Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menjelaskan alasan mengapa kebijakan yang dikeluarkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim kerap menuai polemik di masyarakat. Menurutnya hal itu lantaran Mendikbudristek Nadiem kerap kali mengabaikan partisipasi publik dalam menyusun aturan.
"Ada obsesi ya, Mas Nadiem punya obsesi untuk bikin banyak hal terobosan, perubahan dan seterusnya. Tapi jujur yang harus diakui tak ada ruang transisi yang ia bayangkan dari semua kebijakan dia. Tidak mempertimbangkan ruang partisipasi publik ketika kebijakan itu dikeluarkan," kata Huda dalam sebuah diskusi daring, Selasa (9/11/2021).
"Malah sering kali beberapa polemik itukan terjadi kebijakan itu seolah-olah di ruang kosong lah begitu. Kira-kira semua harus ikut saja," sambungnya.
Advertisement
Huda menilai mekanisme semacam itu tak bisa dilakukan di Tanah Air. Untuk itu ia meminta ke depannya Nadiem bisa lebih sensitif dengan isu yang mendapat perhatian khalayak.
Baca Juga
"Karena itu kita berharap Kemendikbud lebih berhati-hati, sensitif terhadap isu-isu publik, terhadap situasi baik pada aspek sosiologis dan antropologis di bangsa dan negara ini," katanya.
Kontroversi terbaru yang dipantik Nadiem Makarim adalah perihal terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 soal pencegahan dan penanaman kekerasan seksual di kampus.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Fahmy Alaydroes mendesak agar aturan tersebut dicabut lantaran mengakomodasi pembiaran praktik perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis.
"Oleh sebab itu, Permendikbud Ristek No 30/2021 ini harus dicabut dan segera direvisi dan dilengkapi! Permendikbud ini harus sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menugaskan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya dalam keterangan tulis, Selasa (9/11/2021).
Fahmy memahami bahwa maksud dan tujuan dari beleid ini ingin menghilangkan kekerasan seksual di kampus, namun sayangnya peraturan itu sama sekali tidak menjangkau atau menyentuh persoalan pelanggaran susila (asusila) yang sangat mungkin terjadi di lingkungan perguruan tinggi, termasuk praktek perzinahan dan hubungan seksual sesama jenis (LGBT).
Peraturan ini, kata dia hanya berlaku apabila timbulnya korban akibat paksaan, atau melakukan interaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.
"Dengan perkataan lain, bila terjadi hubungan seksual suka sama suka, kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan dilakukan di luar ikatan pernikahan, Peraturan ini membiarkan, mengabaikan, dan menganggap normal. Bahkan, peraturan ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk ‘legalisasi’ perbuatan asusila seksual yang dilakukan tanpa paksaan (suka sama suka) di kalangan perguruan tinggi," tegas dia.
"Pertanyaan kritisnya adalah apakah peraturan ini ingin mencegah dan melarang perzinaan dengan paksaan, tetapi mengizinkan perzinaan dengan kesepakatan?" imbuh Fahmy.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tanggapan Kemendikbudristek
Anggapan itu dibantah Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek) Nizam. Menurutnya, anggapan tersebut timbul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang.
"Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan',” tegasnya dalam keterangan tulis, Selasa (9/11/2021).
Nizam juga menggarisbawahi fokus Permendikbudristek PPKS. Di mana aturan itu hanya menyoroti pencegahan dan penindakan praktik kekerasan seksual di kampus.
“Fokus Permen PPKS adalah pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual. Sehingga definisi dan pengaturan yang diatur dalam permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual,” tegasnya.
Saat ini, kata Nizam, beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi.
“Kebanyakan dari mereka takut melapor dan kejadian kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi korban. Hal ini menggambarkan betapa mendesaknya peraturan ini dikeluarkan,” ujarnya.
Kehadiran Permendikbudristek PPKS merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan dari kekerasan seksual di perguruan tinggi yang disampaikan langsung oleh berbagai mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, guru besar, dan pemimpin perguruan tinggi yang disampaikan melalui berbagai kegiatan.
Karenanya, kekerasan seksual di sektor pendidikan tinggi menjadi kewenangan Kemendikbudristek, sebagaimana ruang lingkup dan substansi yang tertuang dalam Permendikbudristek tentang PPKS ini.
Nizam menekankan Kemendikbudristek wajib memastikan setiap penyelenggara pendidikan maupun peserta didiknya dapat menjalankan fungsi tri dharma perguruan tinggi dan menempuh pendidikan tingginya dengan aman dan optimal tanpa adanya kekerasan seksual.
Advertisement