Sukses

Pentingkan Dana Pensiun dan Asuransi, Cara Ibu Milenial Kelola Keuangan Keluarga

Generasi milenial yang mulai berubah status menjadi ibu rumah tangga sadar akan pentingnya pengelolaan keuangan keluarga.

Liputan6.com, Jakarta - Istilah generasi milenial beberapa tahun belakangan semakin akrab di telinga. Menurut situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), istilah itu diciptakan diciptakan dua pakar sejarah Amerika Serikat, William Strauss dan Neil Howe.

Generasi milenial biasanya merujuk kepada mereka yang lahir dari awal 1980-an hingga 2000an. Itu berarti di tahun 2021 ini, mereka yang masuk generasi milenial sudah menginjak usia sekitar 20 tahunan ke atas. Beberapa dari mereka juga sudah berkeluarga, memiliki pasangan dan anak.

Eva (28) misalnya, wanita lulusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menikah pada Maret 2019. Kini Eva berprofesi sebagai arsitek dan mendirikan firmanya sendiri, DSGN From Home. Perubahan status menjadi seorang ibu rumah tangga membuat Eva kini lebih jeli dalam mengatur keuangan.

Eva mengaku membagi pemasukannya ke dalam pos-pos yang dia rundingkan dengan suami. “20 persen untuk nabung, 30 persen untuk mortgage (cicilan rumah, red), 10 persen sedekah ke orang terdekat, dan 40 persen untuk konsumsi bulanan,” katanya.

Tidak ketinggalan, Eva juga mengaku rajin menyisihkan pemasukannya untuk dana darurat. Menurut Eva, keberadaan dana darurat sangat penting untuk mengantisipasi risiko di masa depan. Alokasi untuk dana darurat itu pun ia tempatkan di pasar uang.

“Saya ada dana darurat maksimal untuk tiga bulan ke depan. Apalagi sedang pandemi dan untuk mengantisipasi kalau sedang tidak bekerja, kita tetap punya uang,” ujar wanita kelahiran 26 Oktober 1993 tersebut.

Selain dana darurat, Eva juga mengaku berinvestasi di sejumlah sektor seperti obligasi, pasar uang dan emas. Di obligasi misalnya, Eva memilih Manulife yang dinilai cocok dengan dirinya. Eva mengaku, pemasukan dari obligasi itu ia gunakan untuk pendidikan anak jangka panjang.

“Obligasi Manulife lebih fluktuatif. Namun dia kasih saya dividen per tahun,” ujarnya.

 

2 dari 4 halaman

Pentingnya Dana Pensiun

Tak kalah penting, kata Eva, juga keberadaan dana pensiun. Eva punya cara sendiri untuk menyiapkan dana pensiunnya yakni dengan memperbanyak aset.

Eva mengatakan, aset bisa sangat berguna untuk menambah pemasukan demi menyiapkan dana pensiun. Ia mengaku telah merinci kebutuhan saat pensiunnya nanti.

“Masih fokus di aset, tapi saya harus punya dana pensiun, kemungkinan Rp 7 miliar. Nah itu saya harus dapat sebelum pensiun. Terserah mau nabungnya kapan, tapi intinya 7 miliar dana pensiun,” ujarnya.

Eva menambahkan, pengalaman sebelum menikah mendorongnya untuk cermat mengelola keuangan. Ia mengaku belajar dari teman-teman kuliah yang lebih mampu secara finansial dalam mengelola keuangan mereka.

Salah satu yang dicontohkan teman-temannya adalah selalu merinci pengeluaran setiap hari. “Mereka selalu menghitung pengeluaran setiap hari lewat aplikasi,” kata Eva.

3 dari 4 halaman

Prioritaskan Asuransi

Pembagian pemasukan ke dalam pos-pos tertentu juga dilakukan Alfi (32). Karyawati di sebuah bank BUMN itu juga membagi pemasukannya bersama suami ke dalam berbagai sektor.

“45 persen buat cicilan rumah, 3 persen untuk kesehatan anak, 18 buat cicilan lain, 8 persen tabungan, 26 persen buat biaya hidup,” ujarnya.

