Sukses

DPR: Jangan Sampai Negara Terus Suntik Garuda tapi Hasilnya Nihil

Misbakhun menjelaskan pemerintah sudah menggelontorkan trilinan rupiah melalui penyertaan modal negara (PMN) untuk Garuda Indonesia. Namun, kondisi maskapai flag carrier itu tak membaik.

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi XI M Misbakhun mewanti-wanti pemerintah punya solusi jitu untuk Garuda Indonesia. Menurutnya, jangan sampai negara terus menyuntik dana ke maskapai kebanggaan nasional itu, tetapi hasilnya nihil.

Misbakhun menyampaikan hal itu saat menghadiri rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (8/11)."Garuda ini mau kita apakan?" ujarnya.

Legislator Partai Golkar itu menjelaskan pemerintah sudah menggelontorkan trilinan rupiah melalui penyertaan modal negara (PMN) untuk Garuda Indonesia. Namun, kondisi maskapai flag carrier itu tak membaik.

"Garuda dapat dari PMN, sementara tidak memperbaiki situasi," kata Misbakhun.

Oleh karena itu, Misbakhun menilai persoalan di Garuda bukan hanya menyangkut suntikan dana. "Pemegang sahamnya adalah Ibu (Sri Mulyani), ini kan bisnis modelnya harus diperbaiki, atau seperti apa?" kata mantan PNS di Direktorat Jenderal Pajak itu.

Saat ini Garuda Indonesia menanggung utang yang mencapai USD 7 miliar atau di atas Rp 100 triliun. Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam laporan terakhirnya membeber pemegang saham Garuda ialah pemerintah (65,4 persen), PT Trans Airways (28,27 persen), dan publik (11,19 persen).

 

2 dari 3 halaman

Beberapa Skema Penyelamatan

Misbakhun menyatakan Garuda Indonesia memiliki nilai historis sehingga harus dipertahankan.

"Penting bagi negara memiliki simbol seperti itu," katanya.

Menkeu Sri Mulyani dalam raker itu merencanakan dana suntikan untuk BUMN melalui PMN pada 2022 mencapai Rp 35,5 triliun. Namun, dalam daftar BUMN penerima PMN itu tak ada nama Garuda Indonesia.

Sementara itu, Pengamat Investasi Global dan Pasar Modal Edhi Pranasidhi menegaskan, pemerintah wajib menyelamatkan Garuda Indonesia. Pasalnya, selain sebagai maskapai penerbangan flag carrier yang menjadi salah satu identitas Indonesia di kancah internasional, mayoritas kepemilikan saham Garuda juga dikuasai oleh negara, dengan porsi lebih dari 60 persen.

Jika Garuda dibiarkan bangkrut, lanjut Edhi, salah satu kerugiannya adalah bisa menghilangkan kepercayaan investor asing kepada pemerintah Indonesia. Karena, kreditur dan lessor Garuda itu berinvestasi di Indonesia. Bila kepercayaan investor hilang, ke depannya akan menambah country risk investment bagi Indonesia.

Jadi, risiko berinvestasi di Indonesia bisa meningkat di mata investor asing. Selain itu, akan menimbulkan multiplier effect kepada industri di dalam negeri. Sebab, Garuda bukan hanya punya utang kepada lessor (prinsipal sewa pesawat), tapi juga ke sejumlah BUMN.

Founder Indonesia Superstocks Community itu menegaskan, skema penyelesaian utang-utang Garuda kepada kreditur dan lessor harus berjalan win-win solution bukan, lose-lose solution. Sebab, apabila skema penyelesaiannya merugikan Garuda, dampaknya pemerintah juga akan ikut menanggung kerugian.

"Dalam dunia bisnis, kepercayaan adalah segalanya," kata Edhi dalam keterangannya, Selasa (9/11/2021).

3 dari 3 halaman

Obligasi

Menurut dia, ada beberapa skema opsi yang bisa dilakukan Garuda. Pertama, kata Edhi, pemerintah bisa memberikan ijin kepada Garuda untuk menerbitkan obligasi (bond) dengan tenor 30 tahun. Nilai obligasinya berkisar Rp 20 triliun sampai Rp 30 triliun. Dari jumlah ini, 50 persen digunakan untuk membayar utang dan sisanya untuk keperluan biaya operasional Garuda.

Tentu, yang membeli obligasi Garuda adalah pemerintah. Bisa juga, pemerintah berbagi beban dengan Bank Indonesia (BI). Toh, selama ini, BI juga membeli surat utang pemerintah. Penerbitan obligasi bisa dilakukan bertahap dengan kupon 1 persen per tahun. Tapi, pemerintah harus memberikan grace periode/masa tenggang 5 tahun bagi Garuda untuk membayar cicilan dan kupon obligasi.

Dengan adanya grace periode, Garuda bisa memperbaiki dulu kinerjanya selama lima tahun. Setelah lima tahun, baru Garuda mulai mencicil pembayaran dan kupon obligasi yang diterbitkan.

"Lewat penerbitan obligasi ini, bisa menjadi solusi bagi Garuda dan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan utang kepada para lender," papar Edhi.

Cara lainnya bisa lewat penerapan mandatory convertible bond (MCB) atau obligasi wajib konversi. Misalnya, ditetapkan harga MCB Rp 500 dengan jangka waktu selama 7 tahun dan bunga sebesar 6 persen. Yang beli MCB tentu kreditur. Setelah jatuh tempo, obligasi tadi dikonversi dengan saham Garuda.

"Jadi, ada kepercayaan dari kreditur bahwa Garuda punya niat untuk membayar utangnya," tegas Edhi.

Kalau MCB itu bisa mengurangi beban utang Garuda sebesar Rp 10 triliun saja, itu sudah lumayan. Dana sebesar itu, terutama bisa digunakan untuk membayar utang-utang short term.

Yang penting, kata Edhi, ekuitas Garuda bisa positif terlebih dahulu. Kalau kinerja Garuda positif, tentu akan ikut mempengaruhi pergerakan harga saham Garuda di pasar modal.Â