Sukses

HEADLINE: Tuntutan Hukuman Mati dan Kebiri Kimia Herry Wirawan, Timbulkan Efek Jera?

Herry Wirawan, terdakwa kasus pemerkosaan 12 santriwati di Bandung, Jawa Barat dituntut hukuman mati dalam persidangan yang digelar pada Selasa 11 Januari 2022.

Liputan6.com, Jakarta Herry Wirawan, terdakwa kasus pemerkosaan 12 santriwati di Bandung, Jawa Barat dituntut hukuman mati dalam persidangan yang digelar pada Selasa 11 Januari 2022.Bukan hanya itu saja, pria berusia 36 tahun ini juga diberi hukuman tambahan berupa kebiri kimia.

Herry dituntut hukuman mati sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5), jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat Asep N Mulyana mengatakan, memang ada pemberatan hukuman kepada terdakwa. Selain itu, dia menjelaskan, jika persetubuhan atau perkosaan tersebut dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

"Maka, sepertiga dari ancaman pokoknya kalau 15 tahun maka ditambahkan jadi 20 tahun," kata Asep dalam siaran langsung Liputan6 Update yang ditayangkan Rabu 12 Januari 2022.

Kemudian, dalam hal tindak pidana persetubuhan atau perkosaan tersebut menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Hal ini diatur pada Pasal 81 ayat (5).

"Dan kami kira inilah hukuman yang dianggap pantas pada terdakwa dan di pasal lain juga kami terapkan hukuman tambahan berupa pengumuman identitas pelaku dan kebiri kimia," tutur Asep.

Putusan ini mendapat sambutan hangat dari kalangan politikus. Sebut saja dari Anggota Komisi III DPR RI dari fraksi Gerindra Habiburohman, meski secara umum dia menolak hukuman mati.

"Tapi untuk predator seksual apalagi terhadap anak, ya saya setuju orangnya ditembak kepalanya, bajingan predator seperti itu memang harus hukuman mati," kata dia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (13/1/2022).

Dia menyebut, ini bukan soal memberikan ganjaran dan efek jera terhadap para pelaku kekerasan seksual. Menurut dia, bagi para pelaku kejahatan seksual seperti Herry menurutnya tak ada opsi lain selain hukuman tersebut.

"Enggak ada opsi lain, predator seksual anak pantas dihukum mati, kalau perlu tembak kepalanya," kata Habiburohman.

Dia juga mengingatkan, bahwa hukuman mati masih tertuang dalam KUHP. "RKUHP kan sudah disetujui tingkat pertama, hukuman mati masih ada," jelas Habiburohman.

Setali tiga uang, Politikus Demokrat Benny K Harman memandang kasus Herry biarkan menjadi domain hakim. Jikalau memang dirasa hukuman mati bentuk keadilan masyarakat, maka biarkan itu diputuskan demkian.

"Menurut saya biarkan saja hukuman mati kalau memang rasa keadilan masyarakat seperti itu," kata dia.

Dia menyadari, banyak negara yang sejauh ini menghapus hukuman mati. Tapi, dirinya mengklaim bukan dilarang diterapkan. "Dimodifikasi, misal setelah sekian tahun yang bersangkutan menunjukkan perubahan perilaku, itu bisa minta hukuman diturunkan dari hukuman mati ke seumur hidup," jelas Benny.

Dia menyadari bahwa hukuman mati bisa jadi salah satu opsi, meski tak efektif. Meski demikian, harus tetap dihormati jika nanti akhirnya pengadilan memutuskannya demikian.

"Hukuman mati tidak pernah berhasil membuat efek jera untuk pelaku tindak pidana. Tapi saya setuju pandangan untuk kejahatan terorisme, korupsi, narkoba, predator pelakunya harus diberi hukuman seberat-beratnya. Seberat-beratnya itu bisa hukuman mati bisa seumur hidup, saya tidak menyebut opsi hukuman mati sebagai satu-satunya hukuman yang seberat-beratnya," kata Benny.

 

Jadi Ancaman Bagi Pelaku

Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra juga turut mengapresiasi tuntutan Jaksa yang dianggap mewakili rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat.

"Apalagi hasil putusan itu diusulkan kepada hakim dengan memperhatikan dan berpusat pada pemulihan korban jangka panjang. Tentu kita akan menghormati apapun keputusan hakim atas tuntutan Jaksa tersebut," kata Jasra kepada Liputan6.com, Kamis (13/1/2022).

Dia memandang, jika tuntutan jaksa dikabulkan oleh hakim, maka ini akan menjadi ancaman bagi para pelaku kejahatan seksual anak.

"Bahwa negara tidak memberi ruang sekecil apapun bagi pelaku kejahatan seksual pada anak," jelas Jasra.

