Sukses

4 November 1950: Tentara Indonesia APRIS Berhasil Taklukkan RMS dan Rebut Ambon Kembali

Kesenjangan sosial antara wilayah Indonesia Timur dengan Pulau Jawa mendorong munculnya gerakan untuk memisahkan diri dengan negara Indonesia di wilayah Maluku.

Liputan6.com, Jakarta - Pemberontakan masih tetap terjadi di Tanah Air di tahun 1950, meski Presiden Sukarno telah memproklamasikan Indonesia merdeka pada 1945. Salah satunya, Republik Maluku Selatan (RMS) yang diproklamirkan pada 25 April 1950.

Berkat Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berhasil menghentikan pemberontakan RMS, Ambon akhirnya direbut dari pasukan RMS. Saat itu, TNI masih bernama Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).

Kompas (2020) menyebut bahwa kesenjangan sosial antara wilayah Indonesia Timur dengan Pulau Jawa mendorong munculnya gerakan untuk memisahkan diri dengan negara Indonesia di wilayah Maluku. Situasi ini lalu direspons oleh Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT) Christian Robbert Steven Soumokil dengan mempelopori pembentukan RMS.

Adapun pembentukan RMS sendiri didukung pemerintah Belanda yang ketika itu masih ingin menjajah Indonesia. Johanis Hermanus Manuhutu ditunjuk sebagai Presiden RMS, Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri.

Sementara itu, Soumokil sendiri hanya menjabat menteri bersama Gasperz, J Toule, Norimarna, Pattiradjawane, Lokollo, Pieter, A Nanlohy, Pattiradjawane, Manusama, dan Z Pesuwarissa. Pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Manuhutu sebagai Presiden RMS.

Pemerintah Republik Indonesia Serikat menganggap keberadaan RMS sebagai gerakan separatisme. Pemerintah pun tak berdiam diri usai munculnya RMS. Berbagai operasi-operasi militer dilancarkan ke wilayah Maluku Selatan karena perundingan damai tak ditanggapi.

Kompas memberitakan bahwa awal mula pembentukan RMS saat Manusama mengudang rapat para rajapati atau penguasa desa dari Pulau Ambon dan menyampaikan penggabungan Maluku Selatan dengan wilayah Indonesia mengandung. Sehingga, Maluku Selatan harus segera memisahkan diri dari Indonesia.

Penduduk Maluku Selatan saat itu terpecah antara pendukung Soumokil dan pendukung Presiden Soekarno saat pembentukan RMS. Namun, Soumokil dan kawan-kawan tetap mengumumkan ke pemerintah bahwa RMS melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur dan Republik Indonesia Serikat.

Pemerintah Indonesia pun curiga bahwa keberadaan RMS ini ada campur tangan dari Belanda. Lalu, Kementerian Pertahanan RI menyatakan akan menyelesaikan kehadiran RMS secara militer dan akan dipimpin Kolonel Kaliwalang.

Akhirnya, Konferensi Maluku diselenggarakan di Semarang Jawa Tengah pada 12 dan 13 Juni 1950. Para politikus Ambon menyarankan agar masyarakat Maluku mengirim misi perdamaian ke Ambon. Mereka mengusulkan ke pemerintah untuk memberikan otonomi kepada Maluku Selatan.

Kendati begitu, beberapa kelompok badan perjuangan tak menyetujui usulan tersebut. Mereka menganjurkan pemerintah untuk melakukakan operasi militer terkait peristiwa RMS.

Pada 14 Juli 1950, Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dengan sandi 'operasi malam' mengutus  pasukannya sebanyak 850 orang untuk melawan RMS. Operasi ini dipimpin oleh Komandan Mayor Pellupessy.

APRIS melakukan 'operasi fajar' pada Agustus 1950 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Tujuan utamanya, untuk menduduki Kota Piru di Pulau Seram, Maluku Selatan.

Pasukan APRIS/TNI berhasil mendarat di Pulau Ambon pada 28 September 1950. Gerakan operasi pendaratan di Pulau Ambon diberi nama Serangan Umum Senopati.

Lantaran pusat gerakan RMS di Pulau Ambon, suatu pulau yang sangat baik untuk pertahanan, pemerintah memutuskan membentuk operasi militer gabungan yang meliputi semua angkatan, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara.

Pasukan kemudian dibagi atas tiga kelompok yakni, Kelompok Mayor Achmad Wiranatakusumah, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, dan Mayor Suryo Subandrio. Ketiga kelompok ini disebar menuju wilayah Maluku Selatan, terutama yang dikuasai oleh kelompok RMS.

Dalam waktu beberapa hari, pasukan TNI dapat menguasai sebagian besar Pulau Ambon, kecuali di bagian selatan di tempat RMS memusatkan kekuatannya. Pada 3 November 1950, pasukan grup Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan grup Mayor Surjo Subandrio bergerak bersama-sama untuk menyergap pertahanan RMS di Waitatiri.

