Sukses

HEADLINE: Malaysia Izinkan Ganja untuk Medis, Indonesia Masih Tabu?

Diketahui, Malaysia membuka keran untuk melegalkan penggunaan produk dan impor yang berbau ganja untuk kebutuhkan medis.

Liputan6.com, Jakarta Musa Ibnu Hassan Pedersen telah wafat. Sabtu 26 Desember 2020 perjuangan fisiknya melawan penyakit yang diderita selama 16 tahun lalu harus berhenti. Musa mengidap Cerebral Palsy. Namun melalui sang ibunda tercinta, Dwi Pertiwi, perjuangan agar ganja digunakan untuk kepentingan medis terus bergulir di Mahkamah Konstitusi.

Kisah Musa menjadi proses awal gugatan yang diajukan 19 November 2020. Berdasarkan laman Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR, mendiang Musa sempat mendapatkan pengobatan atau terapi ganja di Australia untuk penyakitnya. Satu bulan penuh terapi dengan ganja tersebut cukup membuahkan hasil yang sangat signifikan untuk perkembangan kondisi kesehatannya, bahkan Musa sama sekali tidak lagi mengalami kejang.

Namun sayangnya ketika kembali ke Indonesia, Musa tidak dapat melanjutkan pengobatan dengan ganja. Undang-undang 35 tahun 2009 tentang Narkotika melarang penggunaan ganja kendari untuk pelayanan kesehatan.

Ditambah lagi munculnya kasus-kasus pemidanaan terhadap penggunaan ganja untuk kepentingan pengobatan seperti kasus Fidelis yang dipidana pada 2017 karena memberikan pengobatan ganja kepada istrinya yang menderita penyakit langka Syringomyelia.

Kisah Fidelis berakhir pilu. Dia yang menjadi tulang punggung keluarga ditangkap dan dipenjara oleh aparat di tengah kondisi istri yang sakit. Di balik jeruji besi dia mendengar sang istri mengembuskan nafas terakhir 25 Maret 2017 atau 32 hari setelah Fidelis ditangkap BNN Kabupaten Sanggau.

Berbicara ganja untuk kepentingan medis di Indonesia seolah tabu. Sebagian kelompok masyarakat yang menentang menganggap upaya itu merupakan legalisasi ganja untuk kepentingan rekreasi. Diskusi menjadi terkunci oleh aturan formal. Tidak bisa diganggu gugat dan menutup celah penelitian ganja dan sejenisnya.

Namun, lain hal dengan Negeri Jiran Malaysia yang mulai membuka ganja untuk kepentingan medis kendati dihadapkan dengan sederet aturan yang mengawasi penggunaannya. Lantas, apakah Indonesia akan mengambil langkah serupa Malaysia dengan meninjau ulang UU Narkotika tentang pemanfaatan ganja?

Direktur Eksekutif LBH Masyarakat, Afif Abdul Qoyim memandang, apa yang terjadi Malaysia bisa menjadi dorongan bagi Indonesia untuk memberlakukan hal yang sama terkait kebutuhan ganja bagi medis.

Seyogyanya, sidang lanjutan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 itu pada 11 November 2021 mendengarkan saksi dari pemerintah. Namun, sidang tersebut mengalami penundaan sampai 7 Desember 2021.

"Soal situasi global termasuk di Asia Tenggara termasuk Malaysia, itukan tren terhadap ganja medis itu harus jadi pertimbangan pemerintah untuk meninjau ulang narkotika ganja untuk kepentingan medical," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (15/11/2021).

Afif menyebut di Indonesia stigma narkotika yang dipandang buruk juga mempengaruhi citra ganja. Padahal tanaman ganja sendiri sudah banyak dimanfaatkan sebagai medis dan mengalami rekayasa teknologi.

"Kita boro-boro ngomongin rekayasa dan teknologi, pandangan awalnya saja, fondasinya memandang narkotika sudah negatif duluan. Nah ini kan menghambat kemajuan berpikir narkotika untuk medis," jelasnya.

Selain itu, di Indonesia masih ada permasalahan hukuman kepada penyalahgunaan narkotika dengan pengedar maupun bandar. Di mana banyak penyalahgunaan narkotika memenuhi penjara, dan peredaannya masih tetap marak. Hal ini pun dianggap sebuah sistem yang buruk di Indonesia.

"Jadi pemerintah sendiri sudah mengakui ada masalah penanggulangan narkotika selama ini," tutur Afif.

Karena itu, pihaknya terus mendorong ganja legal untuk medis dan mendorong hak atas kesehatan atas siapapun itu.

"Jadi peningkatan derajat kesehatan harus bisa mungkin itu dibuka kerannya. Nah salah satu masalah terkait dengan yang kita dorong di MK itu adalah si ibu ini tidak bisa mendapatkan pengobatan karena ganjanya itu sebagai dasar obat tidak bisa dimanfaatkan. Itu kan problem," jelas Afif.

Senada, Yohan Misero, Direktur dan Kebijakan Yayasan Sativa Nusantara memandang ini bisa menjadi peluang Indonesia bisa menerapkannya. Dia mengklaim, ini artinya sudah ada dua negara di Asia Tenggara yang bisa mengakses ganja untuk medis.

