Liputan6.com, Jakarta - Istri dari Kapolri kelima periode 1968 hingga 1971 Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Imam Santoso, Meriyati Roeslani mengatakan keteladanan dari almarhum suaminya akan abadi dan dikenang oleh masyarakat seperti halnya kasih sayang mereka berdua.
"Hoegeng sudah lama pergi, tapi keteladanannya abadi seperti halnya kasih sayang kami," kata dia melalui video singkat yang ditayangkan saat peluncuran buku berjudul "Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan" dalam rangka 100 tahun Pak Hoegeng yang ditulis oleh wartawan senior Farouk Arnaz di Jakarta, Minggu.
Merry, sapaan akrabnya memang tidak bisa hadir secara langsung saat peluncuran buku yang berisi sosok suami tercintanya. Ketidakhadirannya dikarenakan kondisi kesehatan dan ditambah kondisi pandemi COVID-19.
Advertisement
"Saya sebenarnya ingin menghadiri acara istimewa ini yang menjadi penanda 100 tahun suami saya tercinta. Namun, kesehatan dan pandemi membatasi pergerakan saya," kata dia.
Baca Juga
Akan tetapi, ia mengaku tetap bangga dan bahagia atas peluncuran buku tersebut apalagi dihadiri langsung serta diwakili oleh anak-anak dan cicit-cicit dari Kapolri Jenderal Hoegeng yang dikenal kerap menggunakan sepeda ontel saat bertugas.
"Sekali lagi, dari lubuk hati yang terdalam saya menyampaikan terima kasih," ujarnya yang dikutip dari Antara.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kisah tentang Hoegeng
Buku berjudul "Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan" dalam rangka 100 tahun Pak Hoegeng yang ditulis oleh wartawan senior Farouk Arnaz, bercerita tentang kisah-kisah humanis dari sosok Kapolri kelahiran 14 Oktober 1921 tersebut.
Buku tersebut menceritakan tentang sosok Hoegeng Imam Santoso yang meninggalkan warisan mempertahankan prinsip, menjaga integritas, dan dedikasi. Kapolri kelima yang berkisah soal keteguhan menjabat mulai 1968 hingga 1971 itu adalah sosok langka yang sulit dicari padanannya mulai dulu hingga kini.
Tak hanya sendiri, Hoegeng juga mengajak serta keluarganya untuk terjun memasuki kehidupan yang penuh idealisme dan antikompromi yang sesungguhnya tak pernah mudah itu. Hoegeng tidak mau berkhianat dan berkongsi dengan kebatilan.
Ia menjaga nama baik dan sumpah dengan perbuatan nyata bukan sekadar kata-kata. Sepak terjang Hoegeng yang tak bisa disetir membuat gerah para "tuan besar" sehingga ia kehilangan jabatannya. Namun, Hoegeng tak pernah menyesali langkahnya.
Selain itu, buku tersebut juga berisi tiga kasus menonjol di akhir karier Hoegeng sebagai Kapolri dan kebijakan-kebijakan Hoegeng semasa menjadi Kapolri yang terekam dalam berbagai media massa.
Advertisement