Liputan6.com, Jakarta Ratusan daerah akan mengalami kekosongan kepemimpinan karena masa jabatan kepala daerah habis di 2022 dan 2023, yang di mana Pilkada baru digelar 2024. Kekosongan itu pun nantinya akan diisi pejabat atau Pj Kepala Daerah.
Aturan adanya Pj Kepala Daerah telah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 201 ayat (9). Bahkan di ayat seterusnya, untuk Gubernur akan diisi oleh pejabat dengan jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan Bupati/Wali Kota akan diisi oleh pejabat dengan jabatan pimpinan tinggi pratama.
Baca Juga
Dengan ratusan daerah yang akan mengalami kekosongan, munculah wacana sejumlah Perwira TNI-Polri untuk menempatkan Pj Kepala Daerah, yang akhirnya menimbulkan polemik.
Advertisement
Patut diketahui, hal ini bukanlah barang baru, pernah terjadi di era kepemimpinan Mendagri Tjahjo Kumolo. Tjahjo sempat menunjuk Irjen M Iriawan untuk mengisi posisi sebagai Pj Gubernur Jawa Barat, kemudian Irjen Martuani Sormin di Sumatera Utara. Di mana keduanya tak ditempatkan di kementerian.
Berbeda dengan Irjen Pol Carlo Brix Tewu menjadi PJ Gubernur Sulawesi Barat, dan Mayjen TNI Soedarmo sebagai PJ Gubernur Aceh. Kedua orang ini awalnya ditempatkan di Kemenko Polhukam dan Kemendagri.
Terkait wacana tersebut Politikus PKB Luqman Hakim mengatakan tidak masalah, jika posisi tersebut dijabat oleh TNI dan Polri.
"Sepanjang ketentuan dalam UU nomor 10 Tahun 2016 yang saya sebutkan di atas terpenuhi, tidak ada masalah. Pj kepala daerah yang berasal dari TNI/Polri, bisa dipertimbangkan untuk memimpin daerah-daerah yang tingkat ancaman gangguan ketertiban sosialnya tinggi," kata dia saat dikonfirmasi, Senin (27/9/2021).
Anggota Komisi II DPR RI ini menuturkan hal tersebut bukanlah barang baru untuk di Pilkada 2024. Ini pernah terjadi pada Pilkada sebelumnya di Jawa Barat dan Aceh.
"Apakah penunjukkan Pj kepala daerah dari TNI/Polri ini melanggar aturan? Jawabannya tergantung apakah di dalam organisasi TNI/Polri ada struktur Jabatan Pimpinan Tinggi Madya dan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama," tutur Luqman.
"Kalau ada, berarti tidak melanggar aturan. Atau, apakah Anggota TNI/Polri yang ditugaskan menjadi Pj kepala daerah sedang menjabat di Jabatan Tinggi Madya/Pratama di Kementerian/Lembaga/Instansi pemerintah," sambungnya.
Luqman melanjutkan, di UU 10 tahun 2016 hanya disebutkan Pj Gubernur berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Madya dan Pj Bupati/Walikota berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, tidak disebut khusus berasal dari ASN.
"Jadi, jika pertanyaannya harus perwira bintang berapa, maka kembali pada aturan apa saja syarat-syarat yang dibutuhkan bagi seseorang untuk menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi Madya/Pratama di atas," kata dia.
Luqman menyadari ada potensi baik TNI dan Polri diberi tugas tambahan untuk ikut campur terkait suksesi salah satu paslon di Pilkada 2024.
"Siapa yang bisa memberi tugas tambahan itu? Tentu pihak yang memiliki kekuasaan menunjuk dan menetapkan Pj kepala daerah," kata dia.
Karena itu, dibutuhkan sikap dan tindakan tegas dari semua pihak yang memiliki wewenang untuk menegakkan dan memberi sanksi tegas jika terjadi pelanggaran aturan yang dilakukan Pj kepala daerah terkait keberpihakan politik yang menguntungkan orang/kelompok politik tertentu.
"Saya optimis Pj kepala daerah akan bersikap netral dalam Pemilu dan Pilkada 2024. Saya percaya Presiden dan Mendagri akan betul-betul memberi arahan dan perintah tegas kepada Pj kepala daerah agar bersikap netral dan tidak memihak salah satu kontestan dalam Pemilu dan Pilkada 2024," kata Luqman.