Selain itu, hukuman mati dan kebiri ini dipandang bisa membesarkan hati dan membangun harapan bagi para korban serta penyintas untuk kembali berjuang dan yang masih menuntut keadilan.

"Begitu pun bagi mereka yang masih bersembunyi dalam penderitaan kejahatan seksual, sudah saatnya berani melapor dan memperjuangkan, karena tingginya komitmen para aparat penegak hukum memproses kasus kasus kejahatan seksual," jelas Jasra.

Dia pun berharap, hakim juga mengabulkan soal adanya restitusi atau ganti rugi bisa dikabulkan.

"Kita berharap restitusi untuk para korban benar benar di kawal oleh LPSK, sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Dalam PP disebutkan, anak korban yang berhak memperoleh restitusi, termasuk anak korban kejahatan seksual," kata Jasra.

Intinya, masih kata dia, semua publik geram dan menunggu beberapa putusan kasus kejahatan seksual yang sangat menyita perhatian publik belakangan ini.

"Kita berharap kasus ini dikawal dulu hingga tuntas agar ke depan dalam proses hukum, pidana sampai putusan nanti, tidak ada satupun korban yang tertinggal," kata Jasra.

 

2 dari 3 halaman

Selalu Kontroversi

Ketua Komnas HAM Taufan Damanik memandang selalu ada kontroversi menyangkut hukuman mati, bukan pada kasus Herry Wirawan semata. Pihaknya juga mengapresiasi kerja cepat kejaksaan yang bergerak cepat.

Meski demikian, pihaknya tetap tak mendukung tuntutan hukuman mati tersebut, terlebih untuk Herry Wirawan.

"Niat menghukum secara maksimal saya katakan resmi, tapi tentu sebaiknya tidak hukuman mati, itu saya katakan. Tetap dengan sikap Komnas HAM bahwa kita ingin hukuman mati walaupun ada tahapan-tahapan kan sekarang RKUHP sudah lumayan baik," kata Taufan Kamis (13/1/2022).

Selain itu, setidaknya harus memberikan perhatian terhadap korban. Dirinya pun memuji Jaksa yang menuntut Herry Wirawan untuk memberikan restitusi atau ganti rugi kepada santri yang menjadi korbannya.

Meski demikian, seharusnya pemerintah bisa mengambil alih untuk memberikan perhatian lebih terhadap korban, yang mengalami penderitaan akibat ulah pelaku.

"Tapi kenapa itu tidak menjadi tanggung jawab negara, kalau hanya tanggung jawab pelaku diambil hartanya saja," tutur Taufan.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menilai, tuntutan hukuman mati oleh Tim Jaksa tidak cocok dijatuhkan kepada Terdakwa Herry Wirawan.

Melalui pengacara publiknya, Nixon Randy, LBHM beralasan jika Herry Wirawan dijatuhi hukuman mati maka haknya sebagai korban tidak akan bisa terpenuhi.

"Artinya, restitusi, kompensasi yang diberikan kepada korban akan memberikan ruang kosong bagi korban yang harus kita penuhi tapi tidak tercipta," kata Nixon dalam keterangan pers daringnya, Kamis (13/1/2022).

Walau tidak mendukung hukuman mati terhadap Herry, Nixon menegaskan kejahatan seksual bukan perkara pidana yang bisa ditolerir. Pada prinsipnya, menurut Nixon, LBHM mengecam apa yang telah dilakukan oleh Herry.

"Kami sepakat bahwa kekerasan seks adalah tindakan keji tak manusiawi tapi memberi hukuman mati tak menjawab hak korban yang seharusnya memperoleh pemulihan baik materil dan immateril," jelas Nixon.

Selain itu, tambah dia, kebiri kimia yang juga dituntut terhadap Herry juga tidak menjadi jawaban. Sebab, seorang predator seks tidak akan berubah perilakunya jika hal tersebut sudah masuk ke dalam alam pikirnya.

"Secara psikologis orang yang sudah memiliki pola pikir dan sikap 'predator seks' tidak hanya menggunakan alat kelaminnya untuk tindak kekerasan seksual tapi berangkat dari pemikirannya juga masih dalam nuansa kekerasan seksual," yakin Nixon.

Nixon berpandangan, hukuman tepat bagi pelaku kejahatan seks adalah sanksi publik. Dia melihat, saat seorang pekaku kejahatan seksual diberi tanda pengenal khusus ketika kembali ke masyarakat maka orang dapat mengenali dan dapat memberikan efek jera terhadap yang bersangkutan secara edukatif.

"Dia bisa diberikan gelang tangan atau penanda tertentu lain, agar saat dia kembali ke masyarakat, orang tahu ini adalah orang yang pernah melakukan tindak kejahatan seksual. Jadi bukan menghilangkan nyawa, tapi memberi edukasi secara publik dan sosial," kata Nixon.

