Sukses

Pemerintah Disarankan Mengubah Filosofi Menyusun Anggaran

Kebijakan membatalkan kenaikan harga dinilai tak lebih dari upaya menunda waktu. Disarankan, pemerintah mengubah filosofi penyusunan anggaran yang berpihak kepada para pemodal dan investor.

Liputan6.com, Jakarta: Pemerintah akhirnya menurunkan harga bahan bakar minyak dan memberikan potongan insentif bagi pelanggan Perusahaan Listrik Negara. Namun bagi sebagian kalangan, kebijakan pemerintah tersebut masih dianggap tak tepat karena bukan menjadi tujuan utama yang disuarakan masyarakat. "Tujuan rakyat beraksi itu sebenarnya menggugat filosofi pemerintah tentang penyusunan anggaran yang masih memihak kepada para pemodal dan investor. Sementara masalah rakyat seperti peluang kerja, kemiskinan, dan sejenisnya kurang diperhatikan," ujar Ekonom dari Universitas Gajah Mada Revrison Baswir dalam telewicara bersama Rosianna Silalahi di Studio Liputan 6 SCTV Jakarta, Senin (20/1) petang.

Di mata Revrison, kebijakan itu sebenarnya tak lebih dari upaya pemerintah, khususnya tim ekonomi, keuangan, dan industri, untuk membeli waktu. Sementara pesan masyarakat melalui berbagai aksi-aksi yang dilakukan tak ditangkap oleh pemerintah. Akibat filosofi yang tak nyambung itu, dia menilai, berbagai kebijakan pemerintah itu hanyalah sebagai upaya tambal sulam atau cara-cara menunda waktu dan mengabaikan pokok masalahnya [baca: Pemerintah Akhirnya Menurunkan Harga BBM].

Menurut dia, sebenarnya yang betul-betul menjebak Indonesia adalah masalah utang, baik dalam maupun luar negeri. Namun ada masalah lainnya, yakni keinginan yang sangat kuat dari kalangan ekonom di pemerintah untuk tetap bekerja di bawah lembaga dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia atau lembaga sejenis lainnya. Pasalnya, dia menganggap pemerintah merasa tak nyaman bila bekerja tak berdampingan dengan lembaga-lembaga dunia itu. "Jadi ada indikasi yang sangat kuat bahwa tim Ekuin saat ini tetap saja ingin bekerja dengan berpihak kepada kreditor serta didampingi lembaga dunia," tambahnya [baca: IMF Mendukung Langkah Pemerintah Indonesia].

Selain persoalan utang, Revison juga menilai bahwa tak ada jaminan bahwa privatisasi Badan Usaha Milik Negara akan menuntaskan korupsi, kolusi, dan nepotisme [baca: Laksamana Sukardi: Stabilitas Moneter Membaik dengan Divestasi]. Sebab kalangan atau bank-bank swasta saat ini juga sedang collaps. "Jadi itu hanya mengada-ada dan tak ada jaminan bahwa prosedur yang dilakukan juga sudah benar, " tutur dia. Karenanya, ia menyarankan pemerintah segera mengubah filosofi perhitungan negara, khususnya dalam kebijakan fiskal, sesuai dengan keinginan masyarakat yang banyak disuarakan belakangan ini.(PIN)