aplikasi Peringatan Dini dengan ponsel ataupun Peralatan/Teknologi Lokal atau Tradisional, seperti menggunakan kentongan, speaker masjid, dsb yang dapat dikembangkan berdasarkan kearifan lokal.

“Semoga fakta ini bisa menjadi perhatian bersama, terutama Pemerintah Daerah untuk juga turut mempersiapkan upaya mitigasi yang lebih matang, guna meminimalisir dampak korban jiwa dan kerugian materil akibat gempa bumi dan tsunami,” ujar dia.