Sukses

Di Sidang Duplik, Pengacara: Kejagung Kehabisan Akal Tuntut Mati Heru Hidayat

Tim Penasihat Hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah kehabisan akal dengan menuntut hukuman mati terhadap kliennya.

Liputan6.com, Jakarta - Tim Penasihat Hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah kehabisan akal dengan menuntut hukuman mati terhadap kliennya.

Pernyataan itu disampaikan Kresna dalam sidang dengan agenda duplik, atau jawaban atas replik tim jaksa Kejagung dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang digelar di Pengadilan Tipikor, Senin (20/12/2021).

Menurut, Kresna, replik yang dibacakan tim jaksa Kejagung pada Kamis, 16 Desember 2021 kemarin menggunakan dalil putusan pengadilan yang sudah dibatalkan dalam putusan kasasi.

"Kami sangat menyayangkan tindakan JPU yang menggunakan dalil putusan Pengadilan Negeri yang sudah dibatalkan oleh putusan kasasi hanya untuk memaksakan tuntutan di luar dakwaan yang jelas menyimpang. Ini menunjukkan JPU sudah kehabisan akal," ujar Kresna di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/12/2021).

Menurut Kresna, tak ada hal baru dalam replik Kejagung selain mengulang surat dakwaan terhadap Heru Hidayat. Menurut Kresna, satu-satunya hal baru dalam replik tersebut yakni, JPU mengutip putusan pengadilan terhadap perkara Susi Tur Andayani di mana hakim memutus di luar dakwaan.

Menurut Krena, Kejagung seolah mengabaikan putusan pengadilan terhadap Susi yang sudah dibatalkan dalam putusan kasasi karena hakim memutuskan di luar dakwaan. Putusan Susi yang dimaksud yakni perkara suap terhadap Hakim MA Akil Mochtar.

"Kami sudah membantah dalil JPU tersebut sebab putusan pengadilan perkara tersebut sudah dibatalkan oleh putusan kasasi yang berkekuatan hukum tetap dengan alasan pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan musyawarah Majelis Hakim didasarkan atas surat dakwaan jaksa," kata Kresna.

Menurut Kresna, jaksa tidak boleh menyesatkan masyarakat dengan memaksakan sesuatu yang berada di luar koridor hukum. Tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat menurutnya sudah melanggar aturan karena menuntut di luar dakwaan.

"JPU tidak boleh menyesatkan masyarakat dan menghalalkan segala cara dengan kekuasaannya untuk menuntut terdakwa di luar surat dakwaan," kata Kresna.

2 dari 2 halaman

Dituntut Pidana Mati

Diketahui, dalam surat dakwaan terhadap Heru Hidayat dalam kasus Asabri, jaksa Kejagung tidak mencantumkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor merupakan pasal yang mengatur pidana mati bagi terdakwa jika melakukan korupsi dalam keadaan tertentu seperti bencana nasional, krisis moneter, atau pengulangan tindak pidana. Namun, dalam tuntutan, jaksa Kejagung justru menuntut Heru Hidayat dengan pidana mati.

Kresna juga menyayangkan tindakan jaksa yang kembali memaksakan tuduhan kerugian negara dalam kasus Asabri sebesar Rp 22 triliun hanya dengan menghitung uang keluar Asabri periode 2012-2019. Padahal dalam periode tersebut Asabri tidak hanya keluar uang, melainkan juga menerima keuntungan dari penjualan saham.

"Apabila metode penghitungan hanya menghitung uang keluar, tentunya bukan hanya Asabri yang mengalami kerugian, perusahaan seluruh dunia juga akan mengalami kerugian. Oleh karena itu jelas kerugian negara dalam perkara ini tidak tepat," kata Kresna.

Diketahui, Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut terdakwa perkara dugaan korupsi Asabri, Heru Hidayat dengan pidana hukuman mati. Jaksa meyakini Heru terbukti bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun.