Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bakal memasuki akhir masa jabatannya pada 16 Oktober 2022. Berdasarkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, di mana pada 2022 dan 2023 ditetapkan tidak ada Pilkada. Seluruh pilkada digelar serentak pada November 2024.
Untuk mengisi kekosongan kepala daerah, pemerintah pusat diberi kewenangan untuk menunjuk penjabat. Penjabat gubernur adalah pejabat pimpinan tinggi madya atau setara eselon I. Adapun penjabat bupati/wali kota adalah pejabat pimpinan tinggi Pratama atau setara eselon II.
Baca Juga
Masa "menganggur" usai habis masa jabatan Gubernur DKI sampai Pemilu, Pilkada, dan Pilpres 2024, diyakini memengaruhi popularitas dan elektabilitas Anies Baswedan, yang disebut-sebut berpotensi ikut Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang. Dengan tidak lagi menjadi gubernur, aspek pemberitaan sangat mungkin berkurang.
Advertisement
Oleh karena itu, Anies perlu terus-menerus menjadi pusat perhatian dan sumber pemberitaan, dengan melakukan aktivitas politik atau kegiatan lainnya. Hal tersebut demi mengelola dan mempertahankan elektabilitas dan popularitasnya.
Proses pendaftaran calon presiden dan wakil presiden 2024 sendiri dilakukan sekitar Juni 2023. Saat ini, elektabilitas dan popularitas Anies Baswedan cukup tinggi untuk bertarung dalam Pilpres 2024. Lalu, bagaimana nanti upaya Anies Baswedan untuk menjaga momentum tersebut setelah dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI.
Kepala Departemen Politik dan Sosial CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Arya Fernandes, menilai, ada jeda sekitar delapan bulan dari saat Anies tidak lagi menjabat Gubernur DKI hingga ke proses pendaftaran capres. Menurut Arya, waktu delapan bulan itu bisa dimanfaatkan Anies untuk melakukan safari-safari politik.
"Kunjungan-kunjungan kepada masyarakat pada daerah-daerah atau provinsi-provinsi di mana menurut sejumlah hasil survei, posisi dia masih lemah dibanding kandidat lain. Misalnya, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia bagian timur," terang Arya Fernandes kepada Liputan6.com.
Waktu 8 Bulan
Malah, waktu delapan bulan itu bisa menjadi momentum yang pas bagi Anies untuk melakukan aktivitas-aktivitas politik, yang mungkin sulit dilakukan kandidat-kandidat capres dan cawapres lainnya yang masih menjadi kepala daerah atau menteri. Anies pun dapat melakukan komunikasi kepada partai politik.
Sebab, sebagai kepala daerah non-partai, Anies memnbutuhkan lobi-lobi politik dengan sejumlah partai politik untuk memenuhi ambang batas pencalonan yang mencapai sekitar 20 persen. Anies dan tim suksesnya juga dapat melakukan proses identifikasi pemilih, targeting pemilih, serta membangun narasi-narasi politik, terutama pada kelompok-kelompok pemilih baru.
Arya berpendapat, waktu delapan bulan bisa cukup efektif untuk Anies membangun basis politik yang loyal. Terlebih, dari sisi popularitas, mantan rektor Universitas Paramadina ini angkanya cukup tinggi, yakni di atas 80 persen.
"Namun, memang masih ada PR untuk meningkatkan keterpilihan pada daerah-daerah yang memang bukan menjadi basis politik Pak Anies, terutama di daerah kompetitor beliau, Pak Ganjar, yang cukup kuat di Jawa Tengah. Saya kira menjelang masa pendaftaran, hal-hal tersebut bisa dilakukan dengan baik oleh Pak Anies," tuturnya.
Advertisement