Senada, Politikus Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pemerintah harus mengkaji lebih dalam terkait adanya usulan Penjabat (Pj) Kepala Daerah jelang Pilkada 2024 diisi oleh anggota TNI dan Polri.
"Pemerintah perlu juga memberikan kajian yang mendalam terhadap penempatan TNI-Polri aktif sebagai Plt," kata dia pada wartawan, Senin (27/9/2021).
Wakil Pimpinan MPR ini menyebut rencana penunjukkan Pj Kepala Daerah dari unsur TNI dan Polri untuk Pilkada 2024 boleh saja dilakukan, tapi harus transparan dan dikomunikasikan ke publik.
"Saya pikir boleh ada, tapi dikomunikasikan lah, saya pikir kajian yang mendalam itu penting sebelum diambil keputusan seperti ini," jelas Dasco.
Meski demikian, dia mengkhawatirkan apabila ada anggota TNI dan Polri menjadi Pj Kepala Daerah jelang Pilkada 2024 akan mengganggu tugas utamanya di instansi.
"Karena juga nanti akan mengurangi sumber daya di TNI-Polri sendiri kalau seluruhnya Plt yang sebanyak itu diberikan kepada TNI-Polri," kata Dasco.
Â
Beresiko
Berbeda, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan, menempatkan Anggota TNI maupun Polri sebagai Pj Kepala Daerah di Pilkada 2024 sangat beresiko.
"Sangat berisiko, ini seperti eksperimen saja. Pj ini bisa dikatakan sosok yang tidak memiliki legitimasi politik untuk durasi yang lama," kata Mardani saat dikonfirmasi, Senin (27/9/2021).
Tak hanya itu, dia menyebut posisi strategis para Pj di Pilkada 2024 juga bisa disalahgunakankan untuk kepentingan politik penguasa.
"Sangat berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan dan konsolidasi politik kelompok tertentu. Karena itu wajib ada transparansi (penunjukan)," jelas Mardani.
Sementara itu terkait rencana penunjukan TNI/Polri untuk posisi Pj, Mardani mengingatkan kegagalan dwifungsi ABRI perlu menjadi perhatian pemerintah saat ini.
"Ini rencana yang perlu dipikir matang. Pengalaman dwi fungsi masa lalu perlu jadi pelajaran. Ada perbedaan DNA pengabdian antara sipil dengan TNI-Polri. Pj untuk waktu yang lama bisa berbahaya bagi stabilitas dan kualitas pelayanan publik. Pola komando yang melekat pada TNI dan Polri beda dengan pola pelayanan pada birokrat," kata dia.
Â
Keberadaan Sekda Bisa Dipertimbangkan
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menyarankan pemerintah menunjuk sekretaris daerah (Sekda) menjadi pejabat (Pj) Kepala Daerah untuk mengisi kekosongan jabatan menjelang Pilkada 2024.
Hal ini dinilai lebih baik dibandingkan perwira tinggi TNI-Polri yang menjadi Pj Kepala Daerah.
"Menurut saya, lebih baik pemerintah mengangkat saja Sekdanya. Karena Sekda yang tahu persis kondisi birokrasi internal luarnya," kata Trubus kepada Liputan6.com, Senin (27/9/2021).
Dia khawatir diisinya Pj Kepala Daerah oleh perwira TNI-Polri jelang Pilkada 2024 akan memunculkan dwifungsi ABRI yang telah dihapus pascareformasi.
Trubus menyebut hal ini membuat TNI-Polri tak boleh lagi terlibat di sektor-sektor sipil, apalagi menjadi kepala daerah.
"Dwifungsi ABRI kan sudah dihapus, jadi enggak boleh ada sektor-sektor, termasuk dalam hal ini Pj, apalagi gubernur bupati itu di tangan mereka," kata dia.
Trubus mengatakan apabila pemerintah ingin menjadikan perwira TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah, sebaiknya hanya ditempatkan di wilayah-wilayah yang rawan terjadi konflik.
"Ya kalau di daerah konflik kayak Papua itu kan banyak tuh, itu diambil dari TNI-Polri aja. Tapi kalau daerahnya seperti Jakarta, kan enggak perlu TNI-Polri," kata Trubus.
Advertisement