Liputan6.com, Jakarta Sembilan Hakim Konstitusi hadir dalam Diskusi Konstitusi yang bertema Mengenal Lebih Dekat Mahkamah Konstitusi di Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (29/10/2021) pagi. Acara ini merupakan rangkaian dari Peresmian Pemanfaatan Mini Courtroom Persidangan Jarak Jauh Kerja Sama Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Universitas Hasanuddin.
Dalam acara mengenal lebih dekat MK tersebut, kesembilan hakim konstitusi diberi kesempatan untuk berbicara terkait dengan MK beserta kewenangannya. Ketua MK Anwar Usman mengatakan baru kali ini kesembilan hakim berkumpul dalam satu acara yang sama.
"Biasanya ada saja yang berhalangan. Ini luar biasa. Nah ini menunjukkan bahwa kami sangat concern terhadap penegakan konstitusi, penegakan hukum di Republik Indonesia," ujarnya seperti dikutip dari laman mkri.id.
Advertisement
Wakil Ketua MK Aswanto mengatakan bahwa ia senang bisa kembali mengunjungi UNHAS bersama dengan delapan hakim konstitusi lainnya.
"Untuk ketemu sembilan hakim itu di ruang sidang ketika pleno. Karena masing-masing memiliki tugas-tugas dan lain sebagainya, susah sekali bertemu," jelas Aswanto.
Kemudian dalam acara tersebut, Aswanto menjelaskan sedikit mengenai MK. Ia menegaskan, MK menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sementara MA menguji peraturan undang-undang di bawah undang-undang. Menurut Aswanto, ketika ada hak-hak yang telah dijamin konstitusi dinegasikan maka yang merasa dinegasikan dapat mengajukan ke MK.
"Itulah sebabnya salah satu fungsi MK yang harus diemban adalah menjaga agar hak-hak yang dijamin konstitusi jangan sampai diabaikan," ucapnya.
Pada sesi diskusi, Muhammad Iksan yang merupakan Mahasiswa FH UNHAS menanyakan kepada sembilan hakim mengenai kewenangan MK dalam menangani sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah terkait persoalan penetapan hasil rekapitulasi KPU serta pandangan para Hakim Konstitusi mengenai peradilan khusus yang akan menangani sengketa pilkada.
Pertanyaan selanjutnya disampaikan oleh mahasiswa lainnya yakni terkait poin apa saja suatu perkara yang judicial review dapat diterima atau ditolak. Sedangkan penanya ketiga terkait perkara yang telah diputus oleh MK namun tidak diindahkan oleh pelaksana.
Menanggapi pertanyaan para mahasiswa tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan MK hanya sementara untuk menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah. Ia menegaskan hal tersebut merupakan ranah pembentuk UU apakah MK akan lanjut menangani sengketa pilkada atau tidak.
"Posisinya MK dulu sudah mengembalikan jangan di MK, tetapi pembentuk UU tetap meletakkannya di MK untuk sementara. Sementaranya berapa lama? Saya tidak bisa memastikan dan kami tidak mau mendiskusikan hal itu," tegas Saldi.
Terkait pertanyaan mengenai perkara yang telah diputus oleh MK namun tidak diindahkan oleh pelaksana, Saldi menegaskan bahwa hal ini bukan soal di MK lagi tetapi diskusi di wilayah penegakan hukum.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, di MK sudah pernah memutuskan kalau norma yang pernah dinyatakan inskonstitusional lalu dihidupkan kembali dan kemudian ada yang mengajukan ke MK, maka MK punya alasan untuk membatalkannya kembali meskipun ada yang dihidupkan kembali argumentasi yang baru MK bisa menerimanya.
"Secara umum kita dalam putusan pernah mengatakan dalam hal norma atau pasal tertentu sudah dibatalkan oleh MK, dihidupkan lagi oleh pembentuk UU kemudian kalo ada yang mengajukan bisa jadi alasan MK untuk membatalkan norma itu. Hal itu tentu dengan alasan-alasan yang lebih baru. Tugas MK itu memutus, nah selain itu wilayahnya penegakan hukum," tegas Saldi.
Kewenangan MK
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menegaskan bahwa kewenangan MK dalam menangani sengketa pilkada merupakan satu-satunya kewenangan yang tidak diturunkan dari konstitusi bukan dari UUD 1945. Tetapi kewenangan tersebut merupakan kewenangan tambahan dari UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 157 ayat (3).
"Betul kata Iksan tadi, sifatnya hanya sementara sampai dibentuknya peradilan khusus. Jadi peradilan seperti apa yang ditanyakan Itu memang pilihan-pilihan kebijakan pembentuk undang-undang. Badan seperti apa yang tepat juga diskursusnya juga panjang," jelas Suhartoyo.
Selain itu, Suhartoyo juga mengatakan yang dapat mengajukan permohonan pilkada adalah pasangan calon, pemantau dan apabila ada pasangan calon tunggal. Ia mengatakan bahwa hal itu diatur dalam Pasal 158.
Dikatakan Suhartoyo, apabila melihat kewenangan MK yang diberikan UU memang sengketa perolehan suara yang ditetapkan oleh KPU. Itulah sebenarnya MK ingin menegaskan bahwa MK tidak terbatas pada itu, sehingga ketika ada perkara yang diajukan oleh pemohon yang berhimpitan dengan hal-hal yang sifatnya TSM itulah yang kemudian MK tidak menolak yang dapat dipertimbangkan MK.
Menurut Suhartoyo, dalam proses sengketa pilkada banyak pelanggaran-pelanggaran di luar soal penetapan perolehan suara. Oleh karena itu dalam putusan-putusan MK sudah menghindari syarat-syarat formal semata dalam Pasal 158 UU 10/2016 tersebut.
Advertisement