Liputan6.com, Jakarta Tahun 2021, tahun di mana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan banyak sorotan. Kinerja pemberantasan korupsi dinilai semakin lemah.
Bahkan, beberapa pengamat antikorupsi mencatat pemberantasan korupsi oleh lembaga antirasuah yang dipimpin jenderal polisi aktif Firli Bahuri ini merupakan yang terburuk.
Baca Juga
Presiden Joko Widodo alias Jokowi dianggap sebagai sponsor penghancuran KPK. Jokowi menyetujui revisi UU KPK. Alhasil, beberapa pengamat hukum menilai penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi oleh KPK era Jokowi lemah.
Advertisement
Pelemahan KPK juga dipandang dari keputusan pimpinan KPK yang mengadakan tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap para pegawai. Pimpinan KPK berdalih TWK dilakukan buntut dari revisi UU KPK yang menyebut para pegawai harus menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Wajah KPK pun tercoreng akibat satu pimpinannya menerima sanksi etik berat dari Dewan Pengawas KPK. Dia adalah Lili Pintauli Siregar yang terbukti berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial yang saat itu berperkara di KPK.
Dari rentetan peristiwa yang mengundang kritik publik itu pun berbuntut pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
Berikut rangkuman Liputan6.com terkait rapor merah KPK sepanjang 2021:
1. Firli dan KPK
Beberapa pengamat dan praktisi hukum menilai KPK era Firli Bahuri terburuk sepanjang masa. Semua berawal dari diloloskannya Firli sebagai salah satu calon pimpinan KPK pada 2019 lalu. Seperti yang diungkapkan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Firli yang sempat menjabat Deputi Penindakan KPK era kepemimpinan Agus Rahardjo ini dianggap sebagai calon pimpinan KPK yang kontroversial. Namun, saat itu panitia seleksi pimpinan KPK terus meloloskan Firli. Bahkan, DPR dan Presiden Jokowi merestui Firli menjadi pimpinan KPK.
"Ini merupakan tahun paling buruk bagi pemberantasan korupsi. Ini adalah tahun kehancuran bagi KPK karena lima orang ini dihasilkan dari proses seleksi yang banyak persoalan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Kurnia melanjutkan, lebih parahnya lagi kehancuran KPK disebabkan oleh campur tangan Presiden Jokowi dan DPR. Menurut dia, dua simbol eksekutif dan legislatif tersebut adalah sponsor utama kehancuran KPK.
"Menurut kami, ini benar-benar disponsori langsung oleh Istana atau Presiden Joko Widodo. Dan juga anggota DPR periode 2014-2019 dan 2019-2024 mendatang. Istana dan DPR berhasil meloloskan lima figur pimpinan KPK yang kita nilai paling buruk sepanjang sejarah KPK," tegas Kurnia.
Walhasil, Kurnia beranggapan bila KPK era Firli terburuk sepanjang sejarah KPK berdiri.
"ICW beranggapan pimpinan KPK di bawah komando Firli Bahuri merupakan yang terburuk sepanjang sejarah lembaga antirasuah," ujar Kurnia, Kamis, 27 Mei 2021.
Advertisement
2. Sanksi Etik Berat Lili Pintauli
Wajah KPK tercoreng ketika salah satu komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar, terbukti berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial terkait penyelidikan dugaan suap jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai.
Dewas KPK menjatuhkan sanksi berat terhadap Lili Pintauli. Lili diberikan sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40% setiap bulannya selama satu tahun.
Dewas menyatakan Lili terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku lantaran menyalahgunakan pengaruh sebagai Pimpinan KPK. Lili berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.
"Menghukum terperiksa dengan sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan," ujar Ketua Dewas KPK Tumpak Hatarongan Panggabean saat membacakan amar putusan Lili, Senin, 30 Agustus 2021.
Namun, vonis etik berat Lili itu tak membuat pelapor dan pengamat hukum puas. Mereka yang melaporkan dugaan komunikasi Lili dengan Syahrial di antaranya, yakni Direktur PJKAKI KPK Sujanarko, Kasatgas Penyidikan KPK Novel Baswedan, dan Kasatgas Penyidikan Rizka Anungnata.
Sebab, meski gajinya dipotong 40% setiap bulannya selama satu tahun, Lili masih mengantongi pendapatan lebih dari Rp 110 juta per bulan. Hal ini lantaran gaji yang dipotong hanya gaji pokoknya sebagai Wakil Ketua KPK.
