Liputan6.com, Jakarta Kebutuhan turunan (derivat) plasma nasional masih bergantung impor. Bahan baku impor yang diperoleh dari pengolahan darah ini disebut bisa diproduksi Palang Merah Indonesia (PMI), swasta, maupun BUMN. Hal tersebut terungkap dalam Seminar Nasional Fraksionasi Plasma dan Rapat Kerja Teknis Unit Transfusi Darah (UTD) Pusat PMI di Jakarta, Selasa, 14 Desember 2021.Â
Fraksionasi plasma adalah pemilahan derivat plasma menjadi produk plasma dengan menerapkan teknologi dalam pengolahan darah.
Ketua PMI Muhammad Jusuf Kalla mengatakan, sejumlah UTD PMI telah bersertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Namun, lantaran regulasi, fraksionasi plasma untuk memperoleh bahan baku dari derivat plasma belum dilakukan PMI secara regular.
Advertisement
Baca Juga
"Semuanya bisa diambil dari darah itu yang selama ini kita terbuang (plasma), yang kita butuh hanya satu surat (izin). PMI dan swasta, karena banyak masalah yang bisa kita atasi dengan frakasionasi ini," kata JK saat pembukaan rangkaian acara yang digelar hingga Kamis (16/12/2021) tersebut.
JK menambahkan, segala pendukung fraksionasi plasma dalam negeri telah tersedia. Sejumlah pendukung tersebut di antaranya teknologi pengolahan darah, investor, dan bahan baku. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI ini berharap, izin pengolahan ini dapat dikeluarkan segera.
"Bahan bakunya ada, teknologinya ada, ada yang mau investasi, ada dananya, tapi tidak bisa jalan. Ini kontradiksi, dibutuhkan tapi tidak disetujui. Mudah-mudahan, tahun depan tidak perlu rapat lagi," lengkapnya.
JK juga menegaskan, PMI tidak mengkomersialisasi darah. Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh darah, tegasnya, merupakan Biaya Pengganti Pengolahan Darah (BPPD).
Seperti diketahui, untuk memperoleh darah dari pendonor sukarela, dibutuhkan tenaga kesehatan, teknologi pengolahan dan pemeriksaan darah.
"Ongkos pengelolaan darrah bukan harga. Orang sering bilang harga, tidak ada harga darah. Ongkos darah di Indonesia termasuk paling murah di dunia. Kalau di Amerika kira-kira 250 dollar atau empat juta, kita Rp 360 ribu," imbuhnya.
Airlangga Hartarto: Yang Kurang Hanya Izin
Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Arilangga Hartarto mengatakan, pihaknya akan membantu penyelenggaraan fraksionasi plasma teruwujud di dalam negeri. Menurutnya, terdapat peluang yang besar dalam pemenuhan kebutuhan derivat plasma nasional bahkan global.
"Fraksionasi plasma memiliki pasar secara global, 25 juta liter, 60 persen itu dari Amerika. Bahan baku dari dalam negeri, pengguna dari dalam negeri, yang kurang cuma izin. Invenstornya pun sudah ada. Nanti kita bahas di KCP-PEN di tahun depan. Salah satu dari target KCP-PEN adalah peningkatan produksi dalam negeri termasuk vaksin dan terapeutik, termasuk urusan darah sehingga devisa kita bisa diselamatkan," tambahnya.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menjelaskan, Kebutuhan global produk plasma mencapai 21 dolar triliun, sementara dalam negeri di tahun 2021 mencapai Rp 1,15. Namun, meski sudah melakukan impor derivat plasma, kebutuhan itu belum tercukupi. Untuk itu, Kementerian Kesehatan, kata Dante, akan melakukan akselerasi pada tahun 2022 untuk ijin fraksionasi plasmi dalam negeri.
"Masalahnya di sini, aturan permenkesnya sudah ada nomor 15/2019, bahwa penyelenggara fraskionasi plasma antara lain mengatur bahan baku plasma yang berasal dari unit transfusi darah atau pusat atau pusat plasmapheresis dukungan PMI. Sayangnya waktu itu ditetapkan bahwa penugasan penetapan Bio Farma sebagai fasilitas fraksionasi plasma. Nanti kita bisa atur bagaimana ini bisa terkoordinasi dengan baik sehingga pmi bisa mengerjakan, swasta bisa mengerjakan, bio farma bisa mengerjakan," jelasnya.
Â
Advertisement