Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Indonesia mengenal peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Makassar, Sulawesi Selatan, yang dilakukan oleh Depot Speciale Troepen (DPT) dengan sebutan Pembantaian Westerling. Nama dari si pemimpin tentara pasukan khusus Belanda, Raymond Pierre Paul Westerling.
Peristiwa itu terjadi pada Desember 1946 hingga Februari 1947, selama operasi militer penumpasan pemberontakan atau Counter Insurgency. Ini menjadi salah satu ujian Kemerdekaan Indonesia, Belanda masih bermaksud menguasai usai perginya Jepang.
Upaya Belanda untuk merebut kembali Indonesia pada 1940-an saat itu disebut sebagai 'tindakan pengawasan' terhadap 'teroris' dan 'ekstremis' nasionalis. Menurut sejarawan Chris Lorenz, "pemerintah Belanda pada awalnya mencoba untuk mewakili perang kolonial sebagai kelanjutan Perang Dunia Kedua, yaitu, perjuangan demokrasi Belanda melawan Jepang 'fasis'."
Advertisement
Namun pada kenyataannya, kekaisaran Belanda yang mulai melemah saat itu, mengobarkan perang sebagai upaya mendapatkan kembali Indonesia yang kaya sumber daya alam.
Di Sulawesi, tepatnya Sulawesi Selatan, pasukan Belanda menggunakan 'metode Westerling' yang brutal. Tindakannya termasuk menyerbu desa-desa, memisahkan laki-laki dari perempuan dan anak-anak. Orang-orang yang diduga memiliki sikap anti-Belanda langsung dieksekusi.
Berdasarkan Majalah Tempo: Westerling atau Sebuah Teror edisi 12 Desember 1987 yang dikutip Liputan6.com, Selasa (7/12/2021), Westerling tiba di Makassar pada 5 Desember 1946. Belum seminggu di sana, dia langsung membuat teror.Â
Kampung dikepung pasukan Belanda dan dihujani mortir, rumah-rumah dibakar habis, penduduk dikumpulkan dan dibantai. Para anggota pergerakan kemerdekaan disiksa sebelum dihabisi dengan tembakan pistol.Â
Bahkan, rakyat yang diteror selama tiga bulan lebih pun akhirnya mengelu-elukan Westerling saat hendak meninggalkan Makassar ke Jawa, imbas rasa takut akan kekejiannya. Konon, seorang simpatisan memberikan kenang-kenangan sebilah badik.
Berdasarkan Koran Tempo: Melihat Orang Tua Jadi Korban edisi 24 September 2011 yang dikutip Liputan6.com, salah seorang narasumber atas nama Andi Mondji memaparkan pengalaman masa lalunya. Kala itu, dia masih seorang bocah balita yang menyaksikan orang-orang terdekatnya menjadi korban kekejaman pasukan Westerling.
"Saat itu setiap warga yang mati dikumpulkan dan diangkut oleh warga lain 1 lubang yang telah disiapkan," kata Mondji.
Di antara para korban, ada ayah, nenek, dan pamannya yang tumbang di depan matanya, tewas ditembus peluru Belanda. Kekejaman pasukan DPT yang memburu para tentara Republik tidak berhenti begitu saja. Warga yang mengangkat korban pun ditembaki dan langsung dimasukkan ke dalam lubang.
Â
Wilayah Suppa JAdi Incaran Westerling
Dalam cerita Mondji, aksi pasukan Westerling diawali dengan pembakaran rumah warga yang berada di pesisir di daerah Sabbang Paru. Kemudian penghuninya digiring ke tempat eksekusi. Masyarakat ini dituding membantu para gerilyawan dengan merahasiakan keberadaan mereka.
Wilayah di sekitar Suppa ini menjadi incaran Westerling. Sebab, di tempat inilah pasukan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi di bawah pimpinan Andi Oddang, Andi Murtala, dan Muhammad Said mendarat dari Jawa pada Oktober 1946.
Pasukan Andi Murtala saat hendak menemui Ambo Siraja di gunung, dihadang oleh tentara Belanda di Garessi dan terjadilah peperangan yang mengakibatkan Andi Murtala beserta seluruh pasukannya tewas. Dalam pertempuran itu, turut tewas seorang perwira Belanda.
Itu sebabnya Westerling semakin dendam kepada masyarakat Suppa. Mereka dipaksa menunjukkan tempat persembunyian para pejuang. Namun, jiwa kesatria masyarakat membuat mereka tetap bungkam meski nyawa taruhannya.
Operasi Westerling yang berlangsung selama 5 Desember 1946 hingga 21 Februari 1947, dimulai dari desa Batua hingga beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar. Westerling sendiri langsung memimpin operasi tersebut.Â
Kemudian, tahap kedua menyasar ke Polobangkeng yang terletak di selatan Makassar. Selanjutnya, tahap ketiga melancarkan teror ke Gowa.
Jumlah korban hasil kekejaman Westerling di Sulawesi Selatan pun hingga saat ini tidak sepenuhnya jelas. Delegasi Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa sedikitnya ada 40 ribu orang yang tewas dibantai.Â
Sementara, penyelidikan Belanda pada 1950-an menemukan lebih dari 3 ribu orang telah dibunuh selama tiga bulan. Adapun Westerling sendiri menyatakan korban jiwa hanya 600 orang.
Advertisement