Sementara, Kriminolog Universitas Indonesia, Josias Simon memandang ini, Jaksa memiliki kewenangan terhadap tuntutannya. Dia pun menduga, ada keinginan jaksa untuk memberikan efek jera.

"Jadi kalau tuntutannya lolos, itu ada tuntutan berikutnya yang cukup keras dan berat. Toh kan tuntutan jaksa biasanya berlapis," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (13/1/2022).

"Nanti memang di dalam persidangan kan ada pengacara segala macam, hakim. Itu kompetensi jaksa ya supaya menjaga efek jeranya, dapat dengan tadi menuntut hukuman mati. Tapi dalam prosesnya tergantung dinamika sidang," sambungnya.

Soal kepantasan atau tidaknya tuntutan Jaksa, Josias menyebut sepanjang di dalam peraturan atau KUHP diatur, maka hal yang biasa saja. Dia pun menyebut, semua pihak bisa melihat nanti bagaimana jalan persidangannya.

"Yang penting menurut saya sih bagaimana transparansi dalam persidangannya," kata Josias.

Dia juga menyebut, efektif sebuah hukuman baik itu kebiri maupun mati, harus melihat potensi dari para pelaku.

"Harusnya tadi ya, kalau dia efektif punya efek jera, ya jadi orang yang akan melakukan itu atau potensi pelaku kemudian memperhatikan aturan itu. Tapi kalau masih ada perdebatan soal kebiri kima, artinya tadi efektivitasnya masih diragukan," jelas Josias.

 

3 dari 3 halaman

Membingungkan

Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel memandang, tuntutan berupa hukuman mati bisa jadi sudah mewakili sepenuhnya suasana batin kebanyakan anggota masyarakat yang begitu murka, sedih, sekaligus takut terhadap perbuatan terdakwa.

Namun ketegasan jaksa lewat tuntutannya itu justru menjadi membingungkan tatkala digandengkan dengan tuntutan hukuman tambahan berupa kebiri kimia.

"Kebiri kimiawi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan bentuk pengobatan agar suatu saat sang pelaku bisa menjalani kehidupan normalnya seperti pada masa sebelum ia melakukan tindak kejahatan namun kini dengan tingkat keadaban yang lebih baik daripada semula," kata Reza kepada Liputan6.com, Kamis (13/1/2022).

Karena itu, tuntutan jaksa penuntut umum terhadap heriawan pada satu sisi patut diapresiasi namun pada sisi lain patut pula dikritisi. Menurutnya, muncul kekhawatiran tentang kemungkinan otoritas penegakan hukum tidak begitu akurat dalam memahami posisi kebiri dalam hukum pidana di Tanah Air.

"Apalagi jika Perpres terkait kebiri dibaca secara seksama, kata 'kebiri' ternyata sama sekali tidak digandengkan dengan kata 'hukuman' yang mendahului kebiri kimiawi adalah 'tindakan', bukan 'hukuman'," jelas Reza.

Demikian pula kebiri di Indonesia, masih kata dia, baru diselenggarakan setelah seorang narapidana menyelesaikan masa hukuman pokoknya. "Ketika hukuman pokok tersebut berupa hukuman mati, kebiri yang dilaksanakan pasca narapidana dieksekusi mati tentu tidak memiliki relevansi apalagi manfaat sama sekali," kata Reza.

Menurutnya, sesuai ketentuan, praktik kebiri dijalankan bersama dengan program-program rehabilitasi lainnya. Peraturan sedemikian rupa semakin menegaskan bahwa kebiri sama sekali tidak ditujukan untuk memunculkan rasa sakit, tidak dimaksudkan untuk memperpanjang masa penderitaan, tidak dilaksakan untuk memunculkan kepedihan ekstra di samping hukuman mati itu sendiri.

Reza menyebut Kebiri, tidak lain, ditujukan untuk menyembuhkan kondisi pelaku dan kelak mengembalikan pelaku ke tengah-tengah komunitasnya.

Bahkan andaikan hukuman kebiri ditempatkan sebagai tuntutan alternatif, ini pun sulit untuk diterima nalar.

"Bagaimana mungkin otoritas penegakan hukum pada satu sisi memandang bahwa pelaku kejahatan harus dijatuhi hukuman maksimal, namun pada saat yang sama otoritas yang sama juga membayangkan bahkan mengimbau agar pelaku diberikan perlakuan yang manusiawi guna menjalani kehidupannya secara lebih baik," kat Reza.

Karena itu, dia memandang keberadaan hukuman mati dan kebiri pada satu berkas tuntutan mengindikasikan adanya kekeliruan pikir.

"Tidak hanya ini mendatangkan kompleksitas proses penegakan hukum atas kasus itu sendiri, tetapi juga tumpang tindihnya filosofi yang dianut jaksa memantik kebingungan bahkan menjerumuskan kian dalam kesalahkaprahan publik tentang kebiri di Indonesia," kata Reza.