Liputan6.com, Jakarta: Ruang kerja Ketua DPR Akbar Tandjung di Lantai 3 Gedung Nusantara III MPR/DPR tiba-tiba ramai pada Jumat pekan silam. Sejumlah fungsionaris Partai Golongan Karya tergopoh-gopoh memasuki ruangan. Mahadi Sinambela, Rambe Kamarulzaman, Syamsul Muarif, Marzuki Achmad, Soeharsojo, dan Syarfi Hutauruk masuk satu per satu. Mereka tak banyak bicara. Hanya raut kesedihan yang begitu terlihat. Semuanya seperti kekurangan darah. Lemas, tak bertenaga. "Kami memang tengah bersedih," kata Kamarulzaman, singkat.
Kabar dari Lawrence Siburian-lah yang membuat suasana seperti ini. Penasihat hukum Akbar Tandjung ini baru saja mengikuti sidang kasus penyalahgunaan dana nonbujeter Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp 40 miliar pada tingkat banding. Ia melapor bahwa majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang dipimpin Ridwan Nasution memutuskan Akbar memang terbukti korupsi dalam penyaluran dana nonbujeter Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp 40 miliar. Untuk itu, mantan Menteri Sekretaris Negara itu tetap dihukum tiga tahun penjara. Namun, tak ada perintah dari majelis hakim agar terdakwa langsung ditahan [baca: Akbar Divonis Tiga Tahun di Tingkat Banding].
Keputusan hakim membuat Akbar tetap menjadi orang bebas. Meski enggan berkomentar panjang lebar, Ridwan Nasution beranggapan Akbar tak akan melarikan diri, mengulangi perbuatannya, maupun menghilangkan barang bukti. Itulah sebabnya, ia tak perlu memerintahkan penahanan untuk Akbar. "Saya tidak bisa mengomentari putusan yang saya buat. Putusan banding ini benar-benar hanya memperhatikan fakta hukum," kata Nasution. Akbar pun bebas dan tetap menganggap dirinya tak bersalah [baca: Akbar Tandjung Akan Mengajukan Kasasi ke MA].
Sikap Akbar yang merasa benar kontan mengundang kecaman. Menurut pakar sosiologi hukum Prof Dr Satjipto Rahardjo, sikap Akbar sebenarnya menunjukkan gambaran betapa terpuruknya penegakan hukum di Tanah Air. Budaya hukum yang tak mengenal diskriminasi kini sudah tak ada lagi di Indonesia. "Sampai sekarang Pak Akbar merasa tidak bersalah. Itu memang hak dia, tetapi ini negara hukum, bukan soal perasaan. Sebagai seorang pejabat tinggi negara, beliau seharusnya tahu hal itu," ujar Satjipto, berapi-api.
Satjipto juga mempertanyakan sikap Akbar yang tak mau mundur dari Kursi Ketua DPR. Padahal, Akbar sudah dua kali divonis tiga tahun penjara. Menurut mantan anggota Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) ini, sikap gigih Akbar yang mengaku tak bersalah menjadi preseden yang buruk bagi penegakan hukum. Seharusnya Akbar mengetahui bahwa moralitas termasuk pilar dari hukum.
Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata juga mempersoalkan putusan hakim yang tak memerintahkan Akbar untuk ditahan. Seharusnya, paradigma hakim untuk memutuskan penahanan seorang terdakwa tak lagi sekadar mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, tetapi juga rasa keadilan masyarakat. "Dengan putusan itu, masyarakat melihat ada diskriminasi hukum" ujar Sujata. Ia jelas-jelas menyayangkan keputusan hakim. Pertimbangan tak menahan terdakwa sesuai dengan KUHAP semestinya hanya dipertimbangkan sebelum putusan. Setelah majelis hakim menjatuhkan putusan, kata Sujata, semestinya yang menjadi pertimbangan utama adalah rasa keadilan rakyat.
Selain Satjipto dan Sujata, sejumlah aktivis organisasi nonpemerintah juga mempertanyakan sikap hakim yang tak memerintahkan penahanan Akbar. Munarman dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, vonis majelis hakim banding sudah dapat dijadikan dasar Kejaksaan Agung untuk menahan Akbar. Sebab, dengan jatuhnya vonis tersebut, seluruh proses pemeriksaan perkara korupsi yang didakwakan sudah berakhir.
Aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Hendardi lebih sewot lagi. Ia mempertanyakan langkah Tandjung menyatakan kasasi sebelum membaca pertimbangan hukum majelis banding. "Bagaimana bisa menyatakan tidak bersalah, wong sepuluh hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sudah menyatakan dia bersalah," kata Hendardi, heran [baca: Amien Rais: Itu Tergantung Hati Nurani Akbar].
"Jika terdakwa dalam kasus yang lain bisa langsung dipenjara, mengapa Tandjung tidak? Tindakan hakim telah memberi kesempatan kepada Tandjung untuk tetap bisa berpolitik di luar. Ini tidak fair," kata Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (ICW). Sebagai lembaga yang serius menyoroti masalah korupsi, ICW mencatat, paling tidak ada 14 terdakwa kasus korupsi yang telah dijatuhi hukuman tapi tidak ditahan.
Menurut data liputan6.com, keempat belas terdakwa yang telah divonis bersalah tapi tak ditahan adalah Hendrawan Haryono (empat tahun). Ia dianggap merugikan negara Rp 583,4 miliar dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk Bank Aspac. Lalu, David Nusa Widjaja (empat tahun) yang merugikan negara Rp 1,29 miliar dalam kasus BLBI untuk Bank Servitia. Hendra Rahardja (seumur hidup) karena mengemplang duit negara Rp 2,6 triliun dalam kasus BLBI untuk Bank Harapan Sentosa. Berbarengan dengan Hendra, pengadilan juga memvonis Eko Adi Putranto (20 tahun) dan Sherny Konjongian (20 tahun) untuk kasus yang sama.
Masih dalam kasus BLBI, hakim juga menjatuhkan vonis seumur hidup untuk Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan. Mereka diduga merugikan uang negara sebesar Rp 1,5 triliun dalam kasus BLBI untuk Bank Surya [baca: Bambang Sutrisno Divonis Penjara Seumur Hidup]. Selain itu, masih ada Handy Sunardio (10 bulan) yang merugikan negara Rp 39,9 miliar untuk kasus BLBI Bank SEAB dan Jemy Sutjiawan yang dihukum delapan bulan penjara untuk kasus yang sama.
Dalam kasus tukar guling Bulog-Goro, Beddu Amang juga divonis bersalah tapi tak ditahan. Ia dihukum empat tahun penjara karena merugikan negara Rp 20,2 miliar. Selanjutnya, ada Rahardi Ramelan yang terlibat penyalahgunaan dana Bulog Rp 4,6 miliar dengan hukuman dua tahun penjara. Terakhir adalah "tiga serangkai" Akbar Tandjung, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang yang masing-masing dihukum tiga tahun penjara. Mulanya, Dadang dan Winfried dihukum 18 bulan penjara. Namun, dalam pengadilan di tingkat banding, mereka dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, sama dengan hukuman yang diterima Akbar Tandjung.
Kembali ke persoalan Akbar, suka atau tidak, banyak orang yang kagum menyaksikan sepak terjang pria kelahiran Sibolga, Sumatra Utara, 14 Agustus 1945 ini. Ia adalah politikus andal yang sudah membangun "ketokohannya" sejak aktif dalam gerakan mahasiswa. Sebagai aktivis mahasiswa tahun 1960-an, Akbar sudah memainkan peran menonjol dalam gerakan yang menggulingkan Presiden Sukarno. Ia juga pernah memimpin Himpunan Mahasiswa Islam dan Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Setelah masuk Partai Golkar, ia langsung berkantor di Senayan dari 1977 sampai 1988. Kemudian, Presiden Soeharto menunjuknnya sebagai Menteri Pemuda/Olahraga (1988-1993) dan Menteri Perumahan Rakyat (1993-1998). Mundurnya, Soeharto ternyata tak membuat bintang Akbar pudar. Presiden B.J. Habibie mengangkatnya sebagai Menteri Sekretaris Negara. Belakanganya, ia pula yang menghambat pencalonan Habibie sebagai presiden.
