Liputan6.com, Jakarta - Hampir dua tahun Thomas (33) jadi nasabah sebuah bank digital. Tujuannya, untuk mempermudah akses perbankan, sekaligus belanja barang dari luar negeri.
Salah satu keunggulan bank digital yang Thomas manfaatkan adalah kartu kredit virtual. Dengan kartu tersebut, Thomas bisa belanja di berbagai ecommerce luar negeri, termasuk eBay. "Daripada bikin kartu kredit beneran, ada bunga segala macam, lebih baik bikin bank digital," ujarnya.
Advertisement
Baca Juga
Thomas mengaku sangat terbantu dengan bank digital. Ia bisa membuka berbagai akses perbankan dari smartphone. Jika ingin belanja barang dari luar negeri, ia juga tak perlu lagi meminjam kartu kredit temannya.
"Sudah beberapa kali pesan barang, dari eBay, dari Hongkong juga pernah. Ya, jadi lebih mudah saja karena bank digital yang saya gunakan terhubung ke Paypal," dia menambahkan.
Menurut Thomas, nasabah sangat dimanjakan dengan layanan bank digital. Nasabah tak perlu buang waktu dan tenaga, bahkan keluar banyak biaya untuk mengurusi sejumlah layanan perbankan. "Semua bisa dilakukan dari smartphone, tinggal pencet saja," ucap dia.
Lain lagi dengan Tasya (34). Ibu anak satu itu mengaku belum tertarik membuka rekening bank digital. Bagi dia, bank konvensional lebih memberikan rasa aman.
"Masih takut ya. Selain itu juga sudah punya mobile banking. Jadi mungkin belum perlu-perlu banget untuk sekarang ini punya bank digital," kata Tasya.
Apa Itu Bank Digital?
Dilansir dari The Balance, bank digital diartikan sebagai layanan perbankan secara daring. Melalui layanan ini, nasabah dapat melakukan transaksi secara online dan hanya menggunakan smartphone.
Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan bank digital sebagai Bank Berbadan Hukum Indonesia (BHI) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha yang utamanya melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat (KP), atau dapat menggunakan kantor fisik yang terbatas.
Cara kerja layanan bank digital dirancang senyaman mungkin agar menghemat waktu nasabah dan memungkinkan mereka melakukan kegiatan perbankan sesuai jadwal nasabah sendiri, tidak mengikuti atau berpatokan kepada jam buka kantor cabang.
Perbedaannya dengan Internet dan Mobile Banking
Hampir semua hal yang dapat dilakukan di bank konvensional, bisa dilakukan lewat bank digital. Bank digital mampu memproses semua keperluan perbankan secara online, mulai dari pembukaan rekening, deposito, sampai investasi.
Nasabah juga bisa memperoleh informasi, melakukan komunikasi, registrasi, pembukaan rekening, transaksi perbankan, dan penutupan rekening, termasuk memperoleh informasi lain dan transaksi di luar produk perbankan.
Sementara untuk internet dan mobile banking, aktivitas nasabah masih terbatas sekadar transfer dana, cek saldo, pembayaran tagihan, pembelian voucher pulsa dan sejenisnya. Untuk aktivitas lainnya, nasabah tetap harus melakukannya dengan mengurus di kantor cabang.
Kenapa Indonesia Butuh Bank Digital?
Selama pandemi COVID-19, terjadi perubahan perilaku masyarakat yang cenderung bersifat physical contactless, termasuk dalam melakukan transaksi keuangan. Ini membuka peluang dan kesempatan yang selebar-lebarnya bagi industri perbankan untuk melakukan transformasi digital.
Kemudahan melakukan transaksi keuangan dari mana saja, tanpa mengenal batas waktu, menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat yang harus direspons oleh perbankan.
Di samping itu, digitalisasi dalam proses bisnis memungkinkan bank menjadi semakin mudah dalam melakukan akuisisi nasabah baru.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan, pada dasarnya kehidupan masyarakat Indonesia secara bertahap mulai masuk ke digital. Mulai dari komunikasi, uang, sampai dengan belanja dilakukan secara digital.
"Dan pada waktunya semuanya akan digital, demikian juga dengan layanan bank," kata Piter kepada Liputan6.com.
Pria lulusan International University of Japan itu menjelaskan, bank sebagai sebuah lembaga yang memberikan pelayanan, harus bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Karena kalau tidak, maka akan tertinggal.
"Jadi sebenarnya bukan banknya yang harus digital, tapi karena kehidupan kita yang menuju digital, maka sebagai institusi pelayanan, bank harus mengikuti tren ke depan," ujarnya, lagi.
Soal kehidupan yang sudah serbadigital ini pula yang menjadi pertimbangan utama Bank Jago, salah satu bank digital di Indonesia. Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar, menyebut solusi finansial harus ikut relevan dengan kehidupan yang ada saat ini.
“Oleh karena itu, maka aspirasi Bank Jago adalah meningkatkan kesempatan tubuh berjuta insan melalui solusi finansial digital yang berfokus pada kehidupan,” ujar Kharim.
Kharim menekankan mengenai fokus pada kehidupan yang segala sudah harus mengikuti era digital. “Kami merasa dengan adanya digitalisasi saat ini memang kita harus relevan terhadap yang sehari-hari dialami oleh masyarakat kita," ujar Kharim.
Sehingga, kata Kharim, mereka membuat life-centric finance solution agar pengelolaan uang itu bisa lebih sederhana atau simple kemudian bisa dilakukan secara kolaboratif dan tentunya juga inovatif.
Piter Abdullah menjelaskan, bank-bank besar di Indonesia seperti BCA, Mandiri, BNI tidak bisa dalam sekejap mengubah diri menjadi digital. Semua harus dilakukan secara bertahap. Ini berbeda dengan bank-bank kecil yang lebih mudah melakukan perubahan atau bank yang dari awal memang dibentuk dan didesain sebagai bank digital.
Siapa yang Disasar?
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan target bank digital dari sisi simpanan adalah generasi milenial dan Z yang jumlahnya lebih dari 90 juta orang. Menurut dia, adaptasi digital yang cepat serta rasa ingin tahu generasi muda akan membuat produk bank digital mudah diterima.
"Misalnya kasus di Korea Selatan dimana Kakao Bank mampu menambah lima juta nasabah, hanya dalam waktu lima hari merupakan kasus keberhasilan bank digital menyasar nasabah usia muda," kata Bhima kepada Liputan6.com.
Pria lulusan University of Bradford itu menjelaskan, dari sisi pinjaman, bank digital akan menyasar merchant yang sudah masuk dalam ekosistem digital. Kerjasama dengan satu platform e-commerce mampu menjangkau 10 juta merchant di seluruh Indonesia, dengan biaya yang murah.
"Merchant pasti membutuhkan pinjaman untuk pembelian bahan baku atau barang yang dijual kembali, sementara sebagian masuk kategori unbanked. Di sini peluang bank digital, agunannya hanya membutuhkan rekam jejak transaksi e-commerce dan kepuasan pelanggan," ucap dia.
Berdasarkan data Bain and Temasek, hanya 23% penduduk Indonesia berusia di atas 18 tahun yang memiliki rekening di bank. Sebanyak 26% persen, sudah memiliki rekening, namun memiliki keterbatasan akses terhadap layanan perbankan.
Adapun penduduk Indonesia berusia di atas 18 tahun yang belum memiliki rekening di bank, jumlahnya cukup besar yakni mencapai 51% atau sekitar 92 juta orang.
Kehadiran bank digital di Indonesia diharapkan bisa menjadi solusi masalah ini, sekaligus memberikan pemerataan kesempatan bagi masyarakat untuk mengakses produk dan layanan jasa perbankan.
Selain itu, bagi Indonesia yang merupakan suatu negara kepulauan, akan menjadi sangat mahal apabila di setiap pulau harus didirikan kantor bank ataupun layanan ATM. Kehadiran bank digital dinilai sangat sesuai dengan kondisi geografis tanah air.
Advertisement
Persaingan Ketat, Ekosistem Bank Digital Harus Kuat
Persaingan untuk memperebutkan pasar bank digital di Tanah Air bakal ketat dalam beberapa tahun ke depan. Saat ini tercatat sudah ada beberapa bank digital yang beroperasi seperti Bank Jago, Jenius dari Bank BTPN, Wokee dari Bank Bukopin, Digibank dari Bank DBS, dan TMRW dari Bank UOB.
Strategi dalam bersaing juga mengalami perubahan. Dulu, bank berlomba-lomba untuk membuka kantor cabang dan mesin ATM. Kini adalah soal membangun ekosistem yang kuat.
"Untuk mengembangkan layanan nasabah, bank digital menggunakan jaringan ekosistem digital. Jadi, bank yang akan memenangkan persaingan di era bank digital adalah bank yang memiliki sistem digital paling luas," ucap Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah.
