Sukses

Hendra Rahardja Meninggal di Australia

Tersangka kasus korupsi BLBI Hendra Rahardja meninggal dunia di Australia. Hendra Rahardja melarikan diri ke Negeri Kanguru setelah mencuri duit negara sebesar Rp 2,659 triliun.

Liputan6.com, Jakarta: Hendra Rahardja, terpidana seumur hidup dalam Kasus Korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 2,659 triliun meninggal dunia di Australia, kemarin malam. Kabar meninggalnya bekas Komisaris Bank Harapan Sentosa (BHS) ini dikemukakan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra sebelum mengikuti sidang kabinet di Sekretariat Negara, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Senin (27/1) pagi.

Kendati sudah meninggal, lanjut Yusril, kasus-kasus yang melibatkan Hendra Rahardja tak otomatis selesai, kecuali masalah pidananya. Sedangkan kasus perdatanya tetap berjalan. Pemerintah, menurut Yusril, akan mengejar aset Hendra Rahardja yang ada di Australia dan Hongkong.

Hendra Rahardja adalah kakak Eddy Tansil, buronan Kasus Penyelewengan Dana Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp 1,3 triliun. Setelah menggondol duit negara, Hendra Rahardja kemudian kabur ke Australia. Sejak dua tahun silam, pemerintah RI sudah meminta Australia mengekstradisi Hendra Rahardja untuk diadili di Indonesia. Namun, upaya ekstradisi itu terus berlarut-larut lantaran pemerintah Australia dinilai tak serius mengurus masalah tersebut.

Akhirnya, Hendra Rahardja diadili dalam persidangan in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia divonis hukuman penjara seumur hidup, karena menurut Jaksa Penuntut Umum Andi Rahman Asbar terpidana terbukti menggelapkan dana BLBI sehingga negara rugi Rp 2,659 triliun. Hendra Rahardja juga disebut-sebut mencuri duit negara bersama anaknya, Eko Edi Putranto, yang juga menjabat Komisaris BHS dan Direktur Kredit BHS Sherny Kojongian. Eko dan Sherny yang kini tak diketahui keberadaannya dituntut hukuman masing-masing selama 20 tahun penjara.

Sejak 1992 hingga 1996, Hendra Rahardja dan kedua terpidana lainnya meminta kepada loan committee untuk menyalurkan kredit kepada anak perusahaan grup BHS. Pemberian kredit yang tak disertai surat permohonan kredit dan tidak disertai agunan itu terus berkembang hingga berjumlah Rp 2,659 triliun.

Permasalahan mulai terjadi, ketika kredit yang diberikan kepada Grup BHS itu ternyata tak semuanya dipergunakan sebagaimana perjanjian sebelumnya. Dana itu antara lain dipergunakan untuk pembelian 85 bidang tanah, antara lain di Bali, Makassar, Yogyakarta, dan Jakarta dengan menggunakan nama, perusahaan, dan keluarga Hendra Rahardja.

Akibat kredit yang diberikan kepada grup sendiri tersebut, BHS mengalami kesulitan likuiditas. BHS pun menderita kerugian sekitar Rp 50 miliar per bulan karena kredit kepada grupnya itu macet. Karena itu, Bank Indonesia memberikan bantuan likuiditas sejak tahun 1997. Jumlah yang diberikan Bank Indonesia kepada BHS sampai Oktober 1997 mencapai Rp 1,578 triliun dengan kewajiban harus dikembalikan. Tetapi, sampai 1 November 1997 -- ketika BHS dilikuidasi --dana itu tidak bisa dikembalikan beserta bunganya.

Terdakwa tak mematuhi perintah Bank Indonesia untuk tak memberikan kredit atau pembayaran kepada perusahaan grup BHS. Terbukti, selama tahun 1997, terdakwa melalui perusahaan grupnya mampu menarik dana dari BHS sebesar Rp 305,345 miliar dan US$ 2,305 juta. Ini yang semakin merugikan keuangan negara dan mengganggu perekonomian Indonesia.(YYT/Tim Liputan 6 SCTV)
    Video Terkini