Liputan6.com, Jakarta - Mulut Ridwan penuh kepulan asap ketika hendak mengomentari kenaikan cukai rokok. Pria berusia 30 tahun itu kaget, sekaligus menyayangkan harga rokok makin mahal.
Dia heran, sebagai negara produsen, harusnya harga rokok Indonesia lebih terjangkau. Ketimbang menaikkan harga, kata Ridwan, lebih efektif pemerintah menaikkan pajak barang mewah dari orang-orang kaya untuk pemasukan negara.
Saat ini, harga sebungkus rokok dari merek yang biasa dia hisap mencapai Rp20 ribu. Namun, kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok rata-rata sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2022 dipastikan membuat harga rokok favoritnya melonjak.
Advertisement
Dalam sehari, pria yang bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta itu dapat menghabiskan dua bungkus rokok. Meskipun harganya naik cukup drastis mulai 2022, bapak beranak dua ini belum mau mengubah kebiasaan merokoknya. Bahkan bila harganya menyentuh 50 ribu rupiah sebungkus, ia mengaku akan tetap membelinya.
"Kalau buat berhenti merokok sih enggak. Paling mengurangi jajan yang lain, supaya alokasi duit untuk beli rokok tetap aman. Sebenarnya tidak masalah harga rokok naik, asal jangan kemahalan. Kalau bisa harganya masih di bawah 30 ribu rupiah sebungkus," ucap Ridwan.
Baca Juga
Lain lagi dengan Rendi (34), yang memilih beralih penuh memakai rokok elektrik vape ketika mengetahui harga rokok naik mulai 2022. Sebelumnya dia masih berganti-ganti dalam pemakaian vape dan menghisap rokok tembakau. Dengan harga baru rokok nanti, menurut dia lebih hemat memakai vape.
Hitung-hitungan Rendi, dia hanya perlu mengeluarkan uang sekitar Rp100 ribu per minggu untuk membeli liquid cairan rokok elektrik vape sebanyak 30 ml. Bandingkan jika dia setiap hari harus membeli sebungkus rokok yang harganya bisa mencapai Rp40 ribu.
"Sebelumnya masih suka ganti-ganti, kadang hisap rokok, kadang vape. Tapi, kalau harga rokok sampai 40 ribu (rupiah) sebungkus, mending beralih ke vape saja. Untuk kategori perokok berat saja, beli liquid untuk vape seharga 100 ribu (rupiah) bisa cukup buat seminggu," beber Rendi.
Tapi, dia menyebut hal itu tergantung selera masing-masing orang. Ada yang tetap lebih suka rasa rokok ketimbang menghisap vape, sehingga tidak mau ganti. Selain itu, untuk membeli device rokok elektrik, di awal perlu merogoh kocek setidaknya Rp300 ribu.
Lindungi Kesehatan Masyarakat
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, telah mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 12 persen di tahun 2022. Hal itu dilakukan untuk melindungi kesehatan masyarakat, mengingat rokok merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia dan juga penyebab meningkatnya risiko stunting pada anak.
Keluarga perokok memiliki anak stunting 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak merokok. Dari sisi ekonomi masyarakat, rokok juga tercatat sebagai sumber pengeluaran terbesar nomor dua di masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan.
"Rumah tangga menjadi semakin miskin, karena pengeluaran yang seharusnya untuk meningkatkan ketahanan rumah tangga keluarga miskin, dikeluarkan untuk rokok yang mencapai 11 persen dari total pengeluaran keluarga miskin," ungkap Sri Mulyani.
Rp170 Triliun dari Cukai Rokok
Aturan baru mengenai cukai rokok termuat dalam dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yakni PMK Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris dan PMK Nomor 193/PMK.010/2021. PMK Nomor 192 mengatur kenaikan tarif cukai rokok rata-rata 12 persen.
Menurut Sri Mulyani, negara mesti membayar sebesar Rp15 triliun per tahun untuk mengobati masyarakat yang sakit karena rokok. Wanita yang akrab disapa Ibu Ani ini menyebut, total biaya kesehatan akibat merokok per tahunnya mencapai Rp 17,9 triliun sampai Rp27,7 triliun. Sebagian dari biaya itu yakni Rp15 triliun yang berasal dari BPJS Kesehatan.
"Akibat merokok sebanyak Rp10,5 triliun sampai Rp15,6 triliun biaya perawatan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan," beber Sri Mulyani.
Namun yang menarik, angka itu ternyata tidak sampai 10 persen dari jumlah pendapatan cukai rokok yang diterima negara, yaitu sebesar Rp173,78 triliun pada 2021. Dengan kenaikan cukai rokok rata-rata sebesar 12 persen pada 2022, Kementerian Keuangan memproyeksikan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) mencapai target APBN sebesar Rp193,53 triliun.
Sebenarnya, Sri Mulyani pernah menjanjikan bahwa setelah 2015, pemerintah melakukan penguatan berbasis kesehatan, setelah pada periode 2005 sampai 2015, Indonesia masih pro industri rokok, karena membutuhkan uangnya. Di sisi lain, dengan aturan ini, produksi rokok bakal turun 3,0 persen dari 320,1 miliar batang pada 2021 menjadi 310,4 miliar batang pada 2022. Indeks kemahalan juga naik menjadi 13,78 persen dari sebelumnya 12,7 persen.
Dari aspek kesehatan, prevalensi merokok dewasa ditargetkan turun dari 33,2 persen menjadi 32,26 persen, sedangkan prevalensi merokok anak turut diproyeksi turun dari 8,97 persen menjadi 8,83 persen. Data WHO menyebut angka prevalensi merokok nasional yang mencapai 29 persen menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India (WHO).
Dengan keputusan yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2022 tersebut, pemerintah juga perlu menjaga keberlangsungan industri tembakau, yang berpengaruh terhadap tenaga kerja seperti buruh di pabrik rokok, petani tembakau, dan mata rantai pasokannya.
Seringkali dampak kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) disusul dengan banyak munculnya produksi rokok ilegal. Dalam hal ini, pemerintah wajib untuk meminimalkan kemunculan rokok ilegal. CHT terbaru dibedakan antara jenis dan golongan.
Kenaikan CHT tertinggi ditetapkan untuk industri rokok yang memproduksi Sigaret Putih Mesin (SPM) Golongan I sebesar 18,4 persen, menjadi Rp935 per batang. Lalu, Sigaret Putih Mesin Golongan IIA mengalami kenaikan tarif CHT senilai 16,5 persen menjadi Rp565 per batang. Sementara tarif CHT Sigaret Putih Mesin Golongan IIB naik 18,1 persen menjadi Rp555 per batang.
Tarif CHT Sigaret Kretek Mesin Golongan I naik 16,9 persen menjadi Rp865 per batang. Kemudian tarif CHT Sigaret Kretek Mesin IIA naik 13,8 persen menjadi Rp535 per batang dan kenaikan CHT Sigaret Kretek Mesin IIB naik 15,4 persen menjadi Rp525 per batang.
Namun, tarif cukai untuk produksi jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT), tidak berubah. Sebab, jenis ini memiliki unsur tenaga kerja yang besar. Besaran tarif cukai untuk jenis Sigaret Kretek Tangan Golongan I tetap Rp425 per batang, Golongan IIA tetap Rp300 per batang, Golongan IIB tetap Rp200 per batang, dan Golongan III masih Rp110 per batang.
Risiko Kenaikan Cukai
Head of Center of Industry, Trade and Investment INDEF, Andry Satrio Nugroho, mengatakan, dengan kenaikan cukai rokok, maka setidaknya ada beberapa risiko yang harus diantisipasi pemerintah. Yang pertama adalah beban bagi industri.
Andry menjelaskan, dalam dua tahun terakhir, industri rokok mengalami beban yang cukup besar. Mulai dari pandemi Covid-19 dan cukai rokok yang mencapai double digit. Hal ini jadi pukulan telak bagi industri.
"Tentunya ini yang harus kita antisipasi adalah sumbangsih pengangguran oleh industri pabrikan atau rokok tersebut," kata Andry kepada Liputan6.com.
Kedua, kenaikan cukai rokok juga akan memberikan dampak bagi daya beli masyarakat. Apalagi rumah tangga miskin yang pengeluaran terbesarnya adalah komoditas rokok. Dengan kenaikan yang cukup tinggi, maka rumah tangga miskin tersebut mungkin akan mencari solusi lain.
"Dan solusi lain tersebut adalah rokok ilegal. Pastinya ini akan meningkat. Tahun 2020 sudah 4,9 persen dan untuk 2022, peredaran rokok ilegal ini akan cukup masif."
Menurut Andry, peredaran rokok ilegal memberikan beban yang cukup besar tidak hanya industri rokok dan petani tembakau, tapi juga pemerintah.
Potensi kehilangan penerimaan negara dari rokok ilegal cukup besar dibandingkan dengan kenaikan cukai saat ini. Hal ini yang harus diantisipasi masyarakat dan pemerintah ke depan.
"Dengan kenaikan cukai rokok ini, tentunya kita harapkan pendapatan negara bisa meningkat. Tapi juga harus siap dan mengantisipasi pabrikan juga akan mengalami kerugian dan mencoba mengurangi produksi rokok mereka," ujar Andry, lagi.
Advertisement
Keluhan Industri Rokok
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau memunculkan ketidakpuasan. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI) menyebut kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok adalah sesuatu yang tidak wajar, karena dilakukan pada masa pandemi COVID-19. Di masa pandemi, kinerja industri tengah turun akibat pelemahan daya beli, belum lagi kenaikan cukai yang juga begitu tinggi pada 2020.
Ketua Umum GAPPRI, Henry Nayoan, menyatakan, dalam kondisi normal sebelum pandemi, kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 10 persen, di mana pertumbuhan ekonomi mencapai lima persen dan inflasi sebesar tiga persen. Itu saja sudah memengaruhi penurunan produksi industri hasil tembakau sebesar satu persen.