Tak heran, bila mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan, "Akbar itu tokoh organisatoris yang mampu mengkondisikan berbagai hal, termasuk upaya dia dalam membebaskan diri dari jeratan hukum akibat kasus korupsi yang dilakukannya," ujar Gus Dur. Itulah sebabnya, di tengah keterpurukan penegakan hukum di Indonesia, sebaiknya Anda juga jangan terlalu berharap untuk bisa membawa Akbar ke dalam penjara. Sebab, boleh jadi, ini akan membuat Anda kecewa.(ULF)
Kabar dari Lawrence Siburian-lah yang membuat suasana seperti ini. Penasihat hukum Akbar Tandjung ini baru saja mengikuti sidang kasus penyalahgunaan dana nonbujeter Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp 40 miliar pada tingkat banding. Ia melapor bahwa majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang dipimpin Ridwan Nasution memutuskan Akbar memang terbukti korupsi dalam penyaluran dana nonbujeter Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp 40 miliar. Untuk itu, mantan Menteri Sekretaris Negara itu tetap dihukum tiga tahun penjara. Namun, tak ada perintah dari majelis hakim agar terdakwa langsung ditahan [baca: Akbar Divonis Tiga Tahun di Tingkat Banding].
Keputusan hakim membuat Akbar tetap menjadi orang bebas. Meski enggan berkomentar panjang lebar, Ridwan Nasution beranggapan Akbar tak akan melarikan diri, mengulangi perbuatannya, maupun menghilangkan barang bukti. Itulah sebabnya, ia tak perlu memerintahkan penahanan untuk Akbar. "Saya tidak bisa mengomentari putusan yang saya buat. Putusan banding ini benar-benar hanya memperhatikan fakta hukum," kata Nasution. Akbar pun bebas dan tetap menganggap dirinya tak bersalah [baca: Akbar Tandjung Akan Mengajukan Kasasi ke MA].
Sikap Akbar yang merasa benar kontan mengundang kecaman. Menurut pakar sosiologi hukum Prof Dr Satjipto Rahardjo, sikap Akbar sebenarnya menunjukkan gambaran betapa terpuruknya penegakan hukum di Tanah Air. Budaya hukum yang tak mengenal diskriminasi kini sudah tak ada lagi di Indonesia. "Sampai sekarang Pak Akbar merasa tidak bersalah. Itu memang hak dia, tetapi ini negara hukum, bukan soal perasaan. Sebagai seorang pejabat tinggi negara, beliau seharusnya tahu hal itu," ujar Satjipto, berapi-api.
Satjipto juga mempertanyakan sikap Akbar yang tak mau mundur dari Kursi Ketua DPR. Padahal, Akbar sudah dua kali divonis tiga tahun penjara. Menurut mantan anggota Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) ini, sikap gigih Akbar yang mengaku tak bersalah menjadi preseden yang buruk bagi penegakan hukum. Seharusnya Akbar mengetahui bahwa moralitas termasuk pilar dari hukum.
Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata juga mempersoalkan putusan hakim yang tak memerintahkan Akbar untuk ditahan. Seharusnya, paradigma hakim untuk memutuskan penahanan seorang terdakwa tak lagi sekadar mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, tetapi juga rasa keadilan masyarakat. "Dengan putusan itu, masyarakat melihat ada diskriminasi hukum" ujar Sujata. Ia jelas-jelas menyayangkan keputusan hakim. Pertimbangan tak menahan terdakwa sesuai dengan KUHAP semestinya hanya dipertimbangkan sebelum putusan. Setelah majelis hakim menjatuhkan putusan, kata Sujata, semestinya yang menjadi pertimbangan utama adalah rasa keadilan rakyat.
Selain Satjipto dan Sujata, sejumlah aktivis organisasi nonpemerintah juga mempertanyakan sikap hakim yang tak memerintahkan penahanan Akbar. Munarman dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, vonis majelis hakim banding sudah dapat dijadikan dasar Kejaksaan Agung untuk menahan Akbar. Sebab, dengan jatuhnya vonis tersebut, seluruh proses pemeriksaan perkara korupsi yang didakwakan sudah berakhir.
Aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Hendardi lebih sewot lagi. Ia mempertanyakan langkah Tandjung menyatakan kasasi sebelum membaca pertimbangan hukum majelis banding. "Bagaimana bisa menyatakan tidak bersalah, wong sepuluh hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sudah menyatakan dia bersalah," kata Hendardi, heran [baca: Amien Rais: Itu Tergantung Hati Nurani Akbar].