"Singkatnya tentu saja, karena di regional sendiri berarti sudah ada dua negara yang punya mekanisme akses ganja medis, dalam hal ini Thailand dan Malaysia. Hal ini tentu jadi sebuah hal yang patut dilihat oleh masyarakat dan pemerintah secara spesifik agar perlahan-lahan bergerak ke arah sana," kata Yohan kepada Liputan6.com, Senin (15/11/2021).

Meski Malaysia mengedepankan impor, tentu ini langkah cepat agar mempunyai akses ganja medis. Bahkan, ini justru bisa menguntungkan Indonesia.

Menurutnya, jika nanti Indonesia mau mengubah kebijakannya, ganja untuk kepentingan medis bisa jadi aset di perdagangan internasional dan mengubah petani yang masih dalam skema peredaran gelap menjadi bisa diandalkan untuk impor.

"Harapannya ketika ada kebijakan mereka bisa shifting dari ekonomi ilegal ke ekonomi baru ya sudah direstui oleh kebijakan," jelas Yohan.

Dirinya merasa heran dengan sikap pemerintah maupun DPR yang berubah akan legalitas ganja untuk medis. Yohan menyadari hal ini lantaran Konvensi Tunggal Narkotika 1961, yang memberi pengaruh besar pada bagaimana negara dunia mengatur regulasi soal tanaman ganja.

"Tapi kami lihat bahwa dalam 10-20 tahun terakhir sudah banyak perubahan juga dari berbagai negara, dari Belanda, Kanada, Uruguay, AS dan akhirnya pelan-pelan bergeser juga masuk ke Asia dalam hal ini India, Thailand, dan Korsel kemarin. Sebaiknya, tanda-tanda perubahan ini diresapi cepat oleh pemerintah karena kalau terlalu berlama-lama akhirnya bahkan di level regional pun kita akan ketinggalan," kata Yohan.

Dia menyebut sebenarnya di tingkatan DPR sudah banyak yang terbuka terkait ganja legal untuk medis, namun dianggap masih takut untuk bicara lantaran bisa kehilangan suara pendukungnya.

"Ini menunjukan bahwa stigma terhadap ganja itu masih sangat tinggi, baik dari masyarakat sendiri maupun dari otoritasnya. Jadi saya rasa butuh keberanian, terutama dari otoritas untuk memulai bergerak ke arah ini, karena pasti ada kontroversi dari masyarakat juga, tapi gimana pun pemerintah hadir untuk melayani masyarakat," tutur Yohan.

 

Malaysia Buka Keran

Diketahui, Malaysia membuka keran untuk melegalkan penggunaan produk dan impor yang berbau ganja untuk kebutuhkan medis. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Kesehatannya Khairy Jamaluddin.

Adapun, Negeri Jiran itu mengacu ke Undang-Undang Bahaya Narkoba 1952, Undang-Undang Soal Racun 1952 dan Undang-Undang Penjualan Narkoba 1952, yang tak melarang ganja digunakan untuk keperluan medis.

Nantinya, setiap produk yang mengandung ganja harus didaftarkan ke Drug Control Authority (DCA) seperti yang ditentukan oleh Control of Drugs and Cosmetics Regulation 1984.

"Importir juga harus memiliki lisensi dan izin impor di bawah Peraturan Pengawasan Obat dan Kosmetika, Undang-Undang Soal Racun, serta Undang-Undang Bahaya Narkoba," kata Khairy seperti dikutip dari laman Channel News Asia, Senin (15/11/2021).

"Penjualan atau pengadaan eceran perawatan medis untuk pasien tertentu harus dilakukan oleh seorang praktisi medis yang terdaftar di bawah Medical Act 1971 atau apoteker terdaftar dengan lisensi Tipe A untuk individu tertentu berdasarkan resep yang dikeluarkan oleh praktisi medis terdaftar," tambahnya.

Dia mengatakan bahwa setiap pihak yang memiliki bukti ilmiah yang cukup untuk menggunakan ganja (rami) untuk tujuan pengobatan apa pun dapat mengajukan aplikasi guna mendaftarkan produknya ke DCA.

Tujuannya, untuk evaluasi dan pendaftaran di bawah Peraturan Pengawasan Obat dan Kosmetik 1984 Malaysia. 

2 dari 3 halaman

Posisi Indonesia Dianggap Tetap Tak Berubah

Kepala Biro Humas dan Protokol BNN RI, Bridjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono menatakan, posisi ganja di Indonesia masih ditempatkan di golongan satu narkotika. Dia pun menyadari ada pro kontra di dunia terhadap legalitas barang tersebut untuk kebutuhan medis.

"Yang tidak setuju termasuk Indonesia, China, banyak sekali negara, hampir 60 persen tidak setuju ganja dipakai untuk kepentingan medis. makanya selalu terjadi perdebatan itu. Indonesia masih menolak ganja untuk penetingan medis," kata Pudjo kepada Liputan6.com, Senin (15/11/2021).

