Sukses

KPK Bakal Proses Penahanan Bos Waskita Karya Adi Wibowo Terkait Korupsi Pembangunan Gedung IPDN

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan segera memproses penahanan petinggi PT Waskita Karya (Persero) Adi Wibowo.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan segera memproses penahanan petinggi PT Waskita Karya (Persero) Adi Wibowo. Adi Wibowo merupakan tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung IPDN di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tahun 2011.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri memastikan penegakan hukum terhadap petinggi PT Waskita Karya akan dilakukan sesuai aturan hukum. Ali berjanji akan menginformasikan kembali soal pemeriksaan hingga proses penahanan terhadap Adi Wibowo.

Sebab, Adi Wibowo sempat mangkir dalam panggilan pada 10 November 2021. Saat itu KPK memanggil Adi Wibowo dan Kepala Divisi Konstruksi VI PT Adhi Karya (Persero) Dono Purwoko. KPK saat itu hanya menahan Dono lantaran Adi Wibowo mengaku sakit.

"Kami memastikan penanganan perkara ini sama dengan perkara-perkara lainnya. Kami akan sampaikan segera jika ada perkembangannya," ujar Ali dalam keterangannya, Rabu (5/1/2022).

Untuk diketahui, KPK telah menetapkan Adi Wibowo dan Dono Purwoko dalam pengembangan kasus korupsi pengadaan dan pelaksanaan pekerjaan pembangunan Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sulawesi pada 2011.

Dono ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK cabang Pomdam Jaya Guntur.

2 dari 2 halaman

Kerugian Negara Sebesar Rp 19,7 Miliar

Dono dan Adi Wibowo sudah dijerat KPK dalam kasus ini sejak 2018. Dono dan Adi diduga ikut serta dalam perencanaan korupsi proyek pembangunan gedung IPDN Sulawesi yang dilakukan pada 2010.

Dono dibantu oleh mantan Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Setjen Kementerian Dalam Negeri Dudy Jocom dan Kepala Divisi Gedung atau Kepala Divisi I PT Waskita Karya Adi Wibowo untuk mengeruk uang negara dalam proyek itu.

Untuk Dudy Jocom saat ini tengah menjalani pidana 4 tahun penjara. Sementara Adi belum ditahan dengan alasan sakit. KPK menyebut ketiga orang diduga merugikan keuangan negara Rp 19,7 miliar dari nilai kontrak Rp 124 miliar.