Piter memberi contoh Bank Jago. Bank yang dulu dikenal dengan nama Bank Artos Indonesia tersebut kini memiliki valuasi sangat tinggi, mencapai di atas Rp200 triliun.
"Valuasinya besar karena dia terhubung dengan ekosistem digital yang besar juga. Ada Tokopedia, ada Gojek. Jadi koneksinya besar sekali Bank Jago."
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan, fitur layanan yang menarik menjadi kewajiban untuk memenangkan persaingan bank digital. Semakin lengkap fiturnya, maka akan semakin banyak nasabah yang tertarik membuka rekening.
"Kemudian bank digital yang terintegrasi dengan platform digital lain juga menambah daya tarik. Tak lupa kecepatan dan kualitas respons customer service tidak ketinggalan sebagai poin penting. Dengan teknologi customer service yang fully digital, tapi tepat mencari solusi nasabah, itu jadi poin krusial," Bhima menerangkan.
Finder.com memproyeksikan orang dewasa Indonesia yang memiliki rekening bank digital bakal semakin meningkat selama lima tahun ke depan. Bahkan diprediksi mencapai 39%.
Untuk tahun 2021, sebanyak 25% orang dewasa Indonesia memiliki rekening bank digital. Angka ini setara dengan 47.722.913 orang.
Sementara pada tahun 2022, pengguna bank digital Indonesia diperkirakan akan mencapai 31% atau 59.969.877 orang. Kenaikan pengguna bank digital diproyeksikan akan terus meningkat pada 2026 menjadi 39% atau 74.785.062 orang.
Meski persentasenya meningkat, namun peringkat Indonesia dalam survei adaptasi bank digital atau "Digital Only Banking Adoption 2021" diprediksi akan menurun dari posisi kedua pada 2021 menjadi ketiga dunia pada 2026. Negara yang diprediksi akan berhasil menyalip Indonesia adalah Vietnam.
Vietnam diproyeksikan memiliki pertumbuhan pesat pengguna bank digital, yaitu dari posisi empat dunia dengan persentase 23,34% pada 2021 menjadi kedua dunia dengan persentase 41,64% pada 2026. Sementara Brasil bertahan di posisi pertama dengan kenaikan 18,31 poin dari 32,08% pada 2021 menjadi 50,39% pada 2026.
Survei Finder.com melibatkan 41.654 responden di 30 negara dunia. Tujuannya untuk membandingkan tingkat penggunaan perbankan digital dan memperkirakan tingkat penggunaan pada 2026.
Bakal Dongkrak UMKM
Kehadiran bank digital yang semakin marak saat pandemi bisa menambah kapasitas pembiayaan terutama bagi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Tanah Air.
"Kita ada 64 juta UMKM di Indonesia, dan sebagian dari mereka belum mendapatkan pinjaman. Clue-nya adalah hadirnya bank digital dari sisi pertumbuhan kredit bisa memicu pertumbuhan ke segmen UMKM," ujar Bhima Yudhistira.
Bhima menyampaikan, apabila ekonomi Indonesia ingin pulih dan kembali lagi ke level lima persen, maka pertumbuhan kreditnya harus mencapai tiga kali lipatnya atau 15 persen. Adanya bank digital dapat membantu mempercepat dan memperluas akses kredit atau pembiayaan bagi pelaku usaha.
"Ini jadi tantangan dari bank digital, bisa atau tidak bantu ekosistem perbankan secara umum. Kolaborasi dengan beberapa stakeholder termasuk platform untuk meningkatkan pertumbuhan kredit sampai comeback ke level 15 persen," kata Bhima.
Menurut Bhima, bank digital juga harus konsisten memberikan pembiayaan ke sektor-sektor produktif yang sebelumnya tidak dijangkau oleh perbankan sehingga proses pemulihan ekonomi diharapkan dapat lebih cepat dan menyeluruh.
"Saya optimistis bank digital punya potensi atau peluang untuk menyalurkan kredit ke segmen yang sebelumnya dianggap remeh atau segmen yang sebelumnya masih ragu untuk meminjam ke perbankan," ujar Bhima.
Bantu Literasi Keuangan Masyarakat
Bhima menuturkan, bank digital dapat membantu literasi keuangan digital yang lebih baik di mana pengetahuan masyarakat terhadap produk perbankan dan investasi meningkat. Nasabah juga dapat melakukan perencanaan masa depan dimana pembagian rekening di bank digital dapat dialokasikan secara spesifik untuk keperluan tabungan pendidikan, uang muka rumah, dan dana darurat.
