Sukses

Cassandra Angelie Bisa Dijerat Pidana, Ini Penjelasan Polisi

Sebelumnya Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti kasus kriminalisasi yang menimpa artis Cassandra Angelie.

Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Polda Metro Jaya telah menetapkan artis Cassandra Angelie bersama tiga mucikarinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan prostitusi online. 

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan mengatakan, alasan pemidanaan terhadap Cassandra Angelie lantaran artis itu menyetujui menjadi pemuas nafsu pria hidung belang.

"Kemarin sudah dijelaskan ya bahwa yang bersangkutan dalam hal ini menyetujui, ada persetujuannya untuk katakanlah ditawarkan ke orang lain atau pelanggan oleh mucikarinya. Dan juga yang bersangkutan menerima bagian uang transfer yang masuk ke rekeningnya sehingga membuktikan kegiatan ini adalah atas izin daripada CA (Cassandra Angelie) itu sendiri," kata Zulpan di Jakarta, Jumat (7/1/2022).

Sebelumnya Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti kasus kriminalisasi yang menimpa artis Cassandra Angelie. Cassandra ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga rekannya dalam kasus prostitusi online.

Peneliti ICJR, Genoveva Alicia menerangkan bahwa perbuatan Cassandra tak tergolong tindakan kriminal. Menurutnya memberikan jasa seks antar orang tidak diatur sebagai perbuatan pidana yang bisa dikriminalisasi. Sehingga pemberian jasa seks secara konsensual antar pihak yang memberi dan menerima dalam bentuk offline ataupun online tidak ada jerat pidana yang dapat diberlakukan.

"Dalam konteks pidana prostitusi sendiri, satu-satunya kriminalisasi hanya bagi mucikari dan atau pengguna jasa dari korban eksploitasi atau perdagangan orang," terang Genoveva dalam keterangannya, Kamis (6/1/2022).

2 dari 2 halaman

Cassandra Angelie Tak Bisa Dijerat?

Genoveva menilai, Cassandra Angelie juga tidak bisa dijerat menggunakan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang transmisi, distribusi dan membuat dapat diakses konten elektronik yang memuat pelanggaran kesusilaan. Sekalipun Pasal 27 ayat (1) UU ITE itu memang bermasalah, namun penerapannya harus merujuk pada batasan pelanggaran kesusilaan yang dapat dijerat pidana. 

Sesuai dengan ketentuan KUHP sebagai dasar adanya kriminalisasi UU ITE, konten melanggar kesusilaan yang dapat dijerat pidana adalah apabila ditujukan kepada umum, kalaupun di ruang privat tapi orang yang ditujukan tidak berkehendak atau juga ditujukan kepada anak (Pasal 281 dan Pasal 282 KUHP).

"Sehingga penyebaran konten yang dinilai melanggar kesusilaan selama dilakukan di ruang privat dan berbasis persetujuan tidak dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE," katanya.

Lebih lanjut, pada 2020 lalu 3 institusi Kominfo, Kejaksaan dan Kepolisian telah menerbitkan Pedoman Implementasi pasal-pasal dalam UU ITE. Untuk menerapkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE ini, Pedoman Implementasi tersebut menyebutkan perujukan pada UU Pornografi dan KUHP, sehingga seharusnya pasal ini tidak dapat menjerat hubungan privat, termasuk perihal pemberian dan penerimaan jasa seks. 

"Seharusnya dengan dasar ini, aparat penegak hukum tak lagi secara sewenang-wenang menyebut 'kasus prostitusi online," ujar Genoveva.