Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Pasal 48 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) sebagaimana telah diubah dengan Pasal 121 UU No. 11/2020 (UU Cipta Kerja), Senin (15/11/2021).
Agenda sidang ketiga ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah, namun keduanya belum siap untuk memberikan keterangan. Sidang permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 46/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Heru Susetyo yang berprofesi sebagai peneliti.
"Bertepatan pada saat sekarang ini kegiatan pada Komisi III DPR sedang berlangsung dan saya sebagai sekretaris diharapkan hadir. Maka kami berharap bisa dijadwal ulang untuk pembacaan keterangan dari DPR terhadap sidang pada hari ini," terang Anggota Komisi III DPR Supriansa dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Advertisement
Sementara itu, kuasa presiden yang diwakili Elen Setiadi selaku Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga menyatakan hal yang sama.
"Sebagaimana surat yang telah disampaikan pada Mahkamah, Pemerintah meminta penundaan waktu pembacaan keterangan presiden," sebut Elen yang menghadiri persidangan secara virtual, sebagaimana dikutip dari laman mkri.id.
Sebagai informasi, para Pemohon menguji secara materiil kata 'terintegrasi' dalam Pasal 48 ayat (1) dan frasa 'antara lain' dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek.
Pemohon menganggap hak konstitusionalnya telah dirugikan karena frasa 'yang diintegrasikan' pada pasal a quo dianggap multitafsir. Artinya, frasa 'yang diintegrasikan' memiliki tafsir tidak jelas apakah hanya terintegrasi koordinasi penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional atau peleburan kelembagaan.
Pemohon menyatakan bahwa Pasal 42 UU No. 11/2019 merupakan turunan dari Pasal 13 ayat (2) UU No. 11/2019 secara jelas menyebutkan kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri dari: a. lembaga penelitian dan pengembangan lembaga pengkajian dan penerapan, perguruan tinggi, badan usaha dan lembaga penunjang.
Merujuk pada ketentuan tersebut yang dihubungkan dengan koordinasi, maka lembaga-lembaga yang dikoordinasikan adalah sebagaimana ditentukan Pasal 42 UU No. 11/2019.
Oleh karena itu, menurut Pemohon apabila dikaitkan dengan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana diubah dalam Pasal 121 UU Cipta Kerja terkait dengan BRIN maka kata 'terintegrasi' menimbulkan interpretasi yang beragam yakni apakah diartikan sebagai koordinasi sehingga eksistensi dan fungsi lembaga masih tetap ada sebagaimana Pasal 42 UU Sisnas Iptek ataukah kata 'terintegrasi' diartikan sebagai peleburan berbagai lembaga riset pemerintah tersebut menjadi satu lembaga yaitu Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Hanya Fungsi Koordinasi
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan frasa 'terintegrasi' dalam Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana diubah dalam Pasal 121 UU Cipta Kerja, frasa tersebut tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari pasal-pasal sebelumnya dari UU Sisnas Iptek, yaitu Pasal 13, Pasal 42, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 71, dan Pasal 79.
Dengan demikian, fungsi pemerintah pusat seharusnya hanya pada fungsi koordinasi. Sebab, dalam UU Sisnas Iptek secara eksplisit telah ditegaskan bahwa BRIN adalah badan pusat dari kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi.
Oleh karenanya, BRIN merupakan badan yang melakukan koordinasi terhadap berbagai lembaga yang menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi seperti BATAN, BPPT, LIPI, LAPAN.
Advertisement