Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai proses menata ulang kelembagaan riset dan teknologi nasional yang dilakukan pemerintah sudah masuk tahap mengkhawatirkan. Upaya peleburan beberapa lembaga riset ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bukannya membuat kegiatan riset terus berkembang tapi malah menimbulkan kegaduhan.
Mulyanto menyebut, saat ini yang terjadi di dunia ristek nasional adalah upaya politisasi dan de-Habibienisasi oleh kelompok tertentu yang ambisius. Sehingga tak heran bila semua lembaga bentukan begawan ristek Habibie dihilangkan.
"Apa yang terjadi di bidang ristek saat ini adalah efek bola salju dari politisasi Iptek dan de-habibienisasi. Pemerintah terlalu memaksakan diri dan sradak-sruduk dalam menata kelembagaan Ristek nasional. Jadi terkesan bukannya menata, tetapi malah mengacak-acak," katanya dalam keterangan tulis, Rabu (5/1/2022).
Advertisement
Mulyanto mencatat ada beberapa kebijakan Pemerintah di bidang Ristek yang mengkhawatirkan. Di antaranya menghapus Kementerian Riset dan Teknologi, membubarkan Dewan Riset Nasional (DRN) menghapus LAPAN dan BATAN, membubarkan BPPT dan LIPI. Dan terakhir mengubah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menjadi Pusat Riset Biomolekuler di bawah BRIN.
Baca Juga
"Perombakan struktur ristek ini, terutama pembubaran Kemenristek, mengakibatkan tugas perumusan dan koordinasi kebijakan ristek menjadi terbelah antara Kemendikbud-Ristek dan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)," tegas Mulyanto.
Terkait pembubaran Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman yang digabung ke dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman, Mulyanto berharap LBM Eijkman, yang selama ini berprestasi secara internasional, dapat diperkuat menjadi lembaga setingkat LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian), yang khusus menangani bidang biologi molekuler.
"Jadi harus diperkuat bukan malah dilemahkan. Apalagi dilebur menjadi sekedar Pusat Riset, yang masih belum jelas status kelembagaan dan SDM penelitinya. Padahal LBM Eijkman punya tugas strategis melaksanakan amanat untuk mengembangkan riset Vaksin Merah Putih," jelasnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tak Punya Visi Kembangkan Ristek
Begitu juga dengan pembubaran Dewan Riset Nasional (DRN). Mulyanto melihat Pemerintah tidak punya visi mengembangkan ristek nasional agar berkembang. DRN yang anggotanya terdiri dari para ahli Iptek berkaliber internasional justru diganti dengan Dewan Pengarah BRIN, yang diketuai Ketua Dewan Pengarah BPIP dan Ketum Parpol, yang tidak memiliki reputasi ilmiah di dunia Iptek.
"Hal ini tentu memprihatinkan. Sampai-sampai jurnal sains terkenal Nature, dalam editorial tanggal 8/9/2021 menulis bahwa ada kekhawatiran intervensi politik dalam BRIN, sebagai lembaga baru terpusat ini (super agency)" katanta
"Pembentukan BRIN ini setback bagi pembangunan sains di Indonesia. Mencerminkan reorganisasi yang ambisius, namun tidak jelas dalam membantu Indonesia mencapai ambisi teknologinya," sambung Mulyanto.
Lalu soal pembubaran BATAN dan LAPAN, menurut Mulyanto kedua lembaga itu bukan sekedar lembaga litbang. Keduanya masing-masing adalah Badan Pelaksana tugas pokok ketenaganukliran dan Badan Penyelenggara keantariksaan dan penerbangan, sebagaimana amanat undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.
Misalnya, dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1997 berbunyi: “Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir”.
"Jadi dengan pembubaran BATAN dan LAPAN Pemerintah telah melanggar UU No.10/1997 dan UU No. 21/2013," imbuhnya.
Kemudian terkait pembubaran BPPT dan LIPI Mulyanto menilai fungsi pengkajian dan penerapan teknologi dalam BPPT yang semula dilebur ke dalam BRIN dalam bentuk OPL (organisasi pelaksana lit-bang-ji-rap), sekarang malah hilang. Menciut menjadi hanya sekedar OR (organisasi riset).
"Artinya yang ada tinggal “penelitian”, sementara pengembangan, pengkajian dan penerapan Iptek hilang. Entah bagaimana dengan nasib para pejabat fungsional “Perekayasa”.
Padahal amanat pasal 48 UU No. 11/2019 tentang Sisnas-Iptek berbunyi: Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional
Pemerintah, khususnya Menteri PAN&RB yang bertanggung jawab soal kelembagaan Ristek ini mesti angkat suara, jangan diam seperti ini," desak Mulyanto.
Advertisement