Alfi menambahkan, saat ini ia memprioritaskan alokasi dana untuk asuransi kesehatan dan pendidikan anak. Sebetulnya, dana untuk asuransi kesehatan anak sudah ditanggung kantor Alfi dan suami. “Tapi asuransi itu ada limitnya. Sedangkan vaksin anak saja setahun bisa melebihi limit itu,” ujarnya.

Hanya saja, Alfi tidak mau sembarangan memilih asuransi. Ia mengaku lebih memilih asuransi jiwa yang tidak berbentuk unit link. “Sebentar lagi mau menyiapkan  asuransi buat pendidikan. Bentuknya lebih ke  asuransi jiwa (endowment, red) dan bukan unit link,” kata wanita lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Terkait dana pensiun, Alfi mengakui itu sangat krusial. Namun karena masih menyicil rumah, ia belum menyiapkan alokasi secara khusus. Hanya saja, wanita kelahiran 2 September 1989 itu cukup terbantu dengan fasilitas Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) di kantornya.

“Itu memang wajib untuk dana pensiun. Setiap gajian dipotong untuk DPLK. Dibayarkan perusahaan 40 persen dan pribadi 60 persen. DPLK itu di luar dari BPJS TKU. Jadi sejauh ini dana pensiun mengandalkan DPLK, kami fokusnya lebih ke asuransi,” kata Alfi.

Lebih lanjut, pandemi covid-19 ternyata menjadi blessing in disguise bagi Alfi. Semula, ia merencanakan liburan ke luar negeri bersama keluarga. Namun pembatasan mobilitas membuatnya urung berlibur.

Dana yang semula untuk berlibur pun dialokasikan untuk mencicil rumah. “Mungkin kalau pandemi tidak bakal beli rumah. Jadi kita paksakan karena rumah bagi kami juga investasi,” ujarnya.

4 dari 4 halaman

Minat Mengelola Keuangan dan Kesehatan Meningkat

Sementara itu, riset yang dibuat Manulife Asia Care Survey menunjukkan adanya peningkatan minat masyarakat terhadap pengelolaan kesehatan dan keuangan mereka. Hal itu menyikapi munculnya pandemi covid-19 yang sudah berlangsung satu tahun lebih.

“Di Indonesia, kami melihat minat yang tinggi terhadap perlindungan kesehatan dan perencanaan pensiun selama pandemi. Kami memahami di tengah situasi yang menantang ini, masyarakat ingin dapat lebih mengendalikan kondisi kesehatan serta kemapanan finansialnya,” ujar Ryan Charland, Presiden Direktur & CEO Manulife Indonesia.

Survei yang dibuat Manulife pada November 2020 itu mengambil sampel dari 4.000 responden di seluruh Asia yang sudah memiliki polis asuransi atau berencana membeli polis dalam enam bulan ke depan. Di antara seluruh responden, terdapat 519 responden dari Indonesia.

Manulife Asia Care Survey tunjukkan kepedulian terhadap kesehatan dan perencanaan pensiun naik di tengah COVID-19 (Sumber: Manulife Asia Care Survey)

 

Dari 519 responden tersebut, 98 persen di antaranya telah mengambil langkah mengelola kesehatan dan keuangan di tengah pandemi. Masih dari survei yang sama, sebanyak 88 persen responden Indonesia memandang di tengah pandemi covid-19, perencanaan pensiun semakin penting.

Tak hanya itu, 72 responden juga menyatakan ingin membeli polis baru dalam enam bulan ke depan—sedikit lebih tinggi dari rata-rata kawasan (71%). Dalam mengelola polis asuransinya pun, masyarakat Indonesia memilih menggunakan aplikasi via ponsel, di samping berkonsultasi dengan tenaga pemasar.

“Preferensi nasabah terhadap layanan digital dan pendampingan oleh tenaga pemasar yang cukup seimbang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menyukai kenyamanan dari perangkat digital, tetapi juga mementingkan interaksi manusia,” ujar Ryan.