Di saat yang bersamaan, Komandan RMS juga merencanakan suatu serangan besar-besaran terhadap pos pertahanan TNI untuk mematahkan kepungan. Sehingga terjadilah pertempuran sengit antara pasukan RMS yang berintikan pasukan Baret Hijau dan Baret Merah (mantan Angkatan Udara Belanda) dengan pasukan TNI.

Di samping penyergapan kedua grup pasukan pimpinan Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan Mayor Surjo Subandrio, pasukan grup pimpinan Mayor Achmad Wiranatakusumah yang belum mendarat, didaratkan di Benteng Victoria di punggung Kota Ambon dengan tujuan merebut Kota Ambon.

Dalam pertempuran beberapa jam di Waitatiri, pasukan RMS dapat dipukul mundur. Dua ribu orang sisa pasukannya bersenjatakan sten dan bren serta empat buah panser kemudian bergerak menuju kota Ambon untuk kembali bertahan. Pasukan Achmad Wiranatakusumah yang didaratkan pagi hari, pada sore harinya dapat menguasai keadaan.

Namun karena kelelahan, akhirnya pasukan TNI kurang waspada. Pasukan RMS pun memanfaatkan kondisi ini dengan menyamar sebagai TNI dan membawa bendera Merah Putih. Mereka mulai menyerang pasukan TNI. Suasana menjadi kacau dan sulit membedakan mana kawan dan lawan.

Akibatnya, sepanjang malam terjadi pertempuran di antara kedua kelompok. Perkelahian seorang lawan seorang tidak terhindarkan lagi sampai menjelang pagi hari dan menimbulkan banyak korban.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Bergerak Memasuki Kota Ambon

Melihat kondisi ini, pasukan Letnan Kolonel Slamet Riyadi bergerak memasuki kota Ambon pada 4 November 1950. Dia mengambil inisiatif memimpin sendiri pasukannya dengan didampingi Kapten Kavaleri Klees menaiki panser pertama. Tiga buah panser bergerak perlahan mendekati Benteng Victoria, Ambon.

Sekitar 30 meter mendekati Benteng Victoria, persis di simpang tiga, tembakan gencar dari dalam benteng bergemuruh, diarahkan kepada iring-ringan panser TNI. Sebuah tembakan tepat mengenai periskop panser yang dinaiki Slamet Riyadi dan Klees. Hal ini membuat Klees geram dan ingin membalas tembakan dengan meriam yang terpasang di pansernya.

Klees yang merupakan mantan prajurit KNIL yakin yang menembakinya bukan TNI, melainkan pasukan RMS yang ingin mengelabui dengan mengenakan seragam TNI. Namun pendapat Klees diabaikan Slamet Riyadi dan memutuskan turun dari panser untuk memeriksa.

Tanpa memakai helm pelindung, Slamet Riyadi keluar melalui lubang pintu kubah panser. Ia berkalung teropong serta memegang owen gun kesayangannya. Sesampai di luar, dia lompat ke bawah dan berdiri tegap di samping panser, menghadap 30 meter dari Benteng Victoria.

"Dorrrr…!"

Satu peluru dilepaskan dari balik Benteng Victoria. Seketika, Slamet Riyadi roboh bersimbah darah sambil memegangi perutnya. Melihat itu, Klees memerintahkan membalas serangan. Pertempuran tak terelakkan.

Riyadi sempat dilarikan ke Tulehu dengan mengenakan jeep. Sementara pasukan tetap berperang merebut Benteng Victoria. Prajurit APRIS pun berhasil menduduki Benteng Victoria dan mengamankan Ambon dari pemberontak RMS.

Slamet Riyadi sendiri meninggal di hari yang sama, 4 November 1950 pukul 21.15 di usia 24 tahun. Slamet Riyadi dimakamkan dengan upacara militer sederhana pada sebuah makam darurat di tengah kebun kelapa Pantai Tulehu, Pulau Ambon bagian Timur pada tanggal 5 November 1950.

Barulah setelah kondisi keamanan di Ambon dan Maluku pulih, makam Slamet Rijadi dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Ambon. Sesuai keinginannya, Slamet Riyadi ingin dimakamkan di atas tanah dimana ia gugur.

Meski Benteng Victoria berhasil diamankan tentara pada 4 November 1950, pemberontakan RMS terus terjadi di Pulau Seram hingga tahun 1962. Usai pemberontakan itu, setahun kemudian Soumokil ditangkap pada 12 Desember 1963.

Setelah ditangkap oleh tentara Indonesia ia dibuang ke Pulau Buru dan Pulau Seram. Pada bulan April 1964 ia diadili dan dibela oleh pengacara Mr. Pierre-William Blogg, teman lamanya dari Leiden, Belanda. Dalam persidangan Soumokil bersikeras berbicara dalam bahasa Belanda, walaupun bahasa ibunya adalah bahasa Melayu.

Mahkamah Militer Luar biasa menjatuhinya hukuman mati. Soumokil dihukum mati dan dieksekusi oleh peleton tembak pada 12 April 1966 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.