Liputan6.com, Jakarta - Kasus pemerkosaan yang terjadi pada 14 santriwati di Pondok Pesantren Manarul Huda Antapani, Bandung, Jawa Barat, tengah jadi sorotan. Pasalnya, perbuatan bejat itu dilakukan oleh guru sekaligus pemilik pesantren.
Pelaku Herry Wirawan kini telah menjadi terdakwa dan tengah diasili di Pengadilan Negeri Kota Bandung. Belakangan terungkap, pemerkosaan yang dilakukan kepada belasan santriwati yang masih di bawah umur itu telah berlangsung dalam rentang waktu 2016-2021.
Bahkan dari hasil perbuatannya, dilaporkan ada sembilan bayi yang telah lahir.Â
Advertisement
Baca Juga
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan agama, membuat Kementerian Agama tak tinggal diam. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, pihaknya akan melakukan langkah investigasi di seluruh lembaga pendidikan madrasah dan pesantren usai kasus pemerkosaan para santri terjadi di ponpes Bandung tersebut.
"Kalau ada hal serupa kita akan lakukan mitigasi segera. Jadi jangan tunggu kejadian dulu baru bergerak. Semua lembaga pendidikan akan kami lakukan investigasi," kata Yaqut, dalam siaran pers Kemenag, Jumat 10 Desember 2021.Â
Selain itu, desakan kepada Kemenag agar membuat aturan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan agama juga keras digaungkan. Mengingat angka kekerasan seksual di satuan pendidikan agama dinilai cukup tinggi.Â
Berikut sederet langkah yang akan dilakukan Kementerian Agama dan sejumlah pihak terkait kasus pemerkosaan yang terjadi pada 14 santriwati di Ponpes Manarul Huda:Â
1. Evaluasi dan Monitoring
Tak ingin kasus pemerkosaan di lingkungan pendidikan agama terulang, Kementerian Agama tengah menyusun aturan soal transparansi dan pengawasan di pesantren dan madrasah.Â
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, M Ali Ramdhani mengatakan adanya aturan ini kelak diharapkan pemerkosaan terhadap santriwati tidak terjadi lagi.
"Kalau urusan hukum tentu saja kita menghormati hukum. Tetap pada dimensi lain kita sedang menyusun skema bagaimana di tempat lain ada semacam pengawas," kata Ali saat dihubungi Merdeka, Jakarta, Sabtu (11/12/2021).
Dia mencontohkan nantinya, pesantren dan madrasah akan diawasi sejumlah pihak untuk melakukan evaluasi dan monitoring. Diharapkan, pembelajaran bisa terlaksana dengan baik tanpa adanya kasus pencabulan dan pemerkosaan.
"Kita akan mencoba dan merancang aturan bahwa ada semacam personal-personal yang ditugaskan untuk bersama-sama melakukan evaluasi dan monitor terhadap pembelajaran di pondok pesantren,"ujar Ali.
Advertisement
2. Tak Ada Ruang Tertutup dan Ekslusif di Pesantren
Kemenag juga akan membuat aturan adanya transparansi dalam tubuh pesantren, sehingga tidak terjadi sifat ekslusif. Misalnya saja, orangtua bisa hadir dan melihat proses pembelajaran hingga mengunjungi para santri. Juga tak boleh lagi ada ruang tertutup.
"Tidak ada ruang-ruang tertutup, tidak ada ruang-ruang gelap masyarakat, orangtua itu bisa hadir untuk melihat yang pertama proses pembelajaran, yang kedua proses sambang tidak boleh dilarang itu akan kita tuangkan dengan kebijakan," tutur Ali.Â
Sehingga, lanjut dia, orangtua bisa ikut memantau tumbuh kembang anak dalam proses pendidikan di pesantren. Dia berharap dengan adanya aturan nanti tidak ada eksklusivitas di pesantren.
"Kita akan buat aturan bahwa dari orangtua hak dari siapapun untuk melihat dan meninjau. Karena kalau belajar dari kasus Bandung sebenarnya santri-santri tidak belajar, mereka diekploistasi sedemikian rupa untuk buat proposol, dan mereka tertutup dari masyarakat. Orang enggak boleh liat ke kamar," pungkas Dirjen Pendidikan Islam ini di kutip dari merdeka.com.
3. Minta Santri Berani Melapor Jika Alami Kekerasan Seksual
Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa'adi, mendorong masyarakat khususnya santri hingga mahasiswa berani melapor jika menjadi korban kekerasan seksual.
Dia berharap tak ada lagi cerita kekerasan seksual di dunia pendidikan."Berharap kasus serupa tidak terjadi lagi. Mendorong para korban untuk berani melaporkan setiap tindakan mencurigakan atau tidak benar dari para oknum, siapapun itu," ujar Zainut dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta. Demikian dikutip dari Antara, Jumat, 10 Desember 2021.Â
Zainut turut memberikan perhatian pada kasus pemerkosaan yang dilakukan guru pesantren, Herry Wirawan (36), terhadap belasan santri di Kota Bandung. Dia tak mau kejadian itu terulang lagi.
Advertisement
4. Izin Pesantren Herry Wirawan Dicabut
Zainut mengatakan Kemenag sudah mencabut izin operasional pesantren Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru yang dipimpin Herry Wirawan. Kemenag juga memberikan afirmasi terhadap peserta didik dan korban.
Mereka dipulangkan dari pesantren untuk dapat meneruskan pendidikannya. Baik di madrasah, sekolah umum, atau Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah sesuai pilihannya.
"Upaya ini difasilitasi oleh Kementerian Agama Kabupaten/Kota sesuai domisili mereka," ujarnya.
Menurutnya, Kemenag akan bersinergi dengan KPAI untuk melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Pihaknya juga mendorong optimalisasi peran Dewan Masyayikh dalam mengawal penjaminan mutu pesantren, termasuk aspek perlindungan santri.
"Saya mendukung tindakan tegas kepolisian terhadap pelakunya dan diberikan sangsi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata dia.
Ia mengatakan masyarakat dapat berpartisipasi dalam mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral di dalam masyarakat dan lingkungan pesantren. Partisipasi itu diperkuat melalui pasal 51 UU Pesantren.
"Kemenag mengajak organisasi pesantren, ormas Islam, dan masyarakat untuk meningkatkan pembinaan dalam rangka pencegahan terjadinya kembali kekerasan seksual di lingkungan pendidikan," ujar Wamenag.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menyebut guru sekaligus pemilik pondok pesantren Herry Wirawan (36) terancam hukuman 20 tahun penjara akibat perbuatannya yang memerkosa 12 santriwati hingga hamil dan melahirkan.
Plt Asisten Pidana Umum Kejati Jawa Barat Riyono mengatakan HW kini berstatus sebagai terdakwa karena sudah menjalani persidangan. Herry Wirawan terjerat dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak.
"Ancamannya 15 tahun. Tapi perlu digarisbawahi di situ ada pemberatan karena sebagai tenaga pendidik, jadi ancamannya menjadi 20 tahun," kata Riyono.
Dia menjelaskan aksi tak terpuji itu diduga sudah HW lakukan sejak tahun 2016. Dalam aksinya tersebut, ada 12 orang santriwati yang menjadi korban yang pada saat itu masih di bawah umur.Â
Â
(Elza Hayarana Sahira)