Sukses

MA Batalkan PP Pengetatan Remisi Bagi Koruptor hingga Teroris

Dalam PP tersebut berisi soal koruptor, teroris, dan pengedar narkoba boleh menerima remisi namun dengan syarat yang lebih ketat dari warga binaan pemasyarakatan lainnya.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan Pengaturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2021 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP tersebut merupakan pengetatan remisi bagi pelaku korupsi, terorisme, dan narkoba.

Dalam PP tersebut berisi soal koruptor, teroris, dan pengedar narkoba boleh menerima remisi namun dengan syarat yang lebih ketat dari warga binaan pemasyarakatan lainnya.

"Putusan kabul HUM (hak uji materiil)," demikian dikutip dari laman Mahkamah Agung (MA), Jumat (29/10/2021).

Uji materi atau judical review ini diajukan oleh Subowo dan empat rekannya, yakni warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.Putusan MA ini diketok oleh ketua majelis Supandi dengan anggota majelis Yodi Martono Wahyunandi dan Is Sudaryono. Putusan ini dibacakan pada 28 Oktober 2021 dan dicatat panitera pengganti Dewi Asimah.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Pertimbangan Majelis Hakim

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan narapidana bukan hanya objek, tetapi juga subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya, yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenai pidana sehingga tidak harus diberantas. Namun yang harus diberantas yaitu faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

Berkaitan dengan hal tersebut, majelis hakim MA menimbang, hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapat haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

"Persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di Lapas," demikian bunyi pertimbangan putusan.