Dia menyebut, ganja mentah saja menjadi pintu masuk untuk penggunaan narkoba jenis lain. Yang kedua, jika bahan mentah atau ganja yang belum dimurnikan itu dilegalkan, maka ganja murninya juga harus dilegalkan dan turunannya dan itu sangat membahayakan.

"Artinya begini kokain itu dalam kondisi mentah dipakai oleng-oleng kaya ganja gitu. Tetapi begitu dimurnikan menjadi bubuk kokain mematikan. Ganja juga begitu kondisi mentahnya dipakai oleng-oleng begitu di murnikan dalam bentuk THC sangat berbahaya bahkan bisa mematikan," ungkap Pudjo.

Dia mengakui, jika ganja dilegalkan, pengawasannya juga sulit. "Enggak gampang dan posisi kita masih seperti itu. Untuk kedepan kita belum tahu," jelas Pudjo.

Meski demikian, dirinya mengaku belum mendengar kabar dari Malaysia. Meskipun demikian, memang sudah banyak perbincangan di Asia Tenggara terkait legalitas ganja untuk medis.

"Kita bicara sikap Thailand yang legalkan itu, makanya kita menyesalkan. (Indonesia) masih lama," kata Pudjo.

 

3 dari 3 halaman

Perlu Kajian, Tapi Susah Diteliti

Anggota Komisi III DPR RI Johan Budi memandang legalisasi ganja untuk kesehatan ini memang pernah muncul dan dibahas.

"Dulu pernah ada wacana soal itu, tapi tentu harus dibahas banyak hal ya sebelum memang melegalkan ganja untuk kepentingan medis. Tidak bisa serta merta kemudian ada negara lain melegalkan dan kita ikut melegalkan ganja untuk kepentingan medis," kata Johan kepada Liputan6.com, Senin (15/11/2021).

Menurutnya, perlu kajian mendalam. Dan sampai hari ini di DPR belum ada isu soal itu, belum muncul.

"Mungkin kalo ada basisnya harus berdasarkan penelitian dan kajian yang mendalam bahwa ganja itu kalau untuk kepentingan medis memang bisa digunakan," tutur Johan.

Karenanya, dia kembali mengingatkan, perlu kajian sebelum akhirnya masuk dalam perdebatan.

"Apakah ganja perlu dilegalkan atau tidak dalam konteks medis. Jadi sampai saat ini belum ada diskusi di DPR," kata Johan.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Zullies Ikawati mengungkapkan bahwa penggunaan ganja di dunia memang masih sangat bervariatif.

"Tapi berbicara sebagai farmakolog, memang ganja ini di sisi lain bisa dikembangkan sebagai obat dan studi-studinya kalau di luar negeri sudah banyak. Bahkan ada jurnalnya khusus ya untuk cannabis," ujar Zullies pada Health Liputan6.com, Senin (15/11/2021).

Zullies menjelaskan bahwa tetrahydrocannabinol merupakan salah satu nama kandungan dalam ganja dan masih banyak jenis cannabinol lainnya dalam ganja. Kandungan tersebutlah yang memang memiliki manfaat bagi dunia medis.

"Dalam hal ini, dikembangkan sebagai obat. Jadi yang sudah ada itu namanya Epidiolex, itu adalah satu nama obat yang berasal dari komponen ganja. Ada lagi yang namanya Dronabinol, itu nama zat aktif yang diturunkan dari senyawa ganja," kata Zullies.

"Nah, untuk ganja ini yang sudah beredar di pasaran dalam hal ini adalah sintetiknya sudah ada di luar. Jadi itu memang istilahnya medical cannabis atau ganja medis," dia menambahkan.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa tidak disarankan untuk langsung mengonsumsi ganja langsung dari tanamannya. Artinya, harus ada proses yang tepat dan juga resep dokter terlebih dahulu. Mengingat dosisnya pun harus sesuai dengan anjuran yang berlaku.

"Kalau (ganja) dalam bentuk obat itu gak masalah, selama itu di describe sama dokter. Dengan pengaturan pakai tertentu, dengan pengawasan, gak masalah. Sama seperti obat lain, seperti morfin kan dipakai juga," ujar Zullies.

Menurut Zullies, selama ganja telah dikembangkan dan memang dibuat menjadi obat yang jelas aturan pakainya, maka sebenarnya itu bukanlah sebuah masalah. Namun penting untuk mengingat konsumsinya pun bukan langsung dari tanamannya, mengingat potensi penyalahgunaannya yang besar.

"Perlu diketahui juga akan ada potential adverse effect atau efek yang tidak diinginkan," kata Zullies.

Meskipun begitu, tetap ada potensi untuk kemudian disalahgunakan penggunaannya. Di Indonesia sendiri penelitian soal ganja masih sangat sulit karena berkaitan dengan hukum.

"Kalau di Indonesia kita terbatasi oleh aspek hukum. Misalnya saya sebagai peneliti ingin mempelajari soal ganja, nyari ganjanya saja sudah susah. Bagaimana mau diteliti? Jadi kita lebih sulit nih jika ingin meneliti soal ganja," kata Zullies.