Berdasarkan Pasal 3 PP Nomor 82 Tahun 2015 tentang Hak Keuangan, Kedudukan Protokol, Perlindungan Keamanan Pimpinan KPK, gaji pokok Wakil Ketua KPK sebesar Rp 4.620.000.
Berdasarkan putusan etik Dewas KPK, gaji pokok Lili dipotong 40 persen setiap bulan. Jadi, gaji Lili hanya dipotong sebesar Rp 1.848.000.
Padahal, selain gaji pokok, dalam PP tersebut, Wakil Ketua KPK mendapat tunjangan jabatan sebesar Rp 20.475.000, kemudian tunjangan kehormatan sebesar Rp 2.134.000, tunjangan fasilitas perumahan sebesar Rp 34.900.000, tunjangan transportasi sebesar Rp 27.330.000, tunjangan asuransi dan jiwa sebesar Rp 16.325.000, serta tunjangan hari tua sebesar Rp 6.807.250.
Jika ditotal, setiap bulan Lili akan menerima Rp 112.591.000 sebagai Wakil Ketua KPK. Jika gajinya hanya dipotong sekitar Rp 1.848.000 maka, Lili masih menerima gaji setiap bulannya sekitar Rp 110.743.000.
Pendapatan tersebut belum termasuk biaya perjalanan dinas.
Beberapa pegiat dan pemerhati korupsi berharap vonis Lili berupa pengunduran diri. Politikus pun turut meminta Lili untuk mengundurkan diri.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman salah satunya. Dia mendesak Lili Pintauli mengundurkan diri dari jabatan pimpinan lembaga antirasuah tersebut.
"Sebaiknya yang bersangkutan atas kemauan sendiri mengundurkan diri saja. Untuk menjaga nama baik institusi," kata Benny kepada wartawan, Senin, 30 Agustus 2021.
3. G 30/S TWK, 57 Pegawai KPK Dipecat
Pelemahan KPK lainnya yang menjadi sorotan, yakni bermula dari keputusan pimpinan KPK yang bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengadakan assessment tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi para pegawai.
KPK mengklaim, penyelenggaraan assessment tersebut buntut dari revisi Undang-Undang KPK. Dalam UU yang baru, pegawai beralih status menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Namun, assessment tersebut dianggap hanya akal-akalan pimpinan KPK saja untuk menyingkirkan beberapa pegawai yang sudah "ditandai".
TWK mendapat sorotan yang luar biasa dari berbagai kalangan masyarakat. Apalagi, beberapa pegawai yang ikut tes tersebut akhirnya membongkar isi pertanyaan dalam TWK. Para pegawai beranggapan pertanyaan dalam TWK tak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan mereka sebagai pemberantas korupsi.
Bahkan, pegawai KPK yang berjenis kelamin perempuan merasa dilecehkan dengan beberapa pertanyaan yang bersifat seksisme dan diskriminatif. Beberapa pegawai tak terima, lantas protes ke pimpinan, tapi tak dianggap.
Puncaknya, Mei 2021, KPK menonaktifkan 75 pegawainya lantaran dianggap tak memenuhi syarat dalam TWK. Penonaktifan pegawai diketahui dari surat keputusan (SK) pimpinan KPK atas hasil TWK. SK tersebut ditandatangani pada 7 Mei 2021.
Meski SK tersebut sudah keluar, KPK belum mengumumkan secara resmi perihal penonaktifan 75 pegawai. Pengumuman resmi baru dilakukan KPK pada 12 Mei 2021. KPK menolak dikatakan menonaktifkan pegawai. KPK berdalih para pegawai tetap mendapatkan haknya. Hanya saja, para pegawai diminta menyerahkan tugasnya kepada atasan.
Di antara 75 nama pegawai yang diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan adalah Novel Baswedan, Kasatgas Penyidikan yang kerap mengusut dan membongkar kasus besar. Kemudian ada Harun Alrasyid yang disebut sebagai raja OTT. Ada juga Rasamala Aritonang yang kerap menemani pimpinan KPK bertemu Presiden.
Terselip juga nama Herry Muryanto yang pernah memeriksa pelanggaran etik Firli Bahuri saat masih menjadi Deputi Penindakan KPK. Nama-nama lain yang dianggap tak memenuhi syarat dalam TWK adalah mereka yang sempat menentang revisi UU KPK dan Firli Bahuri saat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK. Kini, justru Firli yang menahkodai lembaga antirasuah.
Merasa sudah bekerja dengan baik dan penuh integritas, 75 pegawai yang dinonaktifkan tak terima. Mereka melaporkannya ke Komnas HAM dan Ombudsman. Mereka menganggap Firli Bahuri cs sewenang-wenang. Bahkan dianggap tak patuh dengan intruksi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan dalam peralihan pegawai menjadi ASN tak boleh merugikan pegawai.
Di tengah-tengah kisruh soal penonaktifan 75 pegawai, Jokowi akhirnya bersuara. Jokowi meminta pimpinan KPK mengikuti putusan MK yang menyebut alih status pegawai tak boleh merugikan. Namun permintaan Jokowi tak diindahkan pimpinan KPK.
Permintaan Jokowi sempat menjadi angin segar bagi 75 pegawai yang dinonaktifkan. Apalagi, Komnas HAM dan Ombudsman menyatakan TWK bermasalah. Dalam temuannya, Komnas HAM menyebut pelaksaan TWK melanggar HAM. Sementara Ombudsman menyatakan terjadi maladministrasi dalam TWK.
Komnas HAM dan Ombudsman dalam rekomendasinya meminta pimpinan KPK kembali menarik 75 pegawai. Alih-alih mengikuti instruksi Jokowi, Komnas HAM, dan Ombudsman, pimpinan KPK malah memecat 57 pegawai. Pemecatan dilakukan pada 30 September 2021. Pegawai mengenang hari itu sebagai G 30 S/TWK, yang artinya Gerakan 30 September Tes Wawasan Kebangsaan.
"Prinsipnya perhari ini, KPK dengan 57 pegawai tersebut sudah tidak memiliki hubungan kepegawaian lagi. Artinya 57 pegawai tersebut menjadi orang bebas," ujar Alexander, Kamis, 30 September 2021.
Kritik dilontarkan sejumlah pihak, di antaranya PP Muhammadiyah.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menuliskan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait temuan Ombudsman RI dan Komnas HAM atas dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi ASN. Ormas Islam tersebut meminta Presiden untuk membatalkan hasil dari ujian tersebut.
Surat itu diteken oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, M Busyro Muqoddas. Ada tiga poin tuntutan dalam surat tersebut.
"Menyusul rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia, laporan Komnas HAM mengenai hasil pemantauan dan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM pada asesmen TWK dalam proses alih status pegawai KPK, semakin menguatkan adanya dugaan upaya bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan latar belakang tertentu," tulis pembukaan surat tersebut yang dikutip, Kamis (19/8/2021).
Advertisement
4. Turunnya Kepercayaan Masyarakat Terhadap KPK
Dari berbagai polemik tersebut membuat kepercayaan publik terhadap KPK menurun. Bahkan, tingkat kepercayaan KPK kini berada di bawah Polri.
Dalam survei Indikator Politik yang dirilis pada 26 September 2021, atau empat hari sebelum pemecatan 57 pegawai, KPK menyebut kepercayaan publik terhadap KPK merosot drastis.
"Biasanya KPK kalau tidak nomor dua, satu. Mungkin hanya kalah dengan TNI. Tapi sekarang merosot ke peringkat empat dilihat dari tingkat kepercayaan publik terhadap KPK," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Minggu, 26 September 2021.
Terbaru, lembaga survei Charta Politika Indonesia merilis hasil survei tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tinggi negara. Hasilnya, kepercayaan kepada Presiden menduduki peringkat pertama paling dipercaya, disusul TNI dan Polri.
Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya kepercayaan terhadap Presiden, TNI, dan Polri salip menyalip. Sementara KPK berada di posisi keempat setelah Polri.
Yunarto menyatakan sebelummya KPK selalu di atas Polri dalam survei. Namun, usai revisi UU KPK tingkat kepercayaan KPK menurun bahkan kini disalip Polri.
“Sebelum revisi UU KPK, biasanya KPK ini selalu nomor 2 atau nomor 3, bersaing dengan TNI dan kalau kita lihat sekarang, bahkan di beberapa lembaga survei lain dan beberapa temuan memang Polri berhasil menyalip KPK,” kata dia.
Meski demikian, Yunarto tidak memastikan penyebab pasti turunnya kepercayaan responden kepada KPK adalah revisi UU KPK atau tidak.
“Apakah ada kaitannya dengan misalnya beberapa peristiwa yang terjadi belakangan termasuk adanya Dewas KPK. Tetapi yang jelas bahwa belakangan KPK memang semakin menurun, bahkan disalip oleh Polri,” tegas dia.