Sukses

Aktivis Sesalkan Penolakan Aksi Kamisan Dialog dengan Moeldoko

Seseorang yang mengaku diri sebagai aktivis seharusnya memahami dengan jelas apa yang menjadi tanggung jawab sejelas apa pula yang menjadi haknya.

Liputan6.com, Jakarta Keganjilan era post-truth yang terutama ditunjukkan dari tidak sejalannya pikiran dan omongan dengan tindakan yang dilakukan, tampaknya mulai menjangkiti para aktivis sendiri. Misalnya yang terjadi di Taman Signature, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (18/11) lalu.

Para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang tengah berunjuk rasa soal kebebasan, justru melarang berbicara dengan membungkam Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko.

Berkenaan dengan perilaku ganjil para aktivis HAM tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Varhan Abdul Azis, menyesalkan hal itu.

Dia mengatakan, sulit dirinya membayangkan perilaku seperti itu akan dilakukan seorang aktivis HAM. Pasalnya, seseorang yang mengaku diri sebagai aktivis seharusnya memahami dengan jelas apa yang menjadi tanggung jawab sejelas apa pula yang menjadi haknya.

"Ini persoalan dasar, sangat basic dalam pemahaman hak-hak manusia, bahwa hak pribadi kita itu berbatasan dengan kewajiban yang menanti kita untuk menghormati dan memenuhinya," kata Varhan. 

Itulah sebabnya, lanjutnya, para aktivis sangat tahu betul apa yang mendasari hak-hak mereka, termasuk hak berbicara, yakni kewajiban untuk mau mendengarkan pula apa yang menjadi hak orang lain untuk dikemukakan.

Varhan menunjuk perkataan filsuf Prancis, Voltaire, yang sering dikutip untuk menegaskan bahwa setiap orang seharusnya punya kewajiban untuk menghormati hak berbicara orang lain.

"Para aktivis sering mengutip Voltaire yang berkata 'Saya tidak setuju pendapatmu, tapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk berpendapat'," kata Varhan mengutip Voltaire.

"Jadi, apa yang dilakukan para aktivis di Taman Signature itu membuat orang sangsi, benarkah mereka aktivis sebagaimana apa yang mereka daku?" kata dia.

Persoalannya, sambungnya, ungkapan Voltaire itu hal yang sangat mendasar, yang dipelajari para aktivis di masa-masa awal aktivisme.

Untuk itu, Varhan mendorong para aktivis tersebut untuk lebih banyak lagi membaca segala literatur dan merenungkannya. Hanya dengan cara itu, kata dia, mereka akan lebih dewasa dalam bersikap dan menjalani kehidupan.

"Seperti kata filsuf dan rohaniwan Santo Agustinus, Tolle, 'lege! Tolle, lege! Ambil dan baca, ambil dan baca! Itu yang harus dilakukan para aktivis itu agar mereka semakin dewasa dan tidak mempermalukan kalangan aktivbis lainnya," tuturnya.

 

2 dari 2 halaman

Cara Pemerintah Membangun Dialog

Sebagaimana beredar luas, pada Aksi Kamisan di Taman Signature, Semarang, Kamis (18/11/2021) lalu, para aktivis HAM yang tengah berunjuk rasa menolak, bahkan mengusir KSP Moeldoko yang datang menyambangi mereka untuk berdialog.

Saat itu Moeldoko yang menjadi salah satu pembicara kunci di Festival HAM yang digelar di tempat itu mendatangi para pengunjuk rasa yang sejak pagi melakukan aksi. Moeldoko merasa perlu mendengar langsung dan mendapatkan masukan dari para pengunjuk rasa.

Namun alih-alih menyambut niat baik Moeldoko, para aktivis yang berunjuk rasa justru melarang Moeldoko bicara. Mereka juga menolak berdialog. Tanpa rasa sungkan akan apa yang mereka lakukan, Koordinator Lapangan aksi tersebut, Azis Rahmad, secara terbuka mengusir Moeldoko.

"Kami tidak memberi ruang dia  berbicara, karena dia berbicara tanpa ada realisasi. Tanpa negara mau mengakomodasi dan menuntaskan pelanggaran HAM, sama saja hanya bualan belaka," ujar Azis.

Dia mengatakan, seharusnya para aktivis itu melihat langkah Moeldoko sebagai bagian dari cara pemerintah dalam membangun dialog dengan para aktivis HAM.

"Dengan dialog antara negara dan masyarakat maka keinginan aktivis akan menjadi masukan penting bagi pemerintah," ucap dia.

Sama halnya dengan para penggiat HAM yang juga harus memahami hambatan dan kendala yang dihadapi pemerintah. Baru dengan saling memahami itulah persoalan HAM akan bisa diselesaikan bersama.

Â