"Jika terdakwa dalam kasus yang lain bisa langsung dipenjara, mengapa Tandjung tidak? Tindakan hakim telah memberi kesempatan kepada Tandjung untuk tetap bisa berpolitik di luar. Ini tidak fair," kata Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (ICW). Sebagai lembaga yang serius menyoroti masalah korupsi, ICW mencatat, paling tidak ada 14 terdakwa kasus korupsi yang telah dijatuhi hukuman tapi tidak ditahan.
Menurut data liputan6.com, keempat belas terdakwa yang telah divonis bersalah tapi tak ditahan adalah Hendrawan Haryono (empat tahun). Ia dianggap merugikan negara Rp 583,4 miliar dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk Bank Aspac. Lalu, David Nusa Widjaja (empat tahun) yang merugikan negara Rp 1,29 miliar dalam kasus BLBI untuk Bank Servitia. Hendra Rahardja (seumur hidup) karena mengemplang duit negara Rp 2,6 triliun dalam kasus BLBI untuk Bank Harapan Sentosa. Berbarengan dengan Hendra, pengadilan juga memvonis Eko Adi Putranto (20 tahun) dan Sherny Konjongian (20 tahun) untuk kasus yang sama.
Masih dalam kasus BLBI, hakim juga menjatuhkan vonis seumur hidup untuk Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan. Mereka diduga merugikan uang negara sebesar Rp 1,5 triliun dalam kasus BLBI untuk Bank Surya [baca: Bambang Sutrisno Divonis Penjara Seumur Hidup]. Selain itu, masih ada Handy Sunardio (10 bulan) yang merugikan negara Rp 39,9 miliar untuk kasus BLBI Bank SEAB dan Jemy Sutjiawan yang dihukum delapan bulan penjara untuk kasus yang sama.
Dalam kasus tukar guling Bulog-Goro, Beddu Amang juga divonis bersalah tapi tak ditahan. Ia dihukum empat tahun penjara karena merugikan negara Rp 20,2 miliar. Selanjutnya, ada Rahardi Ramelan yang terlibat penyalahgunaan dana Bulog Rp 4,6 miliar dengan hukuman dua tahun penjara. Terakhir adalah "tiga serangkai" Akbar Tandjung, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang yang masing-masing dihukum tiga tahun penjara. Mulanya, Dadang dan Winfried dihukum 18 bulan penjara. Namun, dalam pengadilan di tingkat banding, mereka dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, sama dengan hukuman yang diterima Akbar Tandjung.
Kembali ke persoalan Akbar, suka atau tidak, banyak orang yang kagum menyaksikan sepak terjang pria kelahiran Sibolga, Sumatra Utara, 14 Agustus 1945 ini. Ia adalah politikus andal yang sudah membangun "ketokohannya" sejak aktif dalam gerakan mahasiswa. Sebagai aktivis mahasiswa tahun 1960-an, Akbar sudah memainkan peran menonjol dalam gerakan yang menggulingkan Presiden Sukarno. Ia juga pernah memimpin Himpunan Mahasiswa Islam dan Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Setelah masuk Partai Golkar, ia langsung berkantor di Senayan dari 1977 sampai 1988. Kemudian, Presiden Soeharto menunjuknnya sebagai Menteri Pemuda/Olahraga (1988-1993) dan Menteri Perumahan Rakyat (1993-1998). Mundurnya, Soeharto ternyata tak membuat bintang Akbar pudar. Presiden B.J. Habibie mengangkatnya sebagai Menteri Sekretaris Negara. Belakanganya, ia pula yang menghambat pencalonan Habibie sebagai presiden.
Tak heran, bila mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan, "Akbar itu tokoh organisatoris yang mampu mengkondisikan berbagai hal, termasuk upaya dia dalam membebaskan diri dari jeratan hukum akibat kasus korupsi yang dilakukannya," ujar Gus Dur. Itulah sebabnya, di tengah keterpurukan penegakan hukum di Indonesia, sebaiknya Anda juga jangan terlalu berharap untuk bisa membawa Akbar ke dalam penjara. Sebab, boleh jadi, ini akan membuat Anda kecewa.(ULF)