Liputan6.com, Jakarta - 75 tahun yang lalu pada 4 Januari 1946, Ibu Kota Indonesia sempat berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Perpindahan tersebut beralasan adanya keterpaksaan serta untuk mengamankan eksistensi pemerintah.
Saat itu, Jakarta terancam keberadaannya. Sebab Belanda kembali datang ke Indonesia membonceng Sekutu. Jakarta berhasil diduduki Belanda pada 29 September 1945. Indonesia pun menjadi sorotan internasional.
Baca Juga
Melihat hal itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pakualam VIII pada 2 Januari 1946 mengirim kurir ke Jakarta dan menyarankan agar Ibu Kota pindah ke Yogyakarta. Tawaran itu pun diterima oleh Presiden Sukarno.
Advertisement
"Bapak saya yang meminta ibu kota dipindahkan ke Yogya," ujar Arumanta, anak kedua Sultan yang bergelar Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo, mengutip Tempo edisi 17 Agustus 2015.
Tawaran itu pun langsung direspons oleh Sukarno. Sebab sehari sebelumnya bersama para menteri telah menggelar sidang untuk rencana pemindahan sementara ibu kota Indonesia. Akhirnya Sukarno menerima tawaran dari Sultan Hamengku Buwono.
"Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari Saudara boleh membawa harta benda, aku juga tidak," ucap Presiden Sukarno seperti diungkapkan kembali oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Perjalanan dilakukan tengah malam pada 3 Januari 1946. Dengan menggunakan sebuah gerbong kereta yang terparkir di belakang rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (Menteng). Sukarno dan rombongan meluncur ke Yogyakarta pada malam buta. Semua penumpang diliputi ketegangan.
Sementara itu, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII yang menunggu kedatangan Sukarno di Stasiun Tugu, Yogyakarta sejak dini hari, juga diliputi ketegangan. Akhirnya, pada Jumat 4 Januari 1946 sekitar pukul 09.00 WIB rombongan tiba di Yogyakarta.
Dalam waktu sekejap Jakarta jatuh dan dikuasai Belanda. Sukarno berkantor di Gedung Agung yang terletak di sebrang bekas benteng kompeni Vredebug untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Pemindahan ibu kota itu berdampak positif pada Yogyakarta.
Sejumlah gedung besar dijadikan kantor kementerian. Kota-kota penyangga Yogyakarta pun ramai dipenuhi pendatang baru. Perjuangan untuk melawan Belanda pun kembali digulirkan.
Bahkan sejak Ibu Kota dipindahkan ke Yogyakarta, Belanda setidaknya dua kali melancarkan Agresi Militer 1 dan 2. Bahkan negara yang dipimpin Ratu Juliana itu sempat menduduki Yogyakarta dan beberapa kota penting di Tanah Air. Bahkan Sukarno, Hatta, dan kabinetnya diasingkan di beberapa kota.
Selain melakukan pertempuran yang menggunakan bedil dan bambu runcing, Indonesia dan Belanda juga perang urat syarat di meja perundingan. Misalnya adanya Perjanjian Linggarjati yang disahkan pada 25 Maret 1947.
Lalu, ada pula perjanjian Roem-van Roijen yang salah satu isinya mengembalikan pemerintah RI ke Yogyakarta. Kemudian pada 6 Juli 1949, Sukarno dan Hatta kembali ke Yogyakarta. Salah satu kesepakatan dari perjanjian itu yaitu persetujuan diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Moh Hatta pun ditunjuk sebagai delegasinya dan sejumlah tokoh tetap dilibatkan. KMB itu berlangsung mulai 23 Agustus- 2 November 1949. Kesepakatan pun tercapai salah satunya mengenai penyerahan kedaulatan dari Negeri Belanda ke Republik Indonesia pada 27 Desember 1949.
Suasana di Jakarta pun berbeda. Masyarakat menunggu momentum pengibaran bendera merah putih di Istana Negara, Jakarta. Saat itu, penyerahan kedaulatan pun dilakukan. Indonesia diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Sedangkan perwakilan dari Belanda itu Tony Lovink yang saat itu menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia. Usai penandatanganan, keduanya pun berdiri di depan Istana Negara. Bendera Belanda yang berkibar mulai diturunkan.
"Sebentar terdengar sorakan, tapi segera berhenti," demikian diungkapkan Herman Burgers, tentara Belanda yang menjadi saksi peristiwa tersebut -- meski hanya lewat radio --dalam bukunya De Garoeda en de Ooievaar, seperti Liputan6.com kutip dari situs Radio Nederland.
Setelah itu, bendera Indonesia Merah Putih mulai berkibar di Istana Negara. Sorakan semua orang pun pecah. Keesokan harinya, ribuan masyarakat telah menunggu kedatangan Sukarno dari Yogyakarta.
Â
** #IngatPesanIbuÂ
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Sukarno ke Jakarta
Mereka menunggu di sekitar Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat. Kedatangan Sukarno ditunggu setelah empat tahun mengungsi di Yogyakarta. 28 Desember 1949 Sukarno akhirnya mendarat di bandara menggunakan pesawat Dakota milik Garuda Airways.
Selain di bandara, ribuan masyarakat juga menunggu kedatangan Sukarno di Istana Negara. Mereka menunggu pidato Sukarno, seperti yang disebutkan Andri Wicaksono dalam buku Antara Fiksi dan Realita: Representasi Revolusi Nasional 1945-1949.
Sesampainya di Istana Negara, pekikan masyarakat semakin kencang. "Merdeka, Merdeka". Sukarno pun berdiri di beranda Istana dengan didampingi Letnan Kolonel Daan Yahya dan beberapa pejabat lainnya.
"Saudara-saudara sekalian. Alhamdulillah saya ucapkan di hadirat Allah subhanahu wa taala. Ini hari aku telah menginjak lagi bumi Jakarta. Sesudah hampir empat tahun lamanya saya tidak bersua dengan saudara-saudara," kata Sukarno.
"Empat kali 365 hari saya berpisah dengan rakyat Jakarta laksana rasanya seperti berpisah 40 tahun, saudara-saudara," lanjut Sukarno.
Pidato Sukarno pun langsung disambut dengan gemuruh masyarakat yang berkumpul di lapangan yang saat ini disebut kawasan Monumen Nasional atau Monas.
Menurut Setneg.go.id ribuan masyarakat sudah mulai berkumpul di Istana Negara sejak 27 Desember 1949. Pekikan "Merdeka" terus saja menggema. Saat itu masyarakat masih menyebut lokasi yang didatanginya dengan sebutan Istana Gambir.
Karena pekikan "Merdeka" tersebut Sukarno mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka dan Istana Rijswijk menjadi Istana Negara.
Advertisement