Liputan6.com, Jakarta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperingatkan akan fenomena La Nina diprediksi akan melanda Indonesia terhitung mulai Oktober 2021 hingga Februari 2022.
Menurut BMKG berdasarkan data terbaru suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur, saat ini nilai anomali tengah melewati ambang batas La Nina, yaitu sebesar -0,61 pada dasarian 1 Oktober 2021. Kondisi tersebut kemungkinan akan terus berkembang yang diprediksi akan terus berlangsung dengan intensitas lemah hingga sedang sampai Februari 2022.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, dengan adanya potensi curah hujan yang meningkat pada periode tersebut, diperlukan kewaspadaan dan kesiapsiagaan penuh terhadap potensi lanjutan dari curah hujan yang tinggi hingga dapat memicu bencana hidrometeorologi.
Advertisement
Baca Juga
Khususnya di wilayah Sumatera bagian Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan bagian Selatan dan Sulawesi bagian Selatan. Daerah-daerah tersebut hendaknya bersiap untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terkait potensi peningkatan bencana hidrometeorologi.
Dwikorita menjelaskan, wilayah Indonesia ini kompleks, dan kondisi cuaca dipengaruhi interaksi benua Asia dan Australia sehingga perubahan cuaca di luar siklus bisa terjadi seketika dan mendadak.
"Artinya perkiraan itu bisa tiba-tiba berubah karena ada sesuatu yang tiba-tiba berubah di tempat lain," jelas Dwikorita dalam pelatihan kebencanaan berteman La Nina, Fenomena dan Dampaknya yang digelar DPP PDI Perjuangan, Rabu (27/10/2021).
Dwikorita mencontohkan kejadian banjir Jabodetabek pada Januari 2020, itu sebetulnya sudah terdeteksi seminggu sebelumnya. Namun kemudian intensitas hujan melampaui apa yang diperkirakan.
Mantan dekan di UGM ini pun menegaskan tentang anomali suhu air laut adalah fakta yang terjadi. Sebab BMKG telah melakukan monitoring satelit permukaan air laut di Pasifik saat ini lebih dingin dari normalnya.
Sebaliknya, suhu permukaan air laut di Kepulauan Indonesia lebih hangat dari biasanya. Ini menyebabkan tekanan udara di wilayah Pasifik lebih tinggi, dan Indonesia lebih rendah tekanan udaranya.
"Curah hujan yang harusnya turun dicicil dalam satu bulan, tapi karena pengaruh fenomena regional dan seruak udara, akhirnya volume curah hujan yang mestinya sebulan bisa turun dalam 24 jam," jelas Dwikorita.
Karena itulah, ia menegaskan sangat penting memahami bahwa bencana itu terjadi karena lingkungan. Sebab bagaimana tidak banjir kalau semua penuh dengan aspal dan beton, pohon-pohon ditebang, sehingga peresapan air yang seketika itu menjadi terhambat.
"Inilah yang mengakibatkan bencana apabila hujan lebah dalam beberapa jam, dan lingkungan tidak bisa seketika meresap karena kerusakan alam. Maka penghijauan menjaga kelestarian lingkungan sangat-sangat tepat untuk mengurangi risiko ketidakmampuan lingkungan untuk segera meresapkan air yang datang seketika," ungkap Dwikorita.
Bersiap
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Ganip Warsito mengatakan, di tahun 2019 World Bank menetapkan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki resiko bencana paling tinggi di dunia.
Karena itu, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, penanggulangan bencana harus mengedepankan aspek pencegahan.
"Jangan sampai kita bersikap reaktif saat bencana terjadi. Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati. Artinya upaya pengurangan resiko pada kondisi pra bencana, harus menjadi tulang punggung upaya penanggulangan bencana," kata Ganip.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Henri Alfiandi mengatakan bahwa Potensi SAR adalah yang utama untuk bisa mencapai target quick response.
Dalam pidato Presiden Jokowi saat HUT RI 17 Agustus, kecepatan respon ini perlu ditambah, sehingga Basarnas harus lebih bekerjasama dengan para potensi SAR.
Henri juga meminta agar call center 115 diperkenalkan kepada masyarakat secara lebih luas. Sebab ia merasa masyarakat belum familiar dengan call center 115. Padahal ini adalah inti dari mulai bergeraknya Basarnas memberikan pertolongan, melakukan olah data, serta melakukan gerak memberikan berikan pertolongan.
"Sebab kemampuan dan jumlah juga kita perhitungkan. Dengan adanya dampak besar bencana maka mau tak mau kita harus bekerja sama dengan potensi SAR di daerah. Maka 115 harus familiar bagi masyarakat," tandas Henri.
Pendekatan Kultural
Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan Pemerintah ingin mendorong keterlibatan aktif masyarakat untuk bisa melakukan hal yang sederhana untuk mencegah bencana alam. Sehingga penanganan bencana alam tak mesti harus mengeluarkan dana besar.
Diakui oleh Risma, penanganan dampak bencana alam memang biasanya memerlukan logistik dan dana yang besar. Makanya, jika mau mencegah sejak awal, sebenarnya tak diperlukan dana yang besar.
"Sering kali kita ngomong bahwa penanganan bencana itu memerlukan dana besar. Itu tidak mesti. Kenapa demikian? Saat ini saya mencoba yang pra bencana ini, ini bisa ditangani," kata Risma
Hal tersebut disampaikannya dalam webinar Pelatihan Kebencanaan dengan tema La Nina, Fenomena dan Dampaknya yang dilaksanakan oleh DPP PDI Perjuangan, Rabu (27/10/2021).
Dia mencontohkan, pada November mendatang, akan dilaksanakan penanaman rumput dan tanaman keras di wilayah Cianjur, Jawa Barat. Hal ini akan berguna untuk menghindari longsor di masa mendatang.
"Ini murah sekali. Saya tanya harga rumput satu truk Rp 250.000. Itu bisa menghindari longsor," ungkap mantan Wali Kota Surabaya ini.
Contoh lainnya adalah untuk kegiatan tanggap darurat bencana. Pemerintah, melalui Kementerian Sosial, mulai membangun kampung siaga bencana. Dan dalam prosesnya, tak harus menggunakan peralatan yang mahal dan harus impor. Bahkan alat tradisional bisa dimanfaatkan.
"Contoh untuk kode siaga bencana, kemarin seperti di Trunyan kita pukul kentongan. Atau di Bali namanya kul-kul," ujar Risma.
Untuk tanggap darurat bencana, lanjut Risma, Pemerintah mengapresiasi peran parpol seperti PDI Perjuangan yang membentuk Badan Penanggulangan Bencana (Baguna). Namun unsur pemerintah juga tak diam. Misalnya di Kementerian Sosial, dibangun semacam gugus tugas yang sejenis bernama Tagana.
Kegiatan seperti ini, menurutnya, sangat efektif untuk menyiapkan diri seandainya bencana terjadi. Dan tak perlu mengeluarkan biaya yang mahal. Lewat organisasi seperti Baguna, bahkan masyarakat bisa melakukan pelatihan jalur evakuasi bagi masyarakat seandainya bencana terjadi.
"Jadi kalau memang kondisi bencananya berat, misalnya ya jangan menunggu longsor. Kalau hujan deras, maka langsung berkumpul di titik aman. Kita siapkan tenda, dan sebagainya sehingga tidak ada korban," beber Risma.
Advertisement