Selain itu nasabah pun dapat melakukan transaksi lintas platform sesuai dengan kebutuhan tanpa perlu mengunduh terlalu banyak aplikasi. Bagi pelaku UMKM sendiri, lanjut Bhima, adanya bank digital dapat membantu mereka melakukan pengendalian keuangan.
"Kalau UMKM kan kebutuhannya beda-beda, ada untuk bahan baku, cicilan atau pinjaman, bayar utang, jalan-jalan dan lainnya. Dengan adanya bank digital, mereka bisa membagi rekening tanpa capek-capek. Ini salah satu terobosan bank digital. Tradisional bank enggak bisa kayak gitu," ucap Bhima.
Kerja Keras Bank Digital
Namun begitu, untuk sukses jelas bank-bank digital ini perlu kerja keras. Sebab, tidak semua bank digital menuai cerita sukses instan seperti Kakao Bank di Korsel yang mampu menambah lima juta nasabah, hanya dalam waktu lima hari. Bahkan, beberapa bank digital di negara maju juga jalannya tidak selalu mulus, terutama berkaitan dengan pertumbuhannya.
Di Australia, misalnya, bank digital bernama Xinja hanya mampu bertahan tiga tahun. Mereka harus mengembalikan lisensi perbankan pada 2021 lantaran gagal mendapatkan modal tambahan yang dibutuhkan.
Xinja disebut-sebut tidak mampu bersaing dengan bank konvensional terutama terkait program pengajuan pinjaman dan program-progam untuk UMKM. Kondisi ini membuat mereka kesulitan menghasilkan revenue. Sementar di sisi lain, ada biaya-biaya yang harus mereka keluarkan.
Di Jerman, bank digital N26 juga disebut-sebut kurang berhasil. Mereka memang mampu membuka cabang di enam negara Eropa, Amerika Serikat, dan Brasil. Tapi, mereka dianggap gagal di Inggris lantaran lisensi bank mereka tidak dapat digunakan setelah adanya Brexit.
Di sisi lain, bank digital Inggris, Monzo, juga gagal menembus pasar AS. Produk mereka tidak tumbuh di Negeri Paman Sam. Selain masalah pandemi Covid-19, hal yang juga dituding jadi kegagalan Monzo di AS adalah lantaran produk-produk mereka tidak disukai di AS. Sehingga kini Monzo hanya fokus merawat sekitar 5 juta nasabahnya.
Advertisement
Payung Hukum
Terkait payung hukum bank digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri sudah menerbitkan dua Peraturan OJK (POJK) soal bank umum. Kedua aturan baru ini diluncurkan sebagai landasan dari inovasi dan transformasi bank umum, yakni bank digital.
Kedua POJK tersebut adalah POJK No 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum dan POJK No 13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum. Aturan-aturan tersebut menjadi payung hukum bagi bank digital.
Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa bank digital dapat beroperasi melalui dua jenis model. Pertama, mendirikan bank baru sebagai bank digital. Kedua, transformasi dari bank umum menjadi bank digital.
Untuk pendirian bank baru, OJK mewajibkan investor pengendali menyediakan modal inti minimum senilai Rp10 triliun. Selain modal, ada beberapa syarat lain yang mesti dipenuhi. Sementara itu, untuk bank umum yang ditransformasi menjadi bank digital, pemilik bank harus memenuhi ketentuan permodalan yang berlaku.
Bank yang ingin dikonversi menjadi bank digital harus memenuhi sejumlah syarat: Pertama, memiliki model bisnis dengan penggunaan teknologi yang inovatif dan aman dalam melayani kebutuhan nasabah. Kedua, memiliki kemampuan untuk mengelola model bisnis perbankan digital yang prudent dan berkesinambungan.
Ketiga, memiliki manajemen risiko secara memadai. Keempat, memenuhi aspek tata kelola termasuk pemenuhan direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan.
Kelima, menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah. Keenam, memberikan upaya yang kontributif terhadap perkembangan ekosistem keuangan digital dan/atau inklusi keuangan.
Enam persyaratan ini juga berlaku bagi bank digital baru, selain menyediakan modal inti senilai Rp10 triliun. Setelah memenuhi sejumlah persyaratan, bank yang menyandang status digital memperoleh sejumlah keistimewaan.
Bank digital boleh beroperasi hanya dengan satu kantor pusat, atau menjalankan bisnis dengan kantor fisik dalam jumlah yang terbatas. Regulasi ini memberi ruang bagi bank digital untuk mengurangi jaringan kantor atau layanan fisiknya. Hal itu termuat dalam Pasal 27 ayat 3.
Fleksibilitas ini memungkinkan bank beroperasi secara lebih efisien dengan memaksimalkan aset digital. Adapun, tata cara dan proses konsolidasi jaringan kantor cabang juga diatur secara terperinci. Dengan begitu, pengurangan jaringan kantor cabang dilakukan secara hati hati dengan tetap menjaga kualitas pelayanan kepada nasabah.
“Pada dasarnya POJK itu saya tekankan tidak memberikan beban baru pada perbankan kita, tetapi justru akan memberikan landasan bagaimana perbankan kita di tengah pandemi yang kita belum tahu kapan selesai, sehingga mereka cepat mengakselerasi perbankan digitalnya,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Anggota Dewan Komisioner OJK, Heru Kristiyana.
“Yang terpenting dalam POJK ini kita akan sinergikan antara bank induk dan anak, antar bank induk dengan syariahnya, sehingga mereka akan menjadi kuat dan akselerasi mengenai konsolidasi akan kita atur di sana. Bank-bank yang menjadi bank digital akan mentransformasikan layanannya dengan jelas,” ujarnya.
Standar Keamanan Transaksi
Pakar Keamanan Siber Vaksincom, Alfons Tanujaya, mengatakan standar keamanan terbaik dalam transaksi digital saat ini adalah Two-Factor Authentication (TFA). Standar keamanan ini, kata Alfons, wajib diterapkan.
"Jadi kalau ibarat Covid-19, Two-Factor Authentication ini seperti tes PCR-nya. Dia gold standard," ucap Alfons kepada Liputan6.com.
Dosen Universitas Prasetiya Mulya tersebut mengatakan, jika hanya mengandalkan username dan password saja, maka data mudah sekali dicuri. Salah satunya caranya dengan memasukkan virus ke komputer.
"Kalau ada Two-Factor Authentication, sekali pun password berhasil dicuri, itu tetap tidak akan bisa melakukan transaksi. Karena sistemnya one time password atau password sekali pakai," ujarnya.
Alfons mengaku khawatir jika ada bank digital yang tidak menerapkan Two-Factor Authentication. Menurut dia, hal ini akan sangat rawan.
Keamanan dan kenyamanan pengguna, kata Alfons, memang berbanding terbalik. "Two-Factor Authentication itu memang agak repot, ada sms, kirim token dan sebagainya. Orang awam bisa kesulitan. Tapi takutnya demi alasan kenyamanan nasabah, ini dilewatkan oleh pihak bank," ucapnya.
Transformasi Pekerjaan
Di sisi lain, semakin berkembangnya bank digital juga dipastikan akan mengubah kebutuhan tenaga kerja di sektor perbankan. Pekerjaan-pekerjaan di front desk, seperti teller dan analis mungkin semakin sedikit dibutuhkan. Transformasi pekerjaan pun mau tak mau harus dilakukan.
PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) misalnya, memangkas 5.500 karyawannya sejak 2017 sebagai upaya agar bisa survive dan berkembang seiring perubahan zaman di era digital. Bank BTPN adalah pemilik produk bank digital Jenius. Ke- 5.500 karyawan itu diarahkan ke karier yang lain.
BTPN memang sudah lama melakukan sosialisasi ke semua karyawannya, menjelaskan bahwa arah yang dilakukan adalah going to bank digital atau melakukan transformasi digital. Setelah sosialisasi dilakukan, manajemen bank menyampaikan kepada karyawan bahwa mereka harus berubah, baik dari segi cara kerja maupun pola pikir dan sebagainya.
Pihak BTPN juga sempat melakukan program khusus yang disebut “program gemilang” untuk melakukan transformasi, di mana dalam program ini BTPN memberikan pilihan kepada karyawan yang masih ingin bekerja di BTPN diberikan kesempatan dan pelatihan.
“Bagi yang tidak merasa bahwa ini bukan hal yang mereka bisa kerjakan, kita berikan pilihan kepada mereka, ada yang mau pensiun, ada juga yang ingin mencoba karir yang berbeda, dan kita berikan dukungan sepenuhnya. Jadi waktu itu ada program untuk mengundurkan diri sukarela di kami,” ujiar Direktur Utama BTPN Ongki Wanadjati Dana dalam sebuah webinar, Mei lalu.
Advertisement