Liputan6.com, Jakarta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) dibentuk untuk memperkuat ikatan kesatuan dan memajukan Provinsi Papua sebagai bagian sah dari NKRI.
Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Moh. Mahfud MD dalam sidang uji materiil Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 yang digelar Selasa (16/11/2021) secara daring. Permohonan ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II).
"Pemerintah dan rakyat Indonesia telah sepakat menjadikan tanah Papua yang saat ini masih terdiri dari dua provinsi dan akan dimekarkan menjadi beberapa provinsi lagi sebagai daerah-daerah otonom atau dengan otonomi khusus. Undang-undang ini memuat arah pembangunan Papua secara komprehensif dengan pendekatan kesejahteraan melalui afirmasi di berbagai bidang kehidupan, yakni politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Jadi tujuan utama dari undang-undang ini adalah terus membangun Papua dalam rangka membangun NKRI," jelas Mahfud di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Advertisement
Terkait dalil Pemohon yang menyebut bahwa revisi UU Otsus Papua tidak melibatkan Orang Asli Papua (OAP), Mahfud menyebut dalam menetapkan sebuah undang-undang hanya dibutuhkan persetujuan bersama antara Pemerintah dan DPR saja sesuai amanat UUD 1945. Hal ini merupakan bagian dari hak eksklusif Presiden dan DPR. Mahfud pun tidak memungkiri keterlibatan masyarakat berupa masukan dan pendapat tetap dibutuhkan dalam proses pembentukan sebuah undang-undang.
"Majelis Rakyat Papua atau MRP yang menjadi Pemohon pengujian dalam perkara ini tidak berhak untuk ikut menetapkan undang-undang ini secara final, tetapi tetap berhak untuk menyampaikan dan didengar pendapatnya dalam proses pembentukannya dan hal itu sudah dilakukan," urai Mahfud seperti dikutip dari laman mkri.id.
"Seperti nanti yang akan dibuktikan di persidangan ini, baik pusat berkunjung ke daerah-daerah, baik Kantor Kemenko atau Kemendagri menerima kunjungan MRP dan mengundang narasumber-narasumber, semua sudah didengar. Tetapi ketetapan akhir sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hanya DPR dan Presiden yang menetapkan," imbuh dia.
Selain itu, Mahfud menjelaskan bahwa pembentukan UU Otsus Papua menggunakan pendekatan dari bawah ke atas dan sebaliknya terkait implementasi kebijakan dan program-programnya. Hal ini, tambahnya, bertujuan agar terjadi akselerasi dan akurasi sesuai dengan yang diharapkan.
"Misalnya, dalam penggunaan otsus serta penentuan kebijakan dan prioritas program dilakukan secara bottom-up dan top-down. Terkait dengan ini pula dalam rencana pembentukan UU pemekaran daerah khusus papua nantinya maka insiatif pengusulnya ‘dapat’ berasal dari pusat dan ‘dapat’ berasal dari daerah sesuai dengan kebutuhan politik dan pemerintahan yang ekseleratif dan akurat atau tepat sasaran," tegas Mahfud.
Â
Merugikan Orang Asli Papua
Sementara itu, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik yang juga mewakili Pemerintah mengatakan bahwa DPRK dalam UU 2/2021 merupakan perubahan nomenklatur dari DPRP Kabupaten/Kota dalam UU 21/2001. Ketentuan tersebut dalam rangka untuk mengakomodasi keberadaan anggota DPRP di Kabupaten/Kota yang berasal dari OAP. Perubahan nomenklatur dilakukan agar minimnya keterlibatan OAP di DPRD Kabupaten/Kota selama ini dapat diakomodasi.
"Adanya ketentuan anggota DPRP dan DPRK diangkat dari orang asli Papua merupakan bentuk dukungan Pemerintah terhadap orang asli papua untuk memanfaatkan perangkat demokrasi yang tersedia dalam negara modern," ujar Akmal.
Akmal menegaskan Pemerintah juga berupaya untuk mendorong OAP agar turut berpartisipasi dalam praktik pemerintahan di Papua. Tak hanya itu, OAP juga diberikan kewenangan yang cukup luas untuk merumuskan kebijakan publik yang sesuai dengan kearifan lokal dan karakteristik masyarakat di Papua.
"Dengan demikian UU Nomor 2/2021 telah sesuai dengan UUD 1945 serta memperhatikan kondisi faktual di Papua dan untuk memaksimalkan dana otonomi khusus agar keberlanjutan pembangunan di Papua," tukas Akmal.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).
Pemohon menilai adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP).
Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A, dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua’. Kemudian, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.
Â
Advertisement