Di masa pandemi, ucap Henry, relaksasi sebenarnya lebih dibutuhkan oleh industri rokok, seperti yang diberlakukan pada jenis SKT (Sigaret Kretek Tangan). Ia berpendapat, kenaikan cukai yang sangat tinggi diprediksi bakal berdampak pada kian maraknya rokok ilegal. Hal itu disebabkan gap harga antara rokok ilegal dan legal semakin jauh.
Keputusan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) berpotensi mematikan industri tembakau menengah-kecil dan menurunkan serapan bahan baku. Saat ini, kata Henry, industri rokok belum mampu menyesuaikan dengan harga jual maksimal akibat kenaikan cukai tahun 2020 sebesar 23 persen dan harga jual eceran 35 persen.
"Harga rokok ideal yang harus dibayarkan konsumen pada tahun ini seharusnya naik 20 persen, tetapi baru mencapai sekitar 13 persen yang artinya masih ada 7 persen sisanya untuk mencapai harga dampak kenaikan tarif 2020," terang Henry dalam keterangan resmi GAPPRI.
Kendati GAPPRI keberatan dengan keputusan kenaikan tarif cukai rokok yang sangat tinggi, Henry menekankan bahwa industri hasil tembakau tetap menghormati keputusan pemerintah dan bersedia menaatinya. "GAPPRI juga mengapresiasi kebijakan tidak adanya kenaikan cukai pada jenis rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT)," imbuhnya.
Kekhawatiran Buruh
Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (FORMASI), Heri Susanto, mengatakan, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris, tidak masuk akal, karena diumumkan hanya dalam 10 hari saja dan baru ditandatangani dan diundangkan beberapa hari yang lalu.
Setelah keputusan itu, menurut Heri, pabrik-pabrik rokok tidak serta-merta bisa langsung menaikkan harga rokok begitu saja. Heri menyebut, pemberlakuan ini terlalu tergesa-gesa. "Di sisi lain negara mau duitnya, tapi di sisi lain tidak mau risikonya," kata Heri kepada Liputan6.com.
Dia mengungkapkan bahwa semua pabrik rokok sudah mengurangi produksinya, bahkan tidak sedikit yang turun drastis. Jumlah pabrik rokok pun terus menurun, karena sudah banyak yang tutup setelah tidak mampu lagi beroperasi.
"Kalau buruh, kami sudah memikirkan bagaimana ya. Kalau nanti pabrik sudah tidak bisa meng-cover semua ini, pasti akan melakukan PHK. Kalau sudah tidak mampu, apalagi dengan situasi pandemi ini serbasulit," ujarnya.
Redam Potensi Kanker
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI), dr. Aru Wisaksono Sudoyo, menyambut baik kenaikan cukai rokok. Menurut dia, ini dapat mengurangi potensi kejadian kanker di Indonesia.
“Yayasan Kanker Indonesia menyambut baik dan berterima kasih pada pemerintah RI atas rencananya menaikkan cukai rokok dalam waktu dekat. Kenaikan cukai rokok diharapkan akan menurunkan konsumsi rokok dan mengurangi potensi kejadian kanker baru yang banyak diakibatkan oleh rokok,” kata Aru.
Menurut data Global Cancer Statistics (GLOBOCAN 2020), kejadian kanker di Indonesia terus meningkat dengan 397.000 kejadian baru dan 235.000 kematian akibat kanker.
Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah perokok tertinggi dengan prevalensi 33,8 persen atau sekitar 65,7 juta penduduk adalah perokok. Padahal, rokok mengandung karsinogen yang dapat berdampak pada seluruh tubuh dan dapat berakibat pada terjadinya 15 jenis kanker
Jenis kanker yang dapat timbul akibat karsinogen yakni kanker paru, kanker kandung kemih, leukimia, serviks, kolorektal, kerongkongan, panggul, ginjal, hati, mulut, tenggorokan, pankreas, perut, dan pangkal tenggorokan.
Mengingat rokok adalah penyebab kanker yang dapat dicegah, kata Aru, pengendalian terhadap rokok perlu dilakukan secara seksama.
“Hanya dengan upaya kolaboratif pemerintah, termasuk melalui kenaikan cukai rokok ini, beserta segenap komponen masyarakat, kita bisa turunkan kejadian kanker baru di Indonesia,” katanya.
Dengan menaikan biaya cukai rokok, maka diharapkan konsumsi rokok di Indonesia bisa berkurang dan kualitas hidup masyarakat bisa meningkat.
“Ini juga meningkatkan penerimaan negara untuk membiayai Jaring Kesehatan Nasional di masa depan khususnya untuk penanganan kanker, meningkatkan kesehatan manusia dan komunitas, mengurangi beban penyakit dan kematian akibat kanker, serta manfaat umum lainnya,” pungkas dr Aru.
Advertisement