Liputan6.com, Jakarta Akademisi sekaligus praktisi kebijakan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Afni Zulkifli menyangkal pendapat yang disampaikan LSM Greenpeace terkait angka deforestasi Indonesia yang dikaitkan dengan pidato Presiden Joko Widodo di KTT PBB terkait perubahan iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/21).
Menurut Afni sangat disayangkan, LSM Greenpeace dan kawan-kawan melakukan ketidakadilan informasi terkait data deforestasi di Indonesia, yang dilepas ke ruang publik dengan penggunaan data-data yang sangat dikamuflasekan dan jauh dari kebenaran.
Baca Juga
Sebelumnya, Greenpeace mengkritik Presiden Jokowi terkait pernyataan deforestasi turun terendah dalam 20 tahun terakhir. Namun kata Greenpeace, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha pada 2003-2011 menjadi 4,8 juta ha pada 2011-2019.
Advertisement
"Greenpeace mengatakan deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Dari sini saja sudah terang benderang. Coba perhatikan tahunnya, lalu pelajari itu terjadi di masa pemerintahan siapa aja?" ujar Afni Zulkifli dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/11/21).
Padahal, lanjutnya, LSM sekelas Greenpeace pasti pegang data aslinya semua, tapi yang dicomot tetap saja sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan kelompoknya sendiri. Menurutnya, kasihan rakyat yang tidak paham dan tidak bisa mengakses data dan tidak mendapatkan informasi utuh, maka bisa mentah-mentah terkibuli.
"Berhubung Greenpeace 'menolak' membuka data secara detil, jadi mari kita buka data agar tidak ada dusta diantara kita terkait deforestasi di Indonesia," katanya.
Afni mengatakan, sesuai data pada tahun 2003-2011, deforestasi seluas 2,45 juta ha, dan pada 2011-2012, deforestasi seluas 613,5 ribu ha. Lalu di tahun 2012-2013, deforestasi seluas 728 ribu ha dan deforestasi seluas 397,4 ribu ha 2013-2014. Kemudian pada 2014-2015, deforestasi melonjak tinggi seluas 1.092.000 ha.
Semua data tersebut terjadi di masa pemerintahan sebelum Jokowi dan pemberian izin diberikan beberapa saat sebelum beralih ke pemerintahannya. Katanya, saat izin tersebut diberikan di lahan gambut dan hutan seketika beralih fungsi, bahkan pada praktek lapangan, banyak izin diduga menyasar sampai ke kawasan hutan. Izin-izin ini diantaranya bahkan keluar dalam hitungan beberapa hari sebelum periode pemerintahan berganti ke Jokowi yang dilantik pada Oktober 2014.
"Bahkan periode pemerintahan sebelumnya meninggalkan 'warisan kebijakan' dengan keluarnya izin prinsip di beberapa titik kawasan hutan, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, secara prosedural administratif hak pemohon untuk mendapatkan izin harus diselesaikan, karena apabila dibatalkan maka sama artinya terjadi kesewenang-wenangan oleh pemerintahan yang baru," tutur Afni.
Katanya, akibat dari obral izin di pemerintahan yang lalu telah menyebabkan karhutla membara dimana-mana sejak awal 2015. Bencana asap melanda, berbulan-bulan lamanya. Diawal pemerintahan Jokowi langsung porak poranda akibat hal tersebut. Selain itu, alih fungsi hutan dan gambut sudah terlanjur dan izin yang sudah diberikan tidak bisa seketika ditarik lagi, hanya bisa dikoreksi.
"Maka dari kejadian karhutla itulah pemerintahan Jokowi melakukan yang namanya koreksi kebijakan, yang kemudian dilanjutkan dengan koreksi aksi lapangan. Kedua jenis koreksi itu dilakukan di awal pemerintahan. Beriringan," jelasnya.
"Jika di pemerintahan sebelumnya pada masa beralihnya transisi kepemimpinan sibuk obral izin, maka di masa transisi memegang tampuk kekuasaan, pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi langsung mengevaluasi seluruh izin sektor kehutanan," jelasnya.
Â
Setop Izin Berskala Besar
Ia juga menjelaskan bahwa pada masa Jokowi ini, pemerintah membereskan kebijakan yang tidak benar. Saat itu, tidak ada lagi izin di hutan primer dan gambut harus terjaga basah. Pencegahan dan pemadaman dilakukan dan hukum lingkungan tajam juga ke atas, dibuktikan dengan pertama kali korporasi yang lalai mengurus karhutla bisa diseret secara pidana ataupun perdata.
Katanya, pemerintah juga menyetop izin untuk yang berskala besar. Sebelum 2015, izin untuk kepentingan rakyat alokasinya hanya 4%, sisanya untuk korporasi. Ketidakadilan ini kemudian dibalik lewat perhutanan sosial dan TORA (Pemanfaatan Tanah Objek Reforma Agraria).
"Koreksi kebijakan yang baru dimulai dari tahun 2015, berdasarkan data terakhir per 2020 sudah ada 4,7 juta ha dibagikan izin ke kelompok petani kecil atau sekitar 18% dari yang semula hanya 4%. Alokasi ini akan meningkat seiring target Hutsos dan TORA ideal seluas 12,7 juta ha atau menjadi 33% untuk rakyat petani. Di dalam kebijakan ini juga terdapat pengakuan hak masyarakat adat, yang untuk pertama kali diakui oleh Negara pada akhir Desember 2016," ungkap Afni.
Dari berbagai upaya yang baru dimulai enam tahun belakangan inilah, deforestasi periode 2015-2020 menurun. Sejak 2015-2016, deforestasi 629,2 ribu ha itu pun beberapa izin prinsip sudah keluar di masa pemerintahan sebelumnya. Pada 2016-2017, deforestasi 480 ribu ha dan 2017-2018, deforestasi 439,4 ribu ha. Kemudian pada 2018-2019, deforestasi 462,5 ribu ha dan 2019-2020, deforestasi turun drastis ke 115,5 ribu ha.
"Nah, disinilah letak kunci utama pidato Presiden Jokowi di COP26 Glasgow. Tepat pada poin ini pula pemlintiran informasi itu mulai terjadi. Jadi kamuflase informasi ala Greenpeace-nya memang cerdas, sekaligus agak licin," tuturnya.
"Saat bicara di COP26, Presiden Jokowi berpidato mengatakan penurunan deforestasi terendah dalam sejarah 20 tahun, itu mengacu pada data hasil kerja selama periode pemerintahannya dimulai, yakni dari tahun 2015 ke 2020," pungkas Afni.
Advertisement