Liputan6.com, Jakarta Angka presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen kini menuai polemik. Tak hanya gugatan ke MK, parpol juga angkat bicara. Anggota Komisi II PAN Guspardi Gaus menyatakan mendukung agar PT diturunkan.
Alasannya, agar masyarakat dapat memilih calon pemimpin tanpa dibatasi.
"Saya mendukung PT diturunkan, karena di dalam UUD tidak diatur batasan itu, dasar yang paling utama memberikan hak memilih di masyarakat. Berikan ruang masyarakat memilih dan menyeleksi,” kata Guspardi saat dikonfirmasi, Selasa (21/12/2021).
Advertisement
Guspardi menyebut Pemilu 2014 dan 2019 harus menjadi pelajaran di mana hanya dua pasang calon membuat masyarakat terbelah, bahkan hingga saat ini.
"Kita sudah alami pemilu 2014dan 2019 di mana hanya ada dua pasang dan membuat masyarakat terbelah, itu tidak elok dalam memelihara NKRI. Padahal dengan banyaknya calon masyarakat punya banyak pilihan yang lebih sesuai harapannya. Kalau hanya dua, akhirnya terpaksa pilih salah satu,” kata dia.
Politikus PAN itu menyarankan paling tidak tiap parpol yang lolos ke Parlemen, bisa mengusung capres atau cawapres. Dia menyebut, tidak akan ada banyak paslon meski tiap parpol bisa mengusung.
"Paling tidak calon presiden dari representasi wakil rakyat di senayan, paling tidak ada 9 partai yang akan usung capres, jangan khawatir akan kebanyakan, paling banyak lima pasang calon. Sama seperti 2009. Kita harus lihat dari segi kemaslahatan,” tandasnya.
Agar Parpol Melembagakan Diri
Berbeda dengan Guspardi, Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyatakan sepakat dengan angka Presidential Threshold (PT) 20 persen.
Menurut Rifqi, PT adalah mekanisme yang dibuat agar parpol melembagakan diri.
"PT layak diberikan bagi partai terlembaga, bukan hanya satu partai saja, juga termausuk koalisi. Saya menolak pandangan untuk PT menjadi 10 atau bahkan 0 persen,” kata Rifqi saat dikonfirmasi, Senin (20/12/2021).
Rifqi menyebut adanya kasus hanya dua paslon yang maju Pilpres, hal itu karena dinamika politik semata.
"Kalau ada hegemoni, misal dua pilpres terakhir hanya dua paslon, itu bukan aturan membatasi, tapi dinamika politik. Dinamika tidak bisa disalahkan. Kekhawatiran terkait dinamika poltik jangan dianggap aturan yang salah,” tambah dia.
Advertisement