Sukses

Over Kapasitas Lapas, Wakil Menkumham: Hukum Pidana Indonesia Gemar Penjarakan Orang

Eddy menilai, persoalan overcrowding lapas bisa terjadi, lantaran sistem peradilan pidana yang erat kaitannya kepada pemenjaraan.

Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Hukum dan HAM (WamenkumHAM) Eddy O.S Hiariej menegaskan bahwa persoalan overcrowding atau over kapasitas pada lembaga pemasyarakatan (lapas) bukan kesalahan pihaknya.

"Tidak ada kesalahan Kemenkumham soal overcrowding sekali lagi saya tegaskan tidak ada kesalahan Kemenkumham soal overcrowding," kata Eddy saat webinar bertajuk "Memadamkan Kebakaran Lapas", Selasa (22/9/2021).

Eddy menjelaskan persoalan overcrowding lapas bisa terjadi, lantaran sistem peradilan pidana yang erat kaitannya kepada pemenjaraan. Sedangkan posisi Kemenkuham hanyalah proses akhir ketika seseorang telah diputus oleh pengadilan untuk menjalani hukuman.

"Jadi yang kena imbas, adalah lapas tapi lapas itu tidak pernah dilibatkan dalam proses ajudikasi (proses penyelesaian sengkera). Lapas tidak pernah bisa melakukan intervensi terhadap sistem peradilan pidana dari awal," kata Eddy.

Atas hal itu, Eddy mengkritik sistem pidana oleh para penegak hukum yang dianggap dekat dengan sistem pemidanaan penjara. 

"Persoalan inti overcrowding itu ada satu kesalahan pada substansi Undang-undang. Yang kedua kedua adalah bekerjanya sistem peradilan Pidana yang memang sangat gemar memidana orang," katanya.

Sebab, Eddy mengatakan bahwa persamalahan overcrowding di lapas harus dituntaskan dari hulunya, yakni sistem pemidanaan. Karena suatu hal yang percuma ketika membangun lapas namun proses pemidanaan aparat penegak hukum tidak dibenahi.

"Tahu untuk membangun satu lapas dengan sistem pengamanan yang standar ya itu untuk lepasnya saja kita butuh Rp300 miliar, Rp300 miliar ya untuk satu lapas itu baru lepasnya. Belum sistem yang harus ada di dalam lapas," jelasnya.

 

2 dari 2 halaman

Perlunya Revisi UU Narkotika

Kemudian, Eddy mengimbau langlah utama yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalag overcrowding di lapas yaitu, perubahan sistem dalam pemidanaan terutama pada adalah revisi undang- undang narkotika.

Dimana dalam undang-undang narkotika yang harus dirubah adalah Pasal 127, karena seseorang yang pengguna maka seharusnya diikuti program rehabilitasi. Namun pada kenyataanya jaksa penuntut umum (JPU) malah kerap menggunakan pasal 112 yang berakhir pada pemidanaan.

Apalagi, Eddy pun membandingkan alasan perlunya revisi UU Narkotika. Karena kondisi lapas yang saat ini hampir mayoritas dipenuhi para narapidana penyalahgunaan, sementara untuk narapidana seperti korupsi maupun teroris jumlahnya tidak lebih dari 500 orang.

Sedangkan untuk kapasitas lapas di Indonesia hanya menampung sekitar 170 ribu narapidana. Sementara tercata saat ini total seluruhnya narapidana berjumlah 360 ribu. Sementara dari total narapidana, terdapat sekitar 160 ribu narapidana terkait kasus narkotika. 

"Kalau idealnya saja dia 170 ribu, misalnya 160 ribu sudah diisi narkotika udah selesai tinggal 10 ribu untuk yang lain-lain. Dan lebih mencengangkan dari 160 ribu penghuni lapas sekitar 80% itu pengguna. Jadi ratusan ribu itu pengguna. Dan yang lebih miris lagi yang pengguna itu 80% dibawah 0,7 gram," bebernya.

"Jadi keliru kalau over kapasitas itu yang dituding Kemenkumham. Ini orang belajar tidak sistem pradilan pidana. Hakim kan maindsetnya menghukum dan jaksa mau menuntut yang setinggi-tingginya. Tetapi dia tidak mau tahu di lapas sudah penuh atau tidak, dia tidak mau tahu," lanjutnya.

Maka, Eddy menyarankan agar secepatnya dilakukan revisi untuk Undang-undang narkotika dan merevisi RUU KUHP dengan berorientasi pada sistem hukum modern. Sehingga permasalahan overcrowding bisa ditemukan jalan keluarnya.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam 

Sumber: Merdeka.com