Sukses

Permendikbudristek Kekerasan Seksual di Kampus, PP Aisyiyah: Diundang Tapi Tak Digubris

Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah, Atiyatul Ulya geram lantaran, masukan pihaknya dalam penyusunan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tak digubris jajaran Kemendikbudristek.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah, Atiyatul Ulya geram lantaran, masukan pihaknya dalam penyusunan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 perihal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus, tak digubris Kemendikbudristek.

"Masukan-masukan yang tadi sudah saya sampaikan pun sudah saya sampaikan ketika pertemuan dengan Kementerian Pendidikan dengan berbagai unsur lembaga yang lain. Beberapa hal tadi misalkan terkait dengan definisi, ruang lingkupnya, implementasi," ujar Atiyatul kepada Liputan6.com, Selasa (9/11/2021).

Dia melihat pelibatan pihaknya dalam menyusun beleid tersebut tak lebih hanya sebuah formalitas. Pasalnya, kata dia, mereka diundang kala aturan itu sudah rampung dibuat dan tinggal disahkan.

Menurut dia, aturan yang kini telah disahkan dengan yang ditunjukkan kepadanya saat sebelum diketok persis sama tak ada yang diubah. Hal itu mengindikasikan Kemendikbudristek sama sekali tak mendengar masukan dari pihaknya.

"Sebetulnya kami waktu itu diajak untuk membahas ya. Tetapi ketika diajak untuk membahas ini sudah di akhir-akhir dan itu sudah masuk di Kementerian Hukum dan HAM, sudah tinggal diketok. Artinya bahwa formalitas, kami juga udah sampaikan fungsi mengundang kami itu apa kalau tinggal diketok di kementerian?" kata dia.

Atiyatul mencatat ada sejumlah masalah dalam peraturan yang bermaksud mulia itu. Misalnya terkait cakupan kekerasan seksual yang memang banyak menuai polemik.

"Secara definisi masih sangat umum ya dari bacaan kami, sehingga nanti khawatirnya ketika di lapangan itu akan susah untuk diterjemahkan," terang Atiyatul.

 

2 dari 2 halaman

Catatan Lain

Kemudian, lanjut Atiyatul, perihal penggunaan diksi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang selalu menggunakan frasa "tanpa persetujuan" dari korban.

"Itu yang kemudian bisa dipahami bahwa kalau logikanya yang dibaliknya itu, berarti kalau mereka sama-sama setuju jadi gak papa dong meskipun itu sebetulnya secara hukum agama tidak diperbolehkan," papar dia.

Peraturan tersebut, kata Atiyatul, akhirnya menggiring penafsiran sejumlah pihak bahwa hubungan seksual suka sama suka atau sesama jenis dibolehkan karena tak diakomodasi dalam Permendibudrsitek 30/2021. Padahal, ini jelas bertentangan dengan ajaran agama.

Masalah implementasi, Atiyatul mengurai ada sejumlah catatan soal ini. Permasalahan ditemui kala peraturan itu memandatkan setiap perguruan tinggi untuk membentuk satuan tugas (Satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

"Untuk perguruan tinggi yang masih sangat terbatas SDM-nya, pendanaannya maupun sarana dan prasarana ini gak yakin saya mereka bisa melakukan dengan baik. Karena pembentukan satgas itu perguruan tinggi dituntut untuk membentuk, menyediakan sarana dan prasarana dan menyampaikan SDM-nya," kata dia.

Belum lagi persyaratan untuk membentuk satgas yang tercantum pada aturan tersebut dipandang Atiyatul sukar untuk dipenuhi bagi sejumlah kampus kecil. Misalnya saja syarat calon anggota satgas harus orang yang sudah pernah melakukan pendampingan kekerasan seksual.

"Itu dari syarat yang nomor satu saja siapa gitu yang ada? Kalau yang kampus besar oke lah ada, tapi untuk yang masih sangat terbatas SDM-nya itu dengan syarat yang diberikan dalam Permendikbudristek itu nyaris gak ada yang memenuhi